[Animal Farms]
Animal farm, sesuai dengan judulnya menceritakan, tentang sebuah peternakan yang didalamnya hidup berbagai macam binatang. Dalam buku ini dijelaskan mengenai kondisi dari para binatang yang sengsara,tertindas, dan menyedihkan akibat ulah manusia yang mengeksploitasi mereka secara semena-mena. Tindakan totaliter dari manusia ini menimbulkan keinginan dikalangan para hewan untuk hidup dengan bebas serta merdeka dalam menentukan jalan hidup mereka.
Dalam cerita tersebut, keinginan para hewan ini berhasil diwujudkan dalam 7 falsafah hukum ‘kehewanan’ yang menjadi dasar bagi mereka untuk hidup bebas dan merdeka. Mimpi dari para hewan ini terwujud dan sempat berjalan dengan lancar, namun rasa angkuh dan haus akan kekuasaan diantara para pemimpin hewan ini mengakibatkan kondisi hewan di peternakan malah lebih parah dari sebelumnya. 7 falsafah hukum hewan yang awalnya merupakan pegangan perlahan diubah oleh para pimpinan untuk memenuhi hasrat mereka dan kaumnya. Rasa kesetaraan antarsesama yang dijunjung-junjung seolah hanya menjadi slogan pemanis yang akhirnya dilupakan untuk kepentingan kelompok.
Yang menarik dari novel satire karangan George Owell ini adalah caranya dalam menyajikan kondisi sosial manusia pada saat ini dengan analogi para hewan. Sebagai mahasiswa, saya menganggap idealisme awal para hewan yang menentang kebijakan peternak seperti kita mahasiswa dengan segala macam teori dan argumentasinya dalam menuntut dan menegakkan keadilan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang dan merugikan masyarakat. Namun ketika mereka menjadi orang-orang yang berperan sebagai pemangku jabatan dan pembuat kebijakan, idealisme masa muda yang berapi-api ketika menjadi mahasiswa seolah hilang begitu saja saat bersentuhan dengan urusan materi. Korupsi, saling menjatuhkan lawan politik dan menghalalkan segala cara untuk memangku sebuah jabatan seolah menjadi hal lumrah. Mereka yang dulu paling keras dalam memperjuangkan suara keadilan kini bereformasi menjadi orang yang acuh dan mengkhianati keadilan yang mereka gagas sendiri.
Dalam beberapa tahun yang akan datang, cerita para hewan yang menjadi serakah dan haus akan kekuasaan tersebut bisa saja terjadi dalam kehidupan kita. Inkonsistensi dalam memegang sebuah gagasan serta tidak siapnya diri dalam melawan godaan menjadi evaluasi bagi kita sebagai generasi muda agar tidak terjebak dalam sebuah ‘lingkaran iblis’ tersebut.
Sejarah bisa saja gagal — generasi sebelum kita mungkin saja melakukan hal yang tidak sesuai harapan — tapi hidup yang cuma sekali bagi generasi kita ini terlalu mahal jika hanya digunakan mengulangi kesalahan yang sama, bukan?