Kritikan terbesar layaknya ada pada kita

Kanya Chairunissa
BOSBOUW
Published in
4 min readDec 2, 2017

ditulis oleh Triah Bulkiah,
untuk Hari Pohon Sedunia
21 November 2017

Teruntuk tahun 2045

Katanya, damai itu ketika semua orang bisa berinteraksi dengan mudah. Ya… lewat apapun itu, gawai ok, ponsel ok, langsung apalagi, isyarat bisa jadi, bahkan dalam mimpi pun tidak masalah. Interaksi bisa dimana saja dan kapan saja.

Katanya, damai itu ketika semua permintaan kita terpenuhi. Mau instant? Ok. Mau cepat? Ok. Mau diantar? Ok, Mau apalagi? Masak sendiri? Lebih baik

Katanya, damai itu ketika kita memiliki rumah yang luas. Halaman luas, penuh cermin, tangga memuntir, ber-AC, pintu terbuka otomatis, dan dengan beberapa penjaga rumah

Katanya, damai itu ketika di dunia ini tidak ada yang sakit. Sudah, itu saja

Katanya, damai itu ketika semua orang tersenyum dengan lebar setap kali bertemu, menanyakan kabar dengan jawaban yang baik dan ramah

Katanya, damai itu ketika kita bisa bepergian kemanapun dengan nyaman. Pulang ke kampung halaman, berangkat kuliah, bekerja, atau jalan-jalan kemana kita mau

Katanya, damai itu ketika…

Apa?

Apa?

Apa lagi yang ingin diceritakan?

Masih tentang kata orang?

Kita itu mahasiswa, dituntut untuk ‘melek’ teman. Bukan hanya melek teknologi, melek politik, melek sosial, melek regulasi, melek ekonomi, melek industri, atau bahkan melek dunia selebriti.

Ingat teman, inilah yang menjadi masalah kita. Kecanggihan apapun tidak akan berguna tanpa kehidupan yang fundamental. Jangan hanya memejamkan mata dan berpura-pura tahu saja dengan keadaan sebenarnya. Mengetahui apa yang sedang terjadi tanpa masuk di dan ke dalamnya. Ingin enaknya saja. Ini adalah potret sebagian besar dari kita. Ya, saya mengakui itu. Melek lingkungan sedikit apa sulitnya? Apakah ada yang dirugikan? Tidak sama sekali.

Tetapi, mengapa begitu berat ketika kita berbicara lingkungan. MDGs dan SDGs susah payah dibuat dengan tujuan untuk memperbaiki itu kerap diabaikan. Bahkan hanya sedikit dari orang-orang di bumi ini yang mengetahuinya. Kebijakan 100 0 100 yang di gadang-gadang pemerintah apa artinya? Bagaimana bisa masyarakat awam tercerdaskan jika orang terdidik saja enggan mengetahuinya. Katanya peduli, tetapi minim empati.

Baiklah teman, kita sama-sama menyadari hal ini. Cita-cita kita memang besar untuk bumi ini. Tetapi, apa yang terjadi jika kita hanya lari ditempat? Berharap tanpa berbuat? Atau bertindak tanpa aturan? Katanya, kedamaian adalah nomor satu. Kedamaian terhadap apa? Itulah pertanyaan terpenting teman.

Bagaimana bisa kita berinteraksi satu sama lain dengan mudah jika kelak untuk bergerak saja kita kesulitan. Kesulitan karena kita perlu udara bersih. Kesakitan, sesak nafas, atau bahkan dalam hitungan jam kita tidak bisa bertahan. Apa lagi gunanya interaksi? Ngobrol? Tidak penting itu semua. Yang penting itu saya. Persaingan terus terjadi untuk memperebutkan udara bersih yang hakiki itu. Egoisme tidak terbantahkan lagi. Siapa cepat, dialah yang mendapatkannya. Sapa-menyapa apa gunanya, hanya membuang waktu.

Bagaimana bisa pemenuhan kebutuhan kita tercukupi? Lingkungan mengeluarkan amarahnya karena kita tidak memperhatikan. Butuh udara bersih? Mustahil. Pohon saja langsung dijual setiap masak tebang ataupun untuk pertukangan. Butuh makanan? Mustahil. Tanah tandus tidak akan mendukung tumbuhnya tanaman pangan. Tandus karena tidak ada lagi resapan air tanah dangkal ataupun dalam. Butuh udara sejuk? Mustahil. Dari mana lagi oksigen dikeluarkan, sedangkan para peladennya saja ditebang.

Bagaimana kita bisa damai di rumah yang luas, sedangkan kita terisolasi di sana. Saya yakin, kaki tidak akan berani keluar. Di luar sungguh ekstrem. Cuaca panas, oksigen di ambang batas, debu bertebaran, asap industri dan kendaraan mengganggu. Mungkinkah jika terjadi hujan akan segar kembali? Mustahil. Hujan memang hujan. Konsentrasi asam yang berlipat di dalamnya sungguh mengerikan

Bagaimana bisa setiap orang yang bertemu melempar senyumnya? Mulut yang selalu ditutup oleh masker memang lebih aman sepertinya. Matanya saja merah karena udara di sekitar, kulitnya saja kepanasan, apakah mereka tetap saling sapa?

Bagaimana bisa kita bepergian dengan nyaman? Jalan raya sudah seperti sungai saja. Debit kendaraan tidak pernah menurun. Bising dengan suara klakson masih bisa ditoleransi. Asap yang begitu mengepul membuat ISPA sejak saat itu juga. Jarak satu kilometer saja ditembuh dalam 10 jam. Tidak berani membuka kaca mobil di perjalanan. Ya, alasannya sudah tertebak.

Apakah mungkin kita bisa memperbaiki hal-hal menyakitkan itu?

Apakah mungkin kita bisa mewujudkan cita-cita yang “katanya” itu?

Ini masih 2017 teman…

Waktu kita masih cukup. Cukup untuk mengubah semua yang mungkin menjadi tragedi. Jangan abaikan walaupun sehelai daun. Sehelai daun yang memberikan oksigen, zat tepung, dan energi. Sehelai daun yang walaupun gugur bisa menjadi nutrisi. Sehelai daun yang bisa menjadi habitat berbagai mikro organisme. Sehelai daun yang bisa meneduhi satu titik di bumi ketika hujan. Sehelai daun yang bisa menyerap karbondioksida. Sehelai daun yang bisa dijadikan makanan. Sehelai daun yang bisa menjadi obat. Sehelai daun yang bisa menyerap sinar matahari. Sehelai daun yang bisa memberikan kontribusi untuk menghisap air dengan transpirasinya.Sehelai daun yang bisa menurunkan sekian derajat suhu bumi. Oooh, sehelai daun yang begitu banyak manfaatnya.

Apakah kita masih berani mengabaikan satu helai daun?

Membayangkan hal itu, saya sudah bisa memperkirakan. Bagaimana dengan manfaat dari satu pohon? Pohon yang memiliki helaian daun dengan manfaatnya, memiliki ratusan akar dengan manfaatnya, dan batang-batang yang menyimpan manfaatnya. Individu yang sungguh mulia, memberikan manfaat dalam diamnya. Sungguh…

Apakah kita masih berani mengabaikan sebatang pohon?

--

--