Apa yang harus Indonesia lakukan terhadap COVID-19?

Hafizha Husnaisa
Bukalapak Data
Published in
14 min readApr 27, 2020

Dampak COVID-19 terhadap ekonomi di Indonesia; Penanganan apa saja yang mungkin diterapkan di Indonesia selanjutnya; dan dampak dari setiap opsi penanganan

Pandemi COVID-19 memicu ketidakstabilan ekonomi. (sumber)

Sejak pertama kali muncul pada Desember 2019 di Tiongkok [ref], COVID-19 hingga kini telah menyebar ke seluruh dunia termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri, dalam rentang sejak kasus pertama pada 2 Maret 2020 hingga 17 April 2020 sudah ada 5.923 kasus dengan rasio tingkat kematian 8,78% [ref].

Gambar 1. Grafik jumlah kasus harian COVID-19 di Indonesia dengan Skala Linear. (Sumber)

Skala linear di atas menunjukkan angka kumulatif pada kasus COVID-19 di Indonesia baik untuk jumlah kasus positif, sembuh, dan meninggal. Sedangkan untuk grafik di bawah ini, adalah grafik skala logaritmik untuk melihat seberapa cepat kasus-kasus tersebut menjadi berlipat jumlahnya.

Gambar 2. Grafik jumlah kasus harian COVID-19 di Indonesia dengan Skala Logaritmik. (Sumber)

Terlihat pada grafik logaritmik, pertumbuhan angka kasus positif di Indonesia sangat cepat hingga dalam jangka waktu kurang dari satu bulan saja dapat menyentuh angka seribu kasus. Jika dibandingkan dengan negara lain se-ASEAN, Indonesia sendiri menempati peringkat pertama dengan jumlah kasus terbanyak dan dengan rasio kematian tertinggi [ref].

Gambar 3. Perbandingan pertumbuhan angka kasus terinfeksi se-ASEAN dengan Skala Linear. (Sumber)
Gambar 4. Perbandingan pertumbuhan angka kasus terinfeksi se-ASEAN dengan Skala Logaritmik. (Sumber)

Pada grafik skala logaritmik terdapat hal yang menarik, untuk Indonesia khususnya merupakan negara terakhir yang mengkonfirmasi adanya kasus positif terdata namun pertumbuhan angkanya cenderung bertambah secara signifikan menyamai negara-negara lain yang sudah jauh lebih awal mengkonfirmasi kasusnya masing-masing.

Terjadinya wabah ini pasti berdampak pada banyak sektor salah satunya sektor ekonomi. Lalu bagaimanakah pengaruhnya terhadap ekonomi Indonesia baik mikro maupun makro?

Pengaruh COVID-19 Pada Perekonomian

Pemerintah Indonesia telah menerapkan gerakan ‘Social Distancing’ ini sejak 15 Maret 2020 [ref] bahkan mulai tanggal 10 April 2020 di Provinsi Jakarta khususnya sudah diterapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) [ref] disusul Provinsi Jawa Barat pada tanggal 15 April 2020 [ref] dan Provinsi Banten pada tanggal 18 April 2020 [ref]. Hal ini mengharuskan masyarakat untuk melakukan jaga jarak antara satu individu dengan individu lainnya untuk membatasi kontak langsung sehingga dapat memperkecil persebaran virus. Kemudian pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat Indonesia setelah ‘Social Distancing’ ini diterapkan sebagai berikut:

  1. Mikroekonomi

Dengan adanya kebijakan terkait ‘Social Distancing’ yang diterapkan pemerintah, banyak lembaga yang memutuskan untuk memindahkan segala kegiatan di rumah, seperti ‘belajar di rumah’ dan ‘kerja di rumah’. Ternyata respon masyarakat cukup baik, mereka mengurangi berkegiatan di luar rumah, seperti tempat perbelanjaan, taman, stasiun kereta, dan kantor [ref].

