How Land Sector Effects on Climate Change

Kanya Chairunissa
BOSBOUW
Published in
3 min readDec 2, 2017

ditulis oleh Hairatunnisa
untuk Hari Pohon Sedunia
21 November 2017

Lahan merupakan suatu isu yang semakin hangat akhir-akhir ini untuk dibahas selain isu bahan pangan (food), air (water), serta energi (energy). Harga sepetak lahan terus melambung dari tahun ke tahun seperti halnya harga emas, tidak seperti kurs rupiah yang naik-turun. Belum lagi kemarin publik sempat ramai menyoroti Permen LHK P.39/2017 tentang perhutanan sosial di wilayah kerja Perhutani (Perusahaan Hutan Negara Indonesia), dimana seolah-olah pemerintah membagi-bagikan 2 hektar kawasan hutan Perhutani per kepala keluarga secara bebas yang mana Permen tersebut justru melanggar PP №6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan [1]. Kebijakan ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan perubahan peruntukan lahan hutan menjadi non hutan mengingat kebutuhan lahan di Jawa semakin tinggi sementara lahan yang tersedia semakin sedikit.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kita semua memerlukan lahan untuk berbagai keperluan seperti permukiman, pertanian, industri, dan lain sebagainya. Bahkan FAO memprediksi di tahun 2050 populasi manusia dapat mencapai 9,1 milyar [2]. Hal ini menandakan akan lebih banyak perut untuk diisi makanan serta rumah untuk hunian. Sementara itu trend menunjukkan bahwa di masa mendatang penduduk dunia akan mendominasi daerah perkotaan sehingga menyebabkan daerah perkotaan terus berkembang secara horizontal dan mendesak daerah pedesaan yang didominasi oleh lahan-lahan pertanian. Lalu darimana kebutuhan manusia dapat terpenuhi padahal luasan lahan selalu tetap dan tidak bertambah seperti halnya populasi manusia?

Alih fungsi maupun konversi lahan merupakan suatu solusi yang sering ditawarkan saat umat manusia terdesak untuk memenuhi kebutuhan hajatnya, terutama kebutuhan akan komoditi pertanian. Desakan tersebut kemudian pada akhirnya menyebabkan terjadinya ekspansi lahan perkebunan serta pertanian yang kemudian memberi tekanan kepada hutan. Hutan merupakan sektor yang memiliki posisi tawar relatif rendah dibanding sektor lainnya ketika dihadapkan pada berbagai kepentingan strategis, sehingga kemudian terjadilah alih fungsi lahan hutan menjadi non hutan. Padahal seperti yang diketahui bersama hutan merupakan reservoir karbon terbesar di daratan karena mampu menyerap gas CO2 dari atmosfer dan menyimpannya sebagai biomassa. Namun, hal ini berarti hutan juga merupakan salah satu sumber emisi CO2 terbesar. Ketika dilakukan pembakaran hutan dan lahan untuk proses pembukaan lahan, maka karbon yang tersimpan kemudian terlepas ke atmosfer sebagai GRK. Deforestasi serta degradasi hutan merupakan penyumbang emisi nasional GRK terbesar di Indonesia, dibanding sektor transportasi. Tercatat emisi tahunan yang dihasilkan tidak kurang dari 0,5 miliar ton kabon yang disebabkan oleh kebakaran dan drainase lahan gambut [3]. Emisi GRK tersebut kemudian menyebabkan pemanasan yang selanjutnya berakibat pada perubahan iklim global.

Permasalahan lahan sendiri merupakan suatu hal yang pelik karena merupakan konflik kepentingan berbagai pihak, tapi bukan berarti tidak ada solusinya. Maka untuk menyelesaikan permasalahan tersebut sudah seharusnya pemerintah melakukan paduserasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) serta percepatan Kebijakan Satu Peta (KSP) agar tidak terjadi tumbang tindih berbagai kepentingan dan alih fungsi lahan akibat kesimpang siuran data. Selain itu pemerintah diharapkan memberikan kompensasi kepada pemilik lahan yang mempertahankan lahannya sebagai hutan terutama di daerah-daerah hulu yang merupakan daerah konservasi air dan tanah. Terakhir ialah dengan cara menyadarkan semua pihak untuk menilai hutan bukan dari kayunya saja, tetapi juga menilai jasa-jasa lingkungan yang dihasilkannya sehingga tidak terjadi lagi alih fungsi lahan hutan.

Salam rimbawan!

Referensi:

[1]https://telusur.co.id/2017/09/16/kritikan-dan-kecaman-atas-permen-lhk-p-39-tahun-2017-tentang-perhutanan-sosial-diwilayah-kerja-perum-perhutani/

[2]http://www.fao.org/fileadmin/templates/wsfs/docs/expert_paper/How_to_Feed_the_World_in_2050.pdf

[3]Nurtjahjawilasa, Kusdamayanti Durjat, Irsyal Yasman, Yani Septiani, dan Lasmini. 2013. Konsep dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Implementasinya. Jakarta: Natural Resources Development Center.

Photo credit: greenpeace.org

--

--