Ziarah ke Rumah Gadang

Tanol DoaNk
Bung Tanol
Published in
7 min readJan 28, 2017
Rumah Gadang Suku Tigo Nini Datuak Sinaro

Indonesia dihuni oleh berbagai suku bangsa yang terdapat di 34 provinsi. Maka dengan itu Indonesia lebih dikenal sebagai negara multikultural yang memiliki berbagai keberagaman kebudayaan. Pengenalan tentang kebudayaan secara keseluruhan kepada seluruh lapisan masyarakat akan meminimalisir perpecahan akibat adanya perbedaan budaya.

Pengetahuan tentang kebudayaan akan memperkuat rasa nasionalisme dan memperkukuh persatuan dan kesatuan sebagai warga negara yang baik. Amanat kata-kata ini pun sudah tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai ideologi sekaligus dasar negara.

Seiring dengan perkembangan zaman dan era globalisasi, masuknya budaya asing ke Indonesia cenderung berdampak buruk kepada generasi muda yang perlahan mengakibatkan lunturnya budaya lokal — lambat laun — mulai terlupakan.

Penyebab dari hal ini yang paling menonjol terletak pada peran tokoh-tokoh adat dalam pengembangan pendidikan maupun tentang informasi budaya setempat yang kurang digali. Dibalik itu terdapat minimnya minat generasi muda untuk mempelajari sejarah dan budaya daerah setempat.

Untuk mengimplementasikan sekaligus melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwarasi nenek moyang terdahulu. Sebagai generasi muda sudah semestinya, menjadi pewaris sekaligus pemelihara nilai-nilai budaya khususnya kebudayaan daerah.

Berbicara tentang kebudayaan tentu mencangkup sangat luas tetapi, secara universal kebudayaan itu terdiri dari 7 unsur yaitu, bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem mata pencarian, agama, dan kesenian.

Menurut bahasa sansekerta kata kebudayaan yakni budhaya berarti akal dan kemudian kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk) sehingga, kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Sedangkan dari bahasa latin culture yang definisinya mengolah atau mengerjakan terutama untuk mengolah tanah atau bertani.

Kebudayaan lazim di sebut sebagai peradaban. Peradaban adalah pemahaman yang meliputi: pengetahuan, kepercayaan, seni moral, hukum, adat istiadat yang diperoleh dari anggota masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang berisikan model-model pengetahuan selektif yang dapat digunakan untuk memahami serta menginterpretasikan masalah lingkungan yang dihadapi juga untuk mendorong menciptakan tindakan yang diperlukan.

Secara spesifik dalam hal ini, disorot permasalahan kebudayaan dan manusia yang diimplementasikan di daerah Sumatera Barat atau lebih familiar dikenal dengan sebutan Ranah Minang di Kabupaten Dharmasraya.

Kabupaten Dharmasraya merupakan wilayah pemekaran dari kabupaten SWL/Sijunjung pada tahun 2003 dan diresmikan pada tahun 2004. Nama Kabupaten Dharmasraya ini di ambil dari sejarah kerajaan Malaya yang berkaitan erat dengan sejarah Minangkabau.

Sebagai daerah yang mempunyai sejarah dan budaya yang dikenal di Nusantara pada masa kejayaan raja Aditiawarman maka nama Dharmasraya pun dipilih sebagai nama kabupaten yang baru mekar tersebut.

Kabupaten Dharmasraya memiliki 11 kecamatan dan terdiri dari 52 Nagari. Sebelumnya memiliki 4 kecamatan induk yakni kecamatan Pulau Punjung, Sitiung, Koto Baru dan Sei. Rumbai. Seiring berjalannya waktu kecamatan induk kembali dimekarkan menjadi 7 kecamatan baru. Di mana kecamatan IX Koto, Timpeh, Tiumang, Asam Jujuhan, Koto Salak, Koto Besar dan Padang Laweh dengan pusat pemerintahan terletak di kecamatan Pulau Punjung.

Beranjak dari hal ini, kita sebagai generasi muda perlu untuk melestarikan tradisi-tradisi kuno peninggalan era zaman Minangkabau dengan cara menggali sejarah dan budayanya.

Kenapa hal ini penting untuk dilakukan? Tentu jawabannya sesuai dengan porsi sebagai Pemuda tulang punggung bangsa. Sudut pandang kaca mata objektif melihat fenomena sekarang di akibatkan proses akulturasi budaya sedikit demi sedikit mengikis budaya dan adat ketimuran. Permasalahan ini dapat di lihat secara kasat mata pada penyalahgunaan perkembangan IPTEK dewasa ini.

Pada kenyataannya teknologi telah mampu membius manusia tunduk kepada layar dan mengabaikan hal-hal lain yang berbau positif. Dampak dari IPTEK ini sangat luar biasa di kalangan generasi muda yang mengakibatkan terjadinya konflik di lingkungan sosial masyarakat seperti tawuran, pemerkosaan, balapan liar, pelanggaran HAM dan lain-lain.

