Dia yang masih ‘ada’

M Ali Syaifudin
Majalah Ganesha 2017
17 min readNov 14, 2017

“Aku ingin bunuh diri”

Perkataan itu membuatku membeku. Kata-kata tersebut keluar dengan cukup susah payah setelah beberapa saat basa-basi tanpa arah. Dia tidak menatapku saat mengatakan hal tersebut. Dia seperti memandang kosong ke tanaman hias dekat jendela di belakang kursiku. Dari wajahnya, aku bisa yakin dia tidak sedang bercanda. Dia terlihat tenang walaupun awalnya terlihat kaku.

Pandangannya berpindah menatap mataku. Aku sedang menggenggam gelas jus alpukat dan menghisapnya melalui sedotan. Lalu aku meletakkan gelasku dan menatap balik matanya. Matanya indah dengan pupil coklat jelas. Begitu pula wajahnya, tidak seorangpun akan menampikkan kecantikannya. Bahkan hidupnya yang penuh dengan keberkahan. Dia adalah anak seorang pembisnis terkaya di dunia. Dia jago dalam segala bidang, akademik di sekolah, menyanyi, bermain musik, dan olahraga. Dia pun sudah berkali-kali pulang pergi mengikuti lomba-lomba bahkan berskala internasional. Dia merupakan pemikir yang mendalam. Apalah aku hanyalah seorang pemikir yang kebetulan berteman dengannya. Kita sama-sama pemikir, hanya itu mungkin alasan mengapa kita bisa berteman. Bahkan, kita bukanlah teman dekat, cuma teman kenal. Hal itu jugalah yang membuatku kikuk untuk mengobrol dengannya empat mata. Tapi, siapa sih yang bakal menolak permohonannya?

“Kupikir kamu tidak akan mengatakan hal tersebut…”

“Aku benar-benar ingin bunuh diri”

Aku tersentak sebentar, dia benar-benar kokoh. Dia mengangkat canggir kopi cappuccino yang masih hangat lalu menyeruputnya dengan tenang. Aku bisa mendengar gertakan suara tatakan dan canggir kopi tersebut ketika dia meletakkannya kembali dengan elegan. Aku benar-benar tidak memiliki hipotesis mengapa dari semua kesempurnaan yang dimilikinya, dia memutuskan untuk mati saja. Atau, apakah dia muak dengan semua sikap sempurna ini? Apakah dia ingin mencoba melakukan pemberontakan? Apakah dia ingin melakukan eksperimen yang membuat semua orang terheran-heran?

Memang benar ketika seseorang berada pada suatu kondisi yang ekstrem, ada kemungkinan orang tersebut akan meledak dan bergerak menuju ujung spektrum lainnya. Aku kenal beberapa teman-temanku yang dahulu merupakan orang yang relijius, tetapi sekarang menjadi orang-orang terdepan yang menentang tuhan. Aku kenal beberapa temanku yang dulu meneriakkan persamaan hak terhadap kaum homoseksual, sekarang menjadi orang yang paling jijik dengan hubungan sesama jenis. Memang terlihat sangat kontradiktif, tapi itulah kenyataan yang ada. Seberapa keras pun aku menolak fakta-fakta ini, mereka tetap akan menghantuiku. Tapi aku tidak pernah menyangka titik ekstrem yang satu ini. Seorang yang memiliki kehidupan yang sempurna tanpa cacat serta bahagia memilih untuk bunuh diri? Tidak mungkin!

“Aku benar-benar tidak mengerti, tolong jelaskan. Kupikir seorang pemikir sepertimu tidak akan mengambil tindakan secara gegabah. Yang kutahu semua tindakanmu bukanlah karena paksaan, seperti pencitraan, namun memang benar-benar berasal dari akal sehatmu. Memang ada beberapa orang yang membencimu karena kamu terlalu sempurna, tapi kamu pasti memiliki sikap yang bijaksana dalam menanggapi perilaku tak berguna mereka. Aku sangat yakin, kamu memiliki alasan yang kuat sampai akhirnya kamu memilih untuk bunuh diri. Aku tahu, orang sesempurna apapun pastilah memiliki masalah pribadi. Adalah pemikiran yang dangkal menganggap orang-orang sempurna bersih dari masalah. Jadi aku tahu kamu pasti juga memiliki masalah, terlepas dari siapapun kamu. Aku benar-benar berpikir kamu jauh lebih baik dalam berpikir mendalam dari pada aku, aku sangat kagum”

