Teka-teki Festival Pamalayu menyonsong akhir tahun(*)

(*) Artikel ini tayang di rubrik opini Singgalang, halaman C-19, edisi Kamis, 5 September 2019

Tanol DoaNk
Bung Tanol
5 min readSep 5, 2019

--

Dharmasraya merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada 7 Januari 2004 berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2003 bersamaan dengan pemekaran beberapa kabupaten di Provinsi Sumatra Barat antara lain, Solok Selatan dan Pasaman Barat.

Nama Dharmasraya diinisiasi oleh tokoh-tokoh Dharmasraya seperti: Marigi Rajo Lelo, Karjo, Syafruddin Putra Dt. Sanggono, Masrul Maas, Leli Arni, Taridi (Alm), Abdul Haris Tuanku Sati, Dasril Panin Dt. Labuan, Arlis Ade Dt. Penghulu Sati (Alm), Mulyadi S.Ag, Zainal Efendi, Budi Sanjaya dan lain-lain. Selaku ketua pemekaran waktu itu Adi Gunawan, SE. MM.

Proses pemekaran ini berlangsung dari 2002 hingga 2004. Konon cerita, proses rapat pemekaran berlangsung di Umega, Gunung Medan. Sejak berdirinya, Dharmasraya telah dipimpin tiga Bupati dan wakil Bupati defenitif hasil pemilu.

Pemilu I dimenangi H. Marlon Martua Dt. Rangkayo Mulia, SE menjabat dari periode 2005–2010, kedua Adi Gunawan, SE. MM dan H. Syafrudin R periode 2010–2015, dan pada Pilkada 2015 silam terpilih Sutan Riska Tuanku Kerajaan, SE dengan Amrizal Dt. Rajo Medan untuk memimpin Dharmasraya periode 2015–2020.

Sutan Riska Tuanku Kerajaan, SE familiar dengan julukan “Darah Muda Daerah”. Darah Muda Daerah juga menjadi tema program talkshow televisi swasta Mata Najwa, kelak tampil di program talkshow ini membuat Bupati termuda dikenal masyarakat luas. Tak tanggung-tanggung Bupati termuda ini mengusung moto “Mandiri dan Berbudaya”.

Tiga tahun sudah Sutan Riska Tuanku Kerajaan memimpin Dharmasraya begitu banyak rintangan dan cemooh muncul dari berbagai kalangan masyarakat Dharmasraya, sebab, masyarakat belum melihat rekam jejak secara konkrit Riska membangun Dharmasraya. Walaupun begitu, ada juga segudang prestasi yang ia dapatkan.

Pada program kali ini dia mengangkat tentang Festival Pamalayu yang launching perdana di Meseum Nasional pada tanggal 22 agustus 2019. Hal ini mendapat banyak sanjungan juga kritikan di berbagai platform sosial media terhadap dirinya.

Sanjungan juga datang dari media-media nasional hingga pendengung (buzzer) pemerintah jagad media sosial yang menggambarkan Sutan Riska Bupati muda yang peduli dengan sejarah, mengingat Kabupaten Dharmasraya berkaitan erat dengan Kerajaan Dharmasraya untuk sebuah nama secara history.

Penulis melihat langkah- langkah yang dilakukan oleh Bupati termuda ini sangat bagus untuk ke depan dalam mengali nilai- nilai budaya dan sejarah kerajaan Dharmasraya.

Mari kita kupas sedikit tentang kerajaan ini. Kerajaan Dharmasraya, muncul berkisaran abad 13, nama ini muncul dalam Arca Amogahapasa dikirim oleh empat pejabat utusan Raja Kerajaan Singasari, Kertanegara.

Dalam alas arca itu dituliskan “Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di Bhumi Malayu, termasuk brahmaṇa, ksatrya, waisa, sudra dan terutama pusat segenap para aryya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa,”.

Dari pengiriman arca oleh Sri Maharajadhiraja Krtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa di Kerajaan Singhasari kepada Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa sebagai hadiah ini dapat disimpulkan sebagai bentuk diplomasi kerajaan Singasari dengan kerajaan Dharmasraya dalam bidang pertahanan jika sewaktu-waktu diserang oleh Kubilai Khan dari kerajaan Mongol, mengingat letak Dharmasraya yang strategis.

Nah, atas dasar persahabatan inilah dilakukan suatu ekspedisi yang terkenal dengan Ekspedisi Pamalayu tersebut. Dan, 733 tahun kemudian (tahun merujuk pernyataan Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Puslit Arkernas yang dikutip situs daring historia.id dalam “Dharmasraya, Kerajaan Kuno di Sumatra Barat”) sejak Ekspedisi Pamalayu, Bupati Sutan Riska melakukan diplomasi ke ibu kota atas nama Festival Pamalayu. Apresiasi sebesar-besarnya buat Sutan Riska Tuanku Kerajaan.

Namun, yang masih menjadi teka-teki, apa efek yang nanti dihasilkan festival yang akan berakhir di Dharmasraya pada 7 Januari 2020 mendatang ini? Menggenjot pariwisata atau hanya sekadar bahan pemanis citra Riska menyambut Pilkada 2020? Kemudian soal anggaran, belum mendapat sumber yang jelas maupun regulasinya.

Sepengetahuan penulis untuk kegiataan Festival Pamalayu tidak ada di RPJMD Dharmasraya. Namun yang tertera hanya nama kegiatan Festival Dharmasraya. Bukan Festival Pamalayu. Entah di mana nama ini mencuatnya.