Kenakalan dan gesekan di kalangan remaja pun meningkat bersamaan dengan pergaulan bebas. Ini sangat memprihatinkan untuk pembangunan sumber daya manusia ke depan.

Dimensi problematika tentang krisis-krisis moral dan etika kemanusiaan di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat mencapai titik sangat membahayakan di akibatkan penyimpangan perilaku hidup manusia semenjak awal peradaban.

Penyebab dari krisis ini karena minimnya pengetahuan manusia akan dasar pengetahuan hidup sesungguhnya. Penyebab ini menjadi dasar yang telah terjadi di semua kalangan khususnya generasi muda. Untuk keluar dari problem kehidupan tersebut tentu harus dipecahkan dan dituntaskan dengan akal pikiran manusia itu sendiri supaya tidak membelenggu.

Permasalahan konflik sosial seperti yang disebutkan di atas hanya bersifat kotemporer dan sangat klasik tetapi, mengundang reaksi serius di kalangan pemangku adat dan pemerintahan nagari. Namun, permasalahan tersebut terus mencuat di tengah kehidupan sosial masyarakat.

Dari konflik yang menjadi pembahasan, paling menonjol adalah tawuran antar pemuda dengan Nagari tetangga. Seiring berjalan konflik ini terus menyala mengakibatkan seorang kawula muda menjadi korban luka-luka dari tusukan benda tajam namun, tidak menimbulkan korban jiwa. Kejadian seperti ini tidak membuat jerah generasi muda.

Akibat dari peristiwa serta kejadian dahulu terlihat jelas dari terombang-ambing generasi muda kehilangan identitas budaya dan adat. Melihat kondisi dari waktu ke waktu. Kegaduhan yang ditimbul kaum remaja di tengah-tengah masyarakat. Membuat para tokoh masyarakat dan adat angkat bicara dari peristiwa gesekan-gesekan yang telah terjadi.

Maka, pada tahun 2010 pemangku adat bersama pemuda menggalangkan duduk bersama untuk menyelesaikan kenakalan remaja nagari. Bak kato pepatah Minang mencapai tujuan hidup dengan musyawarah untuk mufakat

Nan barek samo dipikua, Nan ringan samo dijinjiang, Ka bukik samo mandaki, Ka lurah samo manurun, Tatungkuik samo makan tanah, Tatilantang samo makan ambun, Tarapuang samo anyuik, Tarandam samo basah. Kato surang di bulati, Kato basamo dipaiyokan, Kalau mambilai samo laweh, Kok maukua samo panjang, Ketek kayu ketek bahan, Gadang kayu gadang bahan, Nan ado samo dimakan, Nan tidak samo dicari, Hati gajah samo di lapah, Hati tungau diagiah bacacah.

Contoh konflik sosial ini di ambil dari Nagari Gunung Medan kecamatan Sitiung kabupaten Dharmasraya. Pengambilan sikap yang dilakukan oleh pemuka masyarakat tersebut menunjukkan suatu bentuk kebijakan arif dan bijaksana dalam menganalisis permasalahan di lingkungan sosial. Agar konflik tersebut tidak berkepanjangan dan menelan korban jiwa di kemudian hari.

Dari sekelumit pembahasan tentang permasalahan kenakalan remaja intinya tetap di kembalikan kepada mamak menurut adat Minang. Tercapainya kata mufakat dalam musyawarah tersebut melihatkan peran dan fungsi mamak pada porsinya. Peran dan fungsi mamak di Minang sangat tinggi derajatnya ”Anak di pangku kamanakan dibimbiang urang kampuang di patenggangkan” untuk memberikan arahan pendidikan secara adat.

Dikembalikan fungsi dan peran mamak secara adat telah meredakan gejolak kehidupan sosial di masyarakat yang dikenal dengan pepatah “Kamanakan Barajo Ka Mamak, Mamak barajo ka panghulu, Penghulu barajo ka mufakat, Mufakat barajo ka nan bana, Bana badiri sandirinyo, Nan manuruik alua jo patuik”. Maka di mulai pada tahun 2010 lalu pemuda didukung oleh orang 4 jinih dipasukuan Nagari Gunung Medan. Pelopornya suku Tigo Nini Dt. Sinaro yang merupakan suatu gebrakan yang mengangkat kegiatan bertajuk “Ziarah Rumah Gadang”.

Di mana kegiatan awal “Ziarah Ka Rumah Gadang” atau sebutan lain baliak ka rumah gadang” bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan antara mamak, kemenakan, cucu, anak beserta urang sumando. Dampak dari kegiatan tersebut terciptanya rasa persatuan dan kesatuan di dalam kaum untuk pembangunan nagari.

Dasar seperti ini menjadi fondasi sekaligus tolak ukur guna membenahi permasalahan sosial di masyarakat. Gebrakan ini didorong oleh konflik sosial yang berkepanjangan sekaligus momentum pemanfaatan fungsi Rumah Gadang. Di ranah Minang tentu sangat tepat sekali manfaat dan kegunaan Rumah Gadang.

