Design Process: In Reflection
Singkatnya, tidak ada best practice untuk design process
Di awal karir sebagai Product Designer di Bukalapak, ketika dihadapkan ke sebuah project, design process yang gua tau ga jauh dari design thinking process yang lima tahap: understand, define, diverge, prototype, dan validate. Jelas dan terarah.
Namun, seiring berjalannya waktu, level kesulitan proyek yang diberikan pun ikut meningkat dan beragam. Tidak semua brief jelas, tidak semua problem jelas, sehingga langkah yang dilalui pun jadi terlihat tidak jelas.
Proses desain yang dijalankan pun sering ga linear. Kadang mesti mundur satu tahap, kadang ga mulai dari depan. Saat kenyataannya begitu, bisa dibilang lima tahapan proses tadi kurang cocok merepresentasikan proses yang terjadi.
The challenges
Gua suka banget ilustrasi yang diberikan oleh Julie Zhuo. Dia mengatakan there’s a method in the madness di dalam proses seorang designer. Terlintas di kepala gua, prosesnya itu mirip seperti memanjat tebing.
Setiap tebing punya medan yang unik, kita mesti punya peralatan dan persiapan yang berbeda saat memanjat. Seperti halnya project. Tiap-tiapnya punya masalah yang unik, di mana kita mesti punya metode dan pengetahuan yang berbeda saat menjalaninya.
Setiap pendaki akan berusaha dan berhati-hati mencari berbagai titik untuk sampai ke atas. Naluri mereka akan mencari mana yang kira-kira resikonya paling sedikit atau jalur mana yang sekiranya tercepat. Demikian pula dengan designer, berusaha mencari cara agar project-nya berjalan cepat dengan resiko seminimal mungkin.
Ketika akan memanjat, kita tidak bisa memprediksi semua langkah yang akan kita ambil dari awal hingga akhir. Begitu naik satu pijakan, kita terus memeriksa apakah pijakan selanjutnya itu aman untuk dinaiki. Sikap yang sama berlaku setiap menjalani project karena setiap tahapannya sering kali tidak bisa diprediksi.
Namun, jangan sampai tidak melakukan apapun. Bisa-bisa kita tidak akan sampai ke project goals-nya. Untuk tahu langkah apa yang mesti kita ambil selanjutnya, kita harus maju selangkah demi selangkah.
The process
Sekarang, bagaimana caranya kita mengaplikasikan proses panjat tebing tadi ke design kita? Salah satu metode yang gua rasa paling mendekati situasi saat ini adalah design thinking dari IBM dan kita adaptasi framework ini di Bukalapak setidaknya dari dua tahun terakhir.
Hal yang menarik dari gambaran proses di atas adalah tidak ada ujung atau akhir dari prosesnya. Kita diarahkan untuk terus menerus bergeser dan berpindah. Ada kalanya kita bisa mulai dari tengah atau samping, tergantung dari kebutuhan dan situasi tim saat itu.
Setelah hampir dua tahun pakai proses ini di berbagai project, gua mau berbagi pengalaman dan tips buat yang ingin mencoba mengaplikasikan proses tersebut.
Go one step at a time
Saat itu, pertengahan quarter, load project sedang dalam keadaan padat, kemudian datang project untuk menurunkan angka dari repeated complaints. Awalnya, gua tidak tau mesti mulai dari mana. Meski begitu, gua tau tidak boleh terlalu lama berpikir dan tidak melakukan apapun.
Jika kita menemukan diri dalam keadaan seperti ini, salah satu aktivitas yang gua rasa paling berguna adalah dengan mengumpulkan semua asumsi dan pertanyaan bareng dengan tim. Bagus banget untuk reality check, memeriksa apa yang kita sudah dan belum kita ketahui.
Dalam kegiatan tersebut, kita mendorong semua orang menuliskan pertanyaan dan asumsi terkait project tersebut. Dari situ, kita bisa membagi siapa yang bakal bertugas untuk mencari jawaban atau memvalidasi asumsi yang ada. Poin A yang berkaitan dengan user, akan dilakukan user interview oleh researcher. Poin E yang berkaitan dengan user flow, akan dilakukan evaluasi oleh designer. Poin C, kita perlu gali lagi data terkait komplain ini dengan dibantu oleh tim data.