Untuk sebuah kegiatan tentu tidak terlepas dari persoalan anggaran pelaksanaan. Akan tetapi, mengapa anggaran perhelatan Festival Pamalayu ini dianggarkan pada APBD Perubahan. Tentu ini menjadi tanda tanya besar? Tahun-tahun kemarin pada ke mana anggarannya?

Ironis sekali, kegiatan Festival Pamalayu yang terkesan terlalu dipaksakan tentu hasilnya tidak akan sesuai dengan harapan maupun dampaknya nanti. Jangan nanti kesannya hanya sekadar Bupati Riska sibuk membangun infrastruktur dari daerah pinggiran, seperti yang selalu dilontarkannya, namun tidak menampakkan hasil konkrit.

Kemudian yang mengganjal, Bupati Riska selalu menggadang-gadang dirinya mewakili suara anak muda, tapi anak muda yang mana yang ia wakili? Dalam Festival Pamalayu ini saja, Riska tak menggandeng elemen-elemen pemuda Dharmasraya yang sering ia sebut.

Ujug-ujug Riska malah membawa birokrat macam Wali Nagari se-Dharmasraya, SKPD, beserta anggota dewan yang baru seminggu dilantik. Dewan Pewakilan Rakyat Daerah sebagai penerima amanah dan penyambung lidah dari rakyat tentu tidak lepas dari tupoksi legislasi, banggar, dan pengawasan untuk mengawal kegiataan tesebut.

Berbicara dari segi akademis, Sutan Riska tidak tampak melibatkan organisasi mahasiswa Dharmasraya yang bersifat ke daerahan maupun organisasi kepemudaan yang berhimpun di Komite Nasional Pemuda Indonesia kabupaten Dharmasraya serta Universitas yang ada di Sumatra Barat yang membidani hal tersebut.

Bahkan akademisi sekaliber Dr. Pramono sekaligus putra Dharmasraya yang mendalami secara filologi nakah-naskah kuno pun tak dilibatkan. Hal senada pun, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya yang sering melakukan penelitian ke Candi Padang Roco dan Candi Pulau Sawah tak diikut sertakan.

Soal Candi Pulau Sawah, penulis punya pengalaman menarik untuk diceritakan di sini, masih berkaitan dengan janji anggaran yang akan digelontorkan untuk penggalian candi ini. Berikut penulis kutipkan di sini pengalamannya.

Candi Padang Roco yang merupakan artefak penting kerajaan Dharmasraya terletak di Nagari Siguntur, Dharmasraya. Pada 1 April 2017, penulis bersama beberapa teman melakukan ekspedisi kecil-kecilan menyusuri daerah ini. Ekspedisi ini penulis rekam dalam catatan yang berjudul “Gunung Medan vs Dharmasraya”.

Hari pertama ekspedisi kami melihat Candi Padang Roco ini dari jarak dekat. Akses menuju Candi ini lumayan baik. Baru pada ekspedisi hari kedua, ekspedisi ke Candi Pulau Sawah kami mendapati perjalanan melewati medan yang berat.

Dalam perjalanan, kami dipandu oleh seorang anak yang menjadi Si Bolang untuk episode “Belajar dan Bermain di Alam Siguntur” Trans 7. Kami melalui medan yang berat untuk sampai ke lokasi ini, beberapa kali motor yang kami kendarai terpleset, jalan semakin licin dan berlumpur bila hari hujan.

Sebelum berangkat ke Candi Pulau Sawah kami sowan menemui salah seorang pewaris kerajaan Siguntur. Kami menggali banyak informasi dari pewaris tersebut soal Candi Pulau Sawah dan Bukik Awang Maombiak. Hingga obrolan kami sampai merambat ke masalah akses menuju Candi Pulau Sawah yang harus melalui medan berat.

Seturut dengan penuturan pewaris kerajaan Siguntur, Sutan Riska Tuanku Kerajaan pernah berjanji untuk mengeluarkan anggaran pembangunan infrastruktur agar akses menuju Candi Pulau Sawah ini menjadi lebih baik. Selanjutnya, masih seturut penuturannya, pemerintah daerah juga memberi angin segar untuk penggalian candi ini di tahun 2018 termasuk akses jalan transportasi menuju ke situs tersebut dengan anggaran yang sangat fantastis.

Nyatanya, beberapa tahun kemudian alih-alih membangun akses ke daerah ini, Bupati Riska malah membuka dan mempermulus jalan yang mempersatukan Timpeh menuju Pulau Punjung yang di kenal oleh masyarakat bukit lantak.

Dari sini tampak ketidakkonsistennya pemerintahan dibawah pimpinan Sutan Riska tuanku Kerajaan pada janji. Seharusnya gali dulu Candi Pulau Sawah ini, baru kemudian gelontorkan dana untuk Festival Pamalayu yang dasyat itu. Sebab Candi Pulau Sawah ini masih berkaitan dengan Candi Padang Roco. Harapan penulis dengan adanya Festival Pamalayu, angin segar yang diembuskan Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid untuk membangun museum megah di Dharmasraya segera terwujud.

Kita menunggu hasilnya di 7 Januari 2020 nanti bertepatan dengan harlah Kabupaten Dharmasraya ke-16. Terakhir, semoga kepemimpinan Sutan Riska Tuanku Kerajaan benar-benar menjadi simbol cahaya ataupun kasih sayang untuk masyarakat Dharmasraya sesuai ungkapan Bambang Budi Utomo arkenas tentang arti kata “Dhamar” yang berarti cahaya.

--

--