Dengan pindahnya segala kegiatan ke rumah, maka konsumsi rumah tangga otomatis akan meningkat baik dari segi pangan, listrik, air, bahkan karena ada gerakan ‘belajar di rumah’ dan ‘kerja di rumah’ kebutuhan akan alat perkantoran, laptop, dan paket data internet bertambah. Contohnya untuk listrik dan paket internet terdapat kenaikan angka tagihan listrik yang dilakukan perorangan, selain itu seiring dengan naiknya aktivitas belajar dan bekerja di rumah, terlihat juga permintaan akan pembelian paket internet meningkat.

Gambar 5. Hasil estimasi normalisasi interest score didapat dari smoothed-spline trend tagihan produk pembayaran listrik menggunakan data internal Bukalapak.
Gambar 6. Hasil estimasi normalisasi interest score didapat dari smoothed-spline trend transaksi produk paket internet menggunakan data internal Bukalapak.

Pada gambar 5 untuk pembayaran listrik dan gambar 6 untuk pembelian paket internet terlihat mulai meningkat setelah resmi diumumkannya kasus pertama positif Virus Corona di Indonesia dan terus meningkat seiring dengan diberlakukannya program-program pemerintah untuk ‘tetap di rumah’ dan PSBB. Kabar baiknya dari meningkatnya tagihan listrik, pemerintah pula sudah melakukan pemotongan biaya pembayaran listrik bagi konsumen rumah tangga 450 VA (Volt Ampere) dan 900 VA sebanyak 50% [ref], hal ini diperkirakan dapat meringankan sampai 20% rumah tangga yang ada di Indonesia [ref].

2. Makroekonomi

Pandemi Virus Corona ternyata juga berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Sektor yang paling terkena dampaknya antara lain adalah sektor yang berhubungan dengan perdagangan dan mobilitas masyarakat seperti maskapai penerbangan, penginapan, pakaian, otomotif, dan hiburan [ref]. Di tengah krisis seperti ini membuat masyarakat khususnya pengusaha mengamankan aset yang mereka punya ke aset yang dianggap paling aman yaitu emas [ref]. Akibat dari permintaan pembelian emas meningkat, maka harga emas melonjak tajam.

Gambar 7. Grafik harga emas (sumber)

Meskipun demikian, masyarakat tetap memilih untuk mengamankan aset mereka. Terbukti dari tingginya permintaan emas akhir-akhir ini.

Gambar 8. Hasil estimasi normalisasi interest score didapat dari smoothed-spline trend transaksi produk pembelian emas di Bukalapak.

Dalam menghadapi wabah penyakit ini beserta efeknya, dapat terlihat bahwa perjuangan Indonesia masih panjang. Indonesia harus tetap bertahan menghadapi dampak ini dalam segala aspek, termasuk Ekonomi, Sosial, Pendidikan, dan tentunya segala yang menyangkut tentang keselamatan, kesehatan, dan keberlangsungan hidup warganya sehingga pemerintah harus mengambil langkah cepat dan tepat dalam menyikapi wabah ini kedepannya. Lalu, dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekarang mencapai kurang lebih 270 juta jiwa [ref], apa saja opsi penanganan yang mungkin untuk diberlakukan di Indonesia selanjutnya dalam menghadapi wabah ini? Kami mencoba menganalisa dari data penanganan negara lain dibandingkan dengan data di Indonesia terkait COVID-19. Pertanyaan yang coba untuk dijawab adalah akankah penanganan berhasil untuk mengurangi angka pertumbuhan kasus positif? Dan seberapa berpengaruhnya terhadap fasilitas medis yang tersedia untuk kasus COVID-19, mengingat terbatasnya fasilitas tersebut. Bahkan menurut data yang ada fasilitas medis yang tersedia di Indonesia hanya cukup untuk menampung 1:1.000 orang, yang artinya hanya tersedia 1 tempat tidur untuk 1.000 orang [ref].