Semua pertanyaan dan asumsi pada akhirnya akan terjawab, sehingga kita akan lebih percaya diri saat menjalani project-nya. Kalau menurut framework IBM, posisi aktivitas ini ada di tengah-tengah, yaitu Align. Maka dari itu, ketika ga tau mesti mulai dari mana, kita bisa pilih untuk bergeser ke kiri, Observe atau ke kanan, Create.
Reduce the risk
Setelah Align bersama tim di awal project, kita sepakat untuk menjalankan user interview untuk mengetahui alasan mengapa masalah ini bisa terjadi. Singkat cerita, ketika hasilnya telah keluar, semua anggota tim merasa lebih percaya diri untuk melanjutkan project-nya. Gua pun merasa rekomendasi yang dibawa oleh researcher sudah cukup untuk masuk ke tahap eksplorasi desain.
Tidak berselang lama setelah memulai eksplorasi, gua merasakan ada yang aneh di alur prosesnya. Jika langsung jalan ke tahap eksplorasi dulu, sepertinya akan menyita lebih banyak waktu dan tenaga. Padahal saat itu sudah ada beberapa ide di kepala. Jadi gua bertanya, apakah ada cara lain yang resikonya lebih kecil?
Sebenarnya kita bisa memakai metode Crazy-8. Mungkin saat itu sedang lupa sehingga baru kepikiran saat berjalan satu langkah ke depan, saat mulai eksplorasi.
Untungnya, proses ini berhasil untuk menghemat waktu eksplorasi. Setelah kita ideation bareng dengan tim, ga hanya muncul banyak ide, tapi kita bisa memilih mana yang menarik untuk dites ke user. Ide yang ga terpilih saat itu, sebenarnya berhasil mempercepat durasi project, sehingga gua ga perlu buang waktu untuk mengeksplorasi sesuatu yang tim tidak inginkan.
Menurut gua, ada dua hal dalam proses desain yang mesti diminimalisir resikonya: durasi pengerjaan dan miskomunikasi. Jadi kita pun harus bertanya: Bagaimana caranya kita menjaga project agar tidak molor? Bagaimana caranya agar durasi project lebih efisien? Bagaimana caranya kita mencegah miskomunikasi di setiap tahap project?
Always reflect
Dalam setiap proses yang dijalani, sebaiknya kita butuh waktu untuk berhenti sejenak, kemudian bertanya “Apa yang kurang?” atau “Apakah project goal akan tercapai dengan informasi yang ada?”
Saat itu, beberapa ide terlihat memang sangat jelas, mudah diimplementasi, dan semua suka. Namun, gue teringat untuk refleksi lagi, apakah solusi ini sudah bisa membawa kita mencapai project goalsnya? Atau mungkin ada yang lebih baik?
Dari situ, gua coba menandai dengan dua hal: diverge dan detailing. Diverge, di mana solusi tersebut sebenarnya masih bisa dicari lagi alternatif lainnya. Beda halnya dengan detailing, di mana gua bisa mulai merincikan konsep dari solusinya serta mencari potensi corner case.
Semakin ke sini, gua makin sadar bahwa ga ada best practice dalam mendesain. Proses seperti design thinking IDEO, Design Sprint, atau bahkan IBM, hanyalah sebuah tools yang bisa dipakai tergantung dari kebutuhan kita. Jadi bisa saja, gua menggunakan Design Sprint di tahap Create untuk menyelesaikan masalah project-nya. Atau saat berada dalam posisi Observe, kita coba mencampur metode dari IBM dan IDEO.
Take away
Bisa dibilang, proses ini tidaklah one size fits all. Tiap project itu unik, mulai dari masalahnya, tim yang mengerjakan, bahkan sampai tipe perusahaannya. Seperti halnya hamparan tebing, di mana tiap-tiapnya punya tantangan yang berbeda dan unik.
Selalu ingat untuk maju selangkah demi selangkah, berusaha untuk meminimalisir resiko, dan bertanya “Apa yang kurang?”
Hal yang tidak kalah penting adalah jangan takut untuk bereksperimen, bahkan untuk proses yang sudah terbukti keberhasilannya.
Jadi gimana menurut kalian? Gua kan sangat senang dengar dari sudut pandang yang lain. Diskusi, yuk!
Terima Kasih kepada Farah dan Antha, atas beribu-ribu bantuannya dari awal hingga akhirnya artikel ini berhasil diterbitkan.
…and we’re hiring! Cek di sini buat tahu apa saja posisi di Bukalapak Design yang terbuka buat kalian.