Alergi: AB

Ulya
Majalah Ganesha 2017
3 min readNov 22, 2017

Sudah terhitung tiga bulan sejak saya masuk dan aktif berkegiatan di Institut (semoga) Terbaik Bangsa. Seperti biasa, semua mahasiswa ITB mengalami suatu tahap yang digaungkan kakak tingkat sebagai “Tahap Paling Bahagia”. Saya sendiri belum bisa meng-amin-kan itu karena belum merasakan rasanya tingkat-tingkat selanjutnya, hehe. Karena ada beberapa fakultas yang semester 1 ini sudah sibuk, FTI contohnya. Tahap ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antar satu mahasiswa baru dengan mahasiswa baru lainya karena ITB sangat beragam.

Kesibukan akademik disertai dengan keberagaman unit dan kegiatannya yang menyenangkan membuat seorang anak TPB kebingungan untuk menyesuaikan diri. Biasanya pulang tidak terlalu malam, jadi harus pulang malam karena ini dan itu. Kepadatan materi pelajaran yang diberikan pada TPB juga membuat banyak anak menjadikan perpus sebagai rumah kedua, terutama saat UTS menjelang.

“Duh ul… H-5 UTS Fidas dan gue belum belajar apa-apa”

“Sumpah kimia gue pasrah”

“Kayaknya gue kalkulus 14/45 dah, hasil nulis!”

Keluhan semacam ini bertebaran di telinga saya dibarengi snapgram yang senada. Padahal saya juga sama belum belajar di H-5, sama pasrahnya dengan kimia, dan tidak tahu dengan nilai kalkulus dan mengandalkan hasil nulis juga. Maka menurut saya, hampir semua mahasiswa baru yang masuk ITB, pasti merasa punya pride yang lebih tinggi. Di binder mereka seolah ada pernyataan ITB=PINTAR, padahal? Kenyataannya tidak ada yang tahu. Bahkan menurut saya pintar itu sendiri relatif. Apakah dapat diukur hanya dengan kalkulus lo 45/45? Atau IQ 140?

Maka izinkan saya mengenalkan tentang alergi yang melekat di kulit maba. Yup, Alergi AB. Alergi yang gejalanya muncul pada maba-maba yang membawa buku ke kantin Salman atau menjadikan perpus rumah. Alergi ini akan mulai bereaksi bila nilai UTS keluar. Dan seperti namanya, kalau hasilnya AB, dia akan mulai alergi. Di luar menerima seolah “yey, gue AB” namun hati bilang “ntar gue cek berkasnya lagi deh”.

Mungkin pendidikan Indonesia masih berporos pada pujian yang dilebih-lebihkan pada orang yang butuh apresiasi dan perhatian. Misalnya seorang anak yang sering maju ke depan kelas saat pelajaran pasti akan lebih sering ditanya dibandingkan anak yang belum pernah maju. Dan anak yang sering maju ke depan kelas ini besar kemungkinannya untuk disuruh-suruh guru. Karena seringnya, ia pun merasa dipercayai guru disertai nilai bagus. Karena itulah “ngambis” dimulai.

Pygmalion Effect, sebuah kejadian dimana jika seseorang diberi ekspektasi tinggi, maka dia akan berusaha untuk bekerja atau belajar dengan lebih baik daripada jika dia seolah ekspektasinya. Disebut pigmalion karena berkaitan dengan mitologi Yunani yaitu tukang kayu yang cinta pada pahatannya sendiri dan memohon pada dewi untuk menghidupkan pahatan itu.

Sesuai dengan cerita ITB, yang mabanya masih terbawa efek pigmalion dari zaman sekolah sebelumnya. Roseanthal yang meneliti tentang efek ini pun masih merasa rancu karena banyak faktor yang harus diteliti lagi selain ekspektasi tinggi ini. Karena tentu saja, tidak semua dosen mengapresiasi muridnya (ataukah ada?). Dan pada keadaan seperti ini haruskah tpb berharap pada ekspektasi? Kalau hal ini terjadi terus dan terus begini saja, tpb yang bergantung pada ekspektasi orang lain akan kehilangan esensi belajar mereka. Nanti-nantinya akan muncul alasan, “gue harus A soalnya gue pinter”. Padahal esensi belajar terletak saat kita memahami ilmu dan pengetahuan yang luas. Dan “pintar” memang cuma label yang bisa dilepas sesuai nilai kamu.

Maka manakah yang bijak untuk disikapi? Jawaban saya: “B A-ja!”. Semoga tidak ada lagi alergi AB di kalangan TPB. Alergilah pada BC, agar tidak ikut UP dan bisa libur lebih lama yoohoo.

Dari Maba untuk Maba:

23–11–2017

1:43 AM.

-ulya-

--

--