Opsi Penanganan

Terdapat 4 opsi yang terlebih dahulu sudah diimplementasikan di negara lain seperti: (1) ‘Kembali Menjalankan Aktivitas Seperti Biasa’, untuk contoh ini mengambil sampel saat sebelum lockdown di Italia karena pada saat itu sudah ada wabah namun warganya tetap berlaku seperti biasa; (2) Mass Test (Tes Massal) yang dilakukan oleh Korea Selatan; (3) Social Distancing yang dilakukan di banyak negara, di sini kami mengambil contoh Singapura; (4) Total Lockdown yang dilakukan oleh Italia mulai tanggal 9 Maret 2020. Opsi-opsi inilah yang akan coba untuk direfleksikan prediksinya apabila jika dilakukan di Indonesia.

  1. Kembali Menjalankan Aktivitas Seperti Biasa (Herd Immunity)

Salah satu contoh negara yang pada awal kasus COVID-19 tidak terlalu memedulikan himbauan pemerintahnya untuk melakukan pencegahan adalah Italia. Sebelum adanya lockdown di Italia, warganya tetap bersosialisasi seperti biasa bahkan mereka beramai-ramai bepergian jauh ke luar kota dengan niat untuk menghindari virus yang justru menyebabkan virus tersebut menyebar sangat cepat [ref]. Sejak saat itu, angka kasus orang terinfeksi di Italia melonjak tajam.

Gambar 9. Grafik total kasus terkonfirmasi di Italia sebelum lockdown dengan Skala Linear. (Sumber)

Dari skala logaritmik di bawah, terlihat perbandingan hari ke hari jumlah pertumbuhan kasus positif yang dialami Italia sebelum diberlakukan lockdown dibandingkan dengan di Indonesia (dalam skala logaritmik). Italia mengalami kenaikan jumlah kasus positif yang sangat cepat saat itu mulai pada hari ke-22, kemudian 10 hari kemudian sudah mencapai ribuan kasus. Indonesia penambahan kasus perharinya tidak sedrastis Italia saat sebelum lockdown, namun untuk di hari ke-33 jumlah kasusnya hampir sama dengan Italia.

Gambar 10. Grafik perbandingan jumlah kasus terkonfirmasi di Italia sebelum lockdown dan Indonesia dengan Skala Logaritmik. (Sumber)

Lalu, jika warga Indonesia kembali menjalankan aktivitas seperti biasanya dan keluar dari PSBB tercepat, apakah yang akan terjadi?

Visualisasi berikut menampilkan prediksi epidemic curve menggunakan SEIR model tentang persebaran wabah COVID-19 di Indonesia jika tidak diambil tindakan apapun. Terdapat beberapa istilah dalam SEIR model, yaitu:

Susceptible: jumlah orang yang belum namun berpotensi untuk terinfeksi virus.

Exposed: jumlah orang yang sudah berinteraksi dengan virus namun tidak terinfeksi.

Infected: jumlah orang yang terinfeksi virus.

Removed: jumlah orang yang sudah pernah dan tidak akan terinfeksi oleh virus.

Gambar 11. Epidemic calculator menggunakan SEIR model untuk opsi 1 (‘Tidak melakukan pencegahan apapun’). (Sumber)

Merujuk pada kota Wuhan yang sudah pulih dari wabah virus COVID-19, ekonomi kota ini dapat berjalan seperti biasa kembali setelah tiga bulan. Dari rujukan ini, efek COVID-19 setelah 100 hari tanpa ada dilakukan tindakan apapun dapat mengakibatkan adanya puncak jumlah kasus yang membutuhkan penanganan rumah sakit mencapai 24 juta kasus dan meninggal 3 juta kasus.

Keuntungan: -

Kerugian: Kasus terinfeksi melonjak tanpa terkendali, untuk di Indonesia sendiri akan terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara jumlah kasus yang membutuhkan penanganan medis dan ketersediaan layanan kesehatan yang tersedia, dengan perbandingan mencapai 24 Juta (Hospitality pada hari ke-100) : 13 Juta (Bed Capacity). Selain itu, orang-orang yang tidak mengetahui bahwa mereka positif corona namun tanpa gejala akan berkali-kali lipat membahayakan sekitarnya terutama kaum yang berisiko, karena biasanya orang-orang ini tergolong yang usia produktif yang mempunyai mobilitas tinggi.