“Terima kasih atas pendapatmu. Tujuanku mengajakmu ngobrol untuk membahas hal ini. Aku tahu kamu adalah seorang pemikir yang mendalam, walaupun jadinya kamu tidak begitu bisa bersosialisasi dengan orang-orang. Aku juga tida k begitu baik dalam bersosialisasi. Aku dibantu oleh bakatku dalam banyak bidang sehingga membuat orang-orang lebih bersahabat untuk berkenalan denganku. Tapi aku bisa melihat secara pasti kalau kamu adalah orang yang tepat untuk diajak curhat tentang perkara besar ini. Paling tidak, aku bisa menyampaikan semua gundah gulana yang kumiliki selama ini”

Dia meminum kembali kopinya dengan sangat anggun. Dia berpakaian rapi seperti biasanya. Dia memakai pakaian kasual dengan perpaduan warna yang cocok. Baju lengan pendek berwarna merah-hitam dengan beberapa garis belang-belang dengan rok yang senada. Rambutnya berwarna hitam gelap yang lumayan panjang menutupi sebagian bahunya yang tersisir rapi dan berbau wangi. Dia tidak memakai banyak perhiasan, kecuali anting emas yang mengantung di kedua telinganya yang mungil. Dibandingkan dengan aku yang menggunakan kaos putih dengan tulisan yang berwarna-warni dan celana panjang berwarna coklat terang, yang jelas sangat kontras. Rambutku pun tidak pernah dirapikan, hanya kubiarkan natural. Caraku meminum jus alpukat pun seperti orang autis yang tidak peduli dengan penghakiman orang-orang. Ya, aku tidak peduli.

“Kamu tahu kan, kita manusia hidup di dunia ini tanpa alasan yang mendasar. Kita hidup dan hanya begitu, sampai kita benar-benar memilih apa tujuan kita hidup”

“Ya kau benar, aku juga berpikir seperti itu”

“Namun, seperti yang kamu tahu, artinya tujuan hidup kita itu tidak mendasar. Kita memilih tujuan hidup sebab kita pikir hal tersebut berguna untuk kita. Namun, mengingat kita hidup tanpa ada alasan, bukankah hal tersebut menampar kita secara tegas bahwa tak beralasan untuk kita memilih tujuan hidup apapun”

“Tunggu, aku tidak setuju. Kamu sendiri yang bilang ‘Kita memilih tujuan hidup sebab kita pikir hal tersebut berguna untuk kita’, bukankah itu merupakan alasan yang sah”

“Kau benar, tapi bagaimana jika tidak ada lagi hal yang berguna menurutku?”

“Bagaiamana itu mungkin? Terlalu banyak hal berguna di dunia ini. Mengapa kamu bisa berpikir seperti itu?”

“Ya, ini kembali kepada keadaan awal. Hidup ada tanpa alasan. Aku bisa mendapatkan kebahagiaan karena makan es krim, namun hal tersebut tidak bisa menyangkal fakta kalau aku tidak memiliki alasan untuk hidup. Kebahagiaan yang kudapatkan hanyalah kebahagiaan yang semu. Aku mungkin senang memakan es krim, namun setelah selesai? Aku akan dihadapkan kembali pada realita bahwa aku hidup tanpa alasan. Aku hidup dalam tubuh yang sangat rentan merasakan derita. Setiap detik kita semakin capek. Coba dipertimbangkan, tubuh yang sangat mudah menderita ini hanya mendapat sedikit sekali kebahagiaan. Kebahagiaan datang pada saat-saat aku melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan kebahagiaan. Namun transisi antara satu kebahagiaan dan kebahagiaan yang lain merupakan fase penderitaan. Benar kalau kita tidak memikirkannya, kita tidak akan menyadari kita sedang menderita. Namun, hal tersebut tetap tidak akan menyangkal fakta kita benar-benar menderita. Apapun tujuan hidup yang kupilih, penderitaan tetap akan datang. Yang lebih fatal lagi, kita tahu kita memilih suatu tujuan hidup yang benar-benar bukanlah suatu tujuan hidup yang instrinsik dari hidup itu sendiri”

“Oke, aku setuju kalau kita memang menderita sebanyak itu, tapi aku masih belum menangkap jawaban dari ‘Kita memilih tujuan hidup sebab kita pikir hal tersebut berguna untuk kita’, bukankah hal tersebut sudah cukup? Emang kenapa kalau tujuan hidup itu bukanlah hal yang intrinsik?”