Rumah Gadang yang dalam waktu belakangan ini sudah tak lazim lagi digunakan untuk tempat berkumpul sanak famili, sembari menerima pengetahuan adat dari mamak. Dengan memanfaatkan fungsi serta kegunaan Rumah Gadang membawa hasil positif.

Kegiatan ini terus berlanjut dari tahun ke tahun sehingga menjadi agenda tahunan. Di sela-sela waktu berkumpul tersebut muncul sebuah wacana menghidupkan kembali tradisi-tradisi lama yang mulai dilupakan seiring kemajuan zaman. Tradisi ziarah ka rumah gadang “baliak ka rumah gadang” dari tahun ke tahun menjadi sorotan oleh media cetak lokal.

Sampai pada tahun 2013 di bawah payung panji pasukuan Tigo Nini Dt. Sinaro salah seorang pemuda dari kaum tersebut mendirikan Kesenian Anak Nagari . Kesenian tersebut di pelopori oleh Erizal S.S. Beliau ini juga merupakan seorang penggiat kebudayaan.

Kesenian tradisional ini memiliki beberapa program yang diprioritaskan pada ilmu Silat dan adat Minang. Agenda latihan rutinitas sangar kesenian anak nagari di gelar 1 kali dalam seminggu. Kebanyakan anggota sangar kesenian itu masih menempuh jenjang pendidikan Sekolah Menengah Umum ke bawah. Latihan rutinitas di adakan pada Sabtu malam pukul 20.00 WIB.

Waktu latihan rutinitas diadakan setelah sholat isya. Suasana gelanggang sudah di kerumuni oleh peserta didik dan masyarakat setempat. Penentuan hari sabtu sebagai hari H dipilih mengingat esok merupakan hari libur. Arena latihan terletak di belakang rumah gadang. Setelah 2 tahun hasilnya mencapai puncak dengan menggaet lebih kurang 100 orang siswa didikan.

Item pertunjukan kesenian ilmu Silat anak nagari dan Pantun Pasambahan Makan Minang ditampilkan oleh anak didik Erizal S.S. Penampilan mereka begita memukau hingga membuat mata penonton berbinar-binar.

Pertunjukan itu merupakan penampilan atraksi perdana di depan umum dalam perhelatan Ziarah Rumah Gadang V pasukuan Tigo Nini Dt. Sinaro tahun 2015. Atraksi ini bertempat di Rumah Baru kaum. Pergelaran atraksi Kesenian Anak Nagari ini di hadiri juga oleh Akademisi dan Budayawan ternama Sumatera Barat.

Dari kalangan akademisi hadir Pramono yang notabene merupakan seorang dosen Sastra Minangkabau Universitas Andalas sekaligus pengurus organisasi Minang Corner, dan Musra Dahrizal dari kalangan budayawan. Nama disebut terakhir terkenal dengan panggilan Mak Katik yang telah memerankan beberapa film.

Pasca penampilan anak nagari terlontar sebuah ide dari mulut akademisi yang hadir untuk mewacanakan nagari Gunung Medan sebagai nagari budaya dan nagari adat. Wacana ini bukan suatu tanpa alasan karena, beliau melihat fenomena yang ada di lapangan. Harapan untuk menjadikan nagari Gunung Medan di sambut positif dan apresiasi oleh kalangan tokoh masyarakat dan adat.

Seiring berjalannya waktu kegiatan dari sangar telah merubah mind set atau pola pikir generasi muda ke arah positif. Ini menandakan adat Minang kembali menjadi pedoman bagi masyarakat seperti kata adat “ Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah”.

Gebrakan dan terobosan seperti ini tentu tak lepas dari kita sebagai makhluk sosial. Fungsi sosial manusia berkaitan dengan hubungan sesama manusia, hubungan manusia dan lingkungan, serta hubungan vertikal manusia dengan tuhan.

Ketiga fungsi ini tidak dapat dipisahkan dan bila berjalan semestinya, serta tanggung jawab dari bagian makhluk sosial baru seutuhnya, di katakan sebagai Manusia. Perihal tersebut tentu berguna bagi nusa bangsa untuk pembangunan SDM.

Kalau kita lihat permasalahan kebudayaan dewasa ini di Minangkabau ditinjau dari arus gelombang budaya terletak pada kurangnya penanaman nilai-nilai adat.

Dengan bangkitnya tokoh-tokoh adat mengembankan nilai-nilai adat di tengah era globalisasi dewasa ini menandakan adat Minang “indak lapuak dek hujan indak lakang dek paneh”.Bila di tinjau dari segi filosofis menandakan orang Minang tak lupa dengan Filosofinya“Alam Takambang Jadi Guru” semua kejadian belajar ke alam.

Adat merupakan sesuatu yang sakral bagi kaum Minang dan menyatu di dalam sanubarinya. Maka dengan terealisasi nilai-nilai adat di kehidupan manusia membuat sesuatu yang berkah dan bermanfaat bagi orang banyak sebagai manusia yang berbudaya.

--

--