2. Tes Massal (Mass Test)

Mass test atau tes massal dilakukan sebagai bentuk penanggulangan dipilih oleh Korea Selatan sebagai mitigasi awal mereka dalam menangani wabah Virus Corona, cara ini dianggap sukses untuk memperlambat angka pertumbuhan kasus terinfeksi bahkan sampai berkurang tanpa mematikan ekonomi [ref]. Tes ini memungkinkan mengetahui dengan cepat status positif atau tidaknya seseorang baik yang bergejala maupun tidak bergejala (sebagai carrier) agar dapat segera melakukan isolasi diri atau perawatan secepatnya jika diperlukan. Kombinasi antara kecepatan penanggulangan, kepatuhan warganya, dan teknologi membuat Korea Selatan dijadikan contoh dalam penanganan terhadap COVID-19 ini.

Namun perbedaannya, di Korea Selatan mampu melakukan tes hingga 20.000 orang per harinya, didukung dengan 96 laboratorium untuk memeriksa hasil sampel tes sehingga hasil tes dapat diketahui setelah 5–6 jam kemudian, dan diklaim akurasinya mencapai 98% [ref]. Di Indonesia sudah dilakukan tes dari awal Maret hingga 15 April sebanyak 36.431 orang, dengan rata-rata sehari kurang dari 1.000 orang [ref], sudah disediakan paling tidak 29 laboratorium untuk memeriksa hasil sampel [ref], karena keterbatasan laboratorium yang ada maka dapat memperlambat waktu pengecekan sampel, selain itu diketahui akurasinya sebesar 30% [ref].

Gambar 12. Grafik total kasus terkonfirmasi di Korea Selatan dengan Skala Linear. (Sumber)

Korea Selatan berhasil melandaikan jumlah kasus terkonfirmasi perharinya sejak pertengahan bulan Maret. Jika dilihat pada grafik perbandingan Korea Selatan dengan Indonesia di bawah, pertumbuhan Korea Selatan sempat sangat drastis dari hari ke-30 sampai hari ke-50 karena pada saat itu pemerintah Korea sedang melakukan tes massal di daerah Daegu sebagai tempat terinfeksi terbanyak di Korea [ref], namun hari-hari setelahnya (sampai data terakhir di hari ke-87) grafik mereka sudah mulai rata yang berarti penambahan kasusnya tidak begitu banyak, dan Indonesia sendiri belum terlihat tanda-tanda angkanya akan rata berdasarkan data terakhir untuk hari ke-47 terinfeksi.

Gambar 13. Grafik perbandingan jumlah kasus terkonfirmasi di Korea Selatan dan Indonesia dengan Skala Logaritmik. (Sumber)

Apabila di Indonesia dilakukan tes massal juga, maka seperti halnya Korea Selatan akan diketahui lebih banyak lagi kasus yang terkonfirmasi. Perkembangan jumlah kasus positive diprediksikan seperti grafik berikut.

Gambar 14. Grafik prediksi angka kasus positif di Indonesia kumulatif. (Sumber)

Keuntungan: Melalui tes massal ini kita dapat mengetahui jumlah kasus positif sebenarnya sehingga dapat dilakukan penanganan dengan cepat.

Kerugian: Kemungkinan bertambahnya kasus secara drastis dan membuat layanan kesehatan kewalahan. Padahal perbandingan ketersediaan layanan kesehatan dan jumlah orang yang ada di Indonesia hanya 1 : 1.000 orang, dan perbandingan antara jumlah tenaga medis dengan jumlah orang di Indonesia hanya 0,3 sampai 1,2 : 1.000 orang [ref]. Jadi jika 300 ribu orang terinfeksi, hanya 300 orang yang akan mendapatkan fasilitas kesehatan. Secara kapasitas pun Indonesia masih jauh dari kapasitas Korea Selatan untuk mencapai kapasitas pengujian seperti di Korea Selatan.