Dia terlihat berpikir. Mungkin dia memiliki ide-ide itu di sana, namun belum bisa dia tumpahkan dalam kata-kata bahasa kita. Kuakui, bahasa yang kita miliki merupakan alat terbaik dalam menyampaikan ide. Namun, bahasa juga mengekang ide-ide yang ingin kita sampaikan. Suatu ide bisa ada terlepas dari bahasa, setelah ide tersebut menyusup dalam bahasa, ide yang tersampaikan dalam bahasa tidak sesempurna ide itu sendiri. Dibutuhkan penjabaran yang panjang lebar untuk menyampaikan suatu ide dengan baik. Bahkan, walaupun sudah dijabarkan dengan sangat mendetil, ide yang disampaikan tetap saja tidak sepenuhnya tersampaikan. Adalah tugas kita untuk menyusun ulang semua informasi yang tersampaikan dan menambahkan bagian-bagian yang rempong dalam kepala kita sehingga ide yang ingin disampaikan benar-benar tersampaikan. Dan, kupikir dibutuhkan latihan yang cukup banyak untuk merekonstruksi ide dengan tepat.

“Ada yang kurang, aku yakin. Tujuan hidup merupakan alasan yang bagus untuk tetap melangsungkan hidup. Sebelum kita melangkah lebih jauh, aku ingin bertanya kepadamu. Apa tujuan hidupmu?”

“Aku sih ingin hidup bahagia, membantu sekitar, dan berguna untuk umat manusia”

“Mengapa?”

“Ehhhmmm, oke. Aku harus menjawabnya satu-satu. Pertama aku ingin bahagia karena yaaaa, hal itu membuatku nyaman. Seperti yang kamu katakan, aku senang makan es krim, sebab es krim itu lezat dan mendatangkan kebahagiaan. Kebahagiaan tersebut membuatku nyaman. Dan kupikir sudah merupakan naluri paling mendasar dari makhluk hidup untuk merasa nyaman.”

“hhhmmm” bisiknya sambil mengangguk.

“Kedua aku ingin membantu sekitar, sebab ketika aku membantu sekitar aku mendapat perasaan nyaman pula. Aku merasa ada hal tertentu yang masuk ke dalam pikiranku, suatu perasaan bangga dan juga senang. Hal-hal mendasar seperti itu kupikir juga hal yang mendasar dari makhluk hidup. Dan juga, jika aku membantu sekitar, citraku menjadi baik, jadi mereka pun tidak akan segan untuk membatu balik. Dengan mendapat bantuan dari mereka, aku mendapat keuntungan kan?”

“Oke,”

“Ketiga berguna untuk umat manusia. Yang ini sih, hhhmmm, aku kurang tahu kenapa. Yang jelas sih akan muncul kebanggaan tersendiri kalau aku berguna untuk umat manusia. Ya sebelas-dua belas lah dengan membantu sekitar. Toh, membantu sekitar kan juga berguna untuk umat manusia”

“Oke aku mengerti. Tapi aku melihat ada hal yang aneh. Kita senang pada sesuatu sebab kita menganggap sesuatu itu menyenangkan. Tapi, banyangkan ternyata sesuatu yang menyenangkan tersebut memiliki latar belakang yang kelam, bukankah rasa senang yang kita dapatkan adalah rasa senang yang semu? Sebagai contoh, kita pergi ke sebuah restoran. Kita memesan makanan paling enak di restoran tersebut. Kita memakan makanan tersebut dengan rasa nikmat yang tak tertara. Namun, pada kesempatan kedua kita makan makanan tersebut, kita diberitahukan kalau makanan tersebut terbuat dari daging manusia. Kita mulai merasa eneg dan pergi ke toilet untuk muntah-muntah. Terlepas dari rasanya yang lezat, bukankah pikiran kita menjadi tidak tenang sehingga tidak bisa menikmati lezatnya makanan tersebut seperti dahulu lagi? Sama seperti kehidupan ini. Aku merasa senang memakan es krim. Tapi menyadari kalau hidup tak memiliki arti sama sekali membuatku berpikir tak ada gunanya. Seberapa besar pun kebahagiaan yang kudapatkan, fakta mengenai tak ada gunanya semua itu merupakan nilai yang sangat negatif, yang membuatku berpikir lebih jauh. Bayangkan seorang