3. Jaga Jarak dan PSBB (Social Distancing)

Penanganan kasus COVID-19 dengan cara ‘Social Distancing’ banyak dilakukan di berbagai negara, salah satunya Singapura. Mereka berhasil menekan jumlah kasus baru di setiap harinya dengan cara social distancing. Social distancing yang mereka lakukan adalah dengan memberikan tanda jaga jarak sekitar 1 meter antara satu orang dengan orang lainnya ketika berada di luar rumah, seperti supermarket, tempat kerja, mesin tiket subway, dll semua tempat tersebut diberikan tanda mengantre atau menunggu berjarak. Namun untuk tempat-tempat hiburan seperti restoran, bar, bioskop semua diharuskan untuk menutup sementara layanan mereka. Untuk pusat perbelanjaan mereka tidak menutupnya tapi hanya membatasi jumlah pengunjung, begitu juga dengan karyawan yang bekerja di luar rumah tidak lebih dari 50%-nya [ref]. Sekarang sudah terhitung lebih dari 2 bulan sejak mengkonfirmasi kasus pertama mereka, kasus yang tercatat sekitar 3000-an kasus.

Gambar 15. Grafik total kasus terkonfirmasi di Singapura dengan Skala Linear. (Sumber)

Untuk perbandingannya dengan Indonesia, dapat dilihat pada grafik logaritmik di bawah, pada hari ke-8 kasus terinfeksi di Indonesia melebihi Singapura. Hingga pada data terakhir di dapat jumlah kasus positif di Indonesia sudah hampir 2x lipatnya Singapura meski dalam jumlah hari baru melewati setengah dari jumlah harinya Singapura.

Gambar 16. Grafik perbandingan jumlah kasus terkonfirmasi di Singapura (SIN) dan Indonesia dengan Skala Logaritmik. (Sumber)

Sebenarnya cara ini sudah mulai diberlakukan di Indonesia dengan gerakan PSBB, namun karena baru saja diberlakukan jadi belum begitu terlihat perubahannya. Hal ini mungkin saja diperparah apabila masyarakat tidak mengikuti anjuran untuk menjaga jarak, misal tetap melakukan mudik yang bertepatan dengan momen Ramadhan dan Lebaran 2020 ini. Seperti yang terjadi di negeri Tiongkok pada saat itu, momentum Imlek membuat mereka kerap mudik di daerah lain akibatnya jumlah kasus terinfeksi menjadi tidak terkendali. Jangan sampai hal ini kembali terulang di Indonesia. Efeknya diperkirakan saat momen mudik itu kasus baru bertambah mencapai 2.000–4.000 dalam 1 atau 2 minggu ke depannya [ref]. Puncaknya di Juli 2020 diperkirakan akan mencapai 5,5 juta kasus [ref], namun meledaknya jumlah kasus yang akan diperkirakan mengancam Indonesia tidak didukung dengan jumlah ICU (Intensive Care Unit) yang tersedia. Saat ini ventilator yang tersedia hanya 8.413 yang mana hanya cukup untuk 5% kasus, sedangkan Indonesia membutuhkan sekitar 600.000 untuk dapat menghadapi gelombang puncaknya [ref].

Pada saat ini pun PSBB sendiri hanya baru diberlakukan oleh beberapa wilayah di daerah Pulau Jawa, namun jika dilakukan serentak se-Indonesia maka dampaknya akan terlihat seperti pada visualisasi berikut ini.

Gambar 17. Epidemic calculator menggunakan SEIR model untuk opsi 3 (‘Social Distancing’). (Sumber)

Keuntungan: PSBB dilakukan dengan membatasi kegiatan masyarakat di beberapa kota di Indonesia sedemikian hingga hanya 8 sektor [ref] yang masih diperbolehkan untuk menjalankan kegiatan seperti biasa. Metode ini dapat mengurangi penyebaran virus COVID-19 yang sebelumnya memiliki R0 sebesar 3.15 [ref] hingga menjadi 2.1 [ref]. Dengan menurunnya persebaran virus covid-19 dengan PSBB ini, juga berdampak positif pada jumlah kasus yang perlu mendapatkan penanganan rumah sakit tiap hari nya, dengan jumlah pasien di hari ke-100 hanya mencapai 1 juta jiwa, masih jauh dibawah bed capacity Indonesia yaitu 13 juta.

Keuntungan lain dari PSBB ini dengan adanya 8 sektor yang masih menjalankan bisnis seperti biasa, kebutuhan masyarakat dan serta ekonomi negara masih dapat dipenuhi dan dipertahankan.

Kerugian: Seperti yang ditampilkan pada visualisasi di atas, kasus COVID-19 belum mencapai puncaknya pada hari ke-100 apabila kita menerapkan metode PSBB. Selain itu, total kasus yang memerlukan penanganan rumah sakit lebih besar jika dibandingkan dengan metode lockdown, namun masih belum melebihi bed capacity Indonesia. Dengan pelaksanaan PSBB yang masih longgar, efektifitas PSBB sendiri bisa lebih rendah dari simulasi, untuk mencapai hasil optimal dari PSBB maka yang harus dipertegas adalah pekerja yang masih diharuskan bekerja dari kantor untuk bekerja di rumah selain beberapa sektor yang diperbolehkan seperti industri/toko bahan pokok, perbankan, dan lainnya [ref] dan juga penegasan terhadap warga agar tidak melakukan mudik.

4. Lockdown Total

Italia merupakan salah satu negara yang melakukan lockdown sebagai cara dalam menangani wabah virus Corona. Cara tersebut diberlakukan mulai tanggal 9 Maret 2020. Sebelumnya, angka kasus terkonfirmasi positif di Italia stagnan sejak diberitakan kasus pertama mereka pada 31 Januari 2020, sampai pada akhirnya muncul cluster baru di Italia Utara pada 14 Februari 2020 kemudian sejak saat itu angka kasus positif bertambah tanpa terkendali terlebih hingga menyebar ke daerah lain Italia (tidak hanya Italia Utara). Lalu pemerintah Italia memutuskan untuk melakukan lockdown pada tanggal 9 Maret 2020, namun sepertinya mereka kehilangan kesempatan untuk mengamankan warganya di awal karena sudah terlanjur menyebar hingga jumlah kasus positifnya menjadi tidak terkendali.

Gambar 18. Grafik total kasus terkonfirmasi di Italia dengan Skala Linear. (Sumber)

Italia mulai melakukan lockdown pada hari ke-38 sejak diumumkan kasus positif pertama mereka. Dapat dilihat dari grafik logaritmik di bawah, sejak diberlakukan lockdown kecepatan penularan mulai rata, artinya tidak berlipat ganda seperti pada awal-awal kasus. Jika dibandingkan dengan Indonesia, kasus berlipat ganda sudah dimulai dari hari ke-5 sejak pengumuman kasus terinfeksi pertama, untuk Italia mereka berhasil menahan kasus sampai hari ke-20-an sebelum akhirnya jumlah kasus positifnya melonjak. Pemerintah Italia sendiri mengklaim bahwa sejak diberlakukannya lockdown angka R0 mereka menjadi 1 dari yang tadinya sempat mencapai angka 3, R0 sendiri merupakan angka yang mewakili jumlah rata-rata orang yang ditularkan oleh satu orang yang terinfeksi virus, jadi jika angka R0 itu sudah mencapai kurang dari 1 maka virus tersebut perlahan akan hilang [ref] [ref].

Gambar 19. Grafik perbandingan jumlah kasus terkonfirmasi di Italia dan Indonesia dengan Skala Logaritmik. (Sumber)

Jika lockdown ini diberlakukan di Indonesia, maka yang akan terjadi adalah:

Gambar 20. Epidemic calculator menggunakan SEIR model untuk opsi 4 (‘Lockdown Total’). (Sumber)

Secara pertumbuhan kasus memang lockdown ini adalah cara yang paling efektif, namun tidak untuk sektor lainnya. Contohnya lockdown di Italia ini berdampak pula pada ekonomi mereka yang semakin terasa mengalami resesi, karena mereka harus kehilangan banyak sumber dana mencapai 1,2% PDB, selain itu mereka juga harus memberikan paket bantuan untuk keluarga dan bisnis yang terkena dampak lockdown. Banyaknya pengeluaran dikhawatirkan akan menyebabkan semakin membengkaknya defisit, padahal sekarang hutang Italia sudah sebesar 134% dari PDB negara, sedangkan di Uni Eropa hutang seharusnya tidak boleh lebih dari 60% PDB [ref]. Hal itu yang banyak membuat banyak negara sangat menghindari lockdown.

Pada grafik di bawah ini menjelaskan tentang bagaimana pengaruh antara fasilitas layanan kesehatan dengan kebijakan ekonomi yang mungkin diberlakukan di tengah wabah virus COVID-19 ini.

Gambar 21. Kurva masing-masing keadaan tergantung respon terhadap layanan kesehatan dan ekonomi. (Sumber)

Untuk sebelah kiri, semakin ke atas maka fasilitas kesehatan semakin baik, dan untuk bagian bawah, semakin ke kanan semakin baik kebijakan ekonomi dalam menghadapi krisis wabah ini. Dapat dilihat bahwa untuk kurva yang berwarna biru, adalah kurva yang dianggap baik karena merupakan kombinasi antara baiknya layanan kesehatan dan efektifnya kebijakan ekonomi. Bahkan apabila baik dan efektif di kedua faktor (layanan kesehatan dan kebijakan ekonomi) maka yang terjadi adalah kurva di kanan paling atas (A4), jadi sempat mengalami efek wabah namun cepat kembali normal. Sehingga apabila Indonesia diterapkan lockdown dan dalam 200 hari diprediksi belum mencapai puncaknya maka ekonomi yang mati akan lebih lama sehingga kurva yang menggambarkan dapat menjadi B1, B2 atau B3 bergantung pada fasilitas kesehatan yang tersedia.

Kelebihan: Lockdown dilakukan dengan membatasi kegiatan masyarakat secara total sehingga memaksa masyarakat untuk berada dirumah. Metode ini akan berdampak sangat baik dalam mengurangi penyebaran virus COVID-19, dimana R0 pada negara yang sudah menerapkan metode ini bisa mencapai 1. Total kasus yang membutuhkan penanganan rumah sakit dari metode ini juga sangat kecil, yaitu sebanyak 8.000 kasus pada hari ke-100, angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan bed capacity Indonesia.

Kekurangan: Kekurangan yang paling fatal dari metode lockdown ini adalah pemberhentian ekonomi karena masih banyak sektor ekonomi di Indonesia yang tidak bisa dilakukan dari luar kantor atau dengan metode work from home. Sehingga dampak-dampak ekonomi yang terjadi di Italia seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bisa terjadi seiring dengan dilakukannya metode lockdown ini.

Kesimpulan

Social distancing dan lockdown merupakan solusi yang paling aman untuk dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan tenaga medis dan bed capacity di Indonesia. Kedua solusi ini memiliki prediksi dimana jumlah kasus yang membutuhkan penanganan rumah sakit tidak melebihi bed capacity di Indonesia, namun dalam durasi lebih dari 200 hari lockdown belum mencapai puncak dari epidemic curve. Sehingga terdapat kemungkinan bahwa durasi wabah virus COVID-19 akan lebih panjang. Jika berkaca pada resesi yang terjadi di Italia, maka durasi wabah dan lockdown yang panjang ini dapat membawa lebih banyak kerugian secara ekonomi.

Sehingga berdasarkan opsi-opsi di atas, yang paling mungkin untuk dilakukan oleh Indonesia selanjutnya adalah memperpanjang gerakan ‘Social Distancing’, namun perlu ada perbaikan dari sisi peraturannya agar lebih tegas kepada masyarakat dan instansi yang terkena dampak, karena pada saat ini sudah dilakukan PSBB namun tidak semua menerapkan sehingga masih ada yang harus pergi bekerja. Selain itu ditegaskan agar tidak melakukan kegiatan bepergian seperti mudik ke kampung halaman yang dapat menyebabkan meluasnya penyebaran virus ini.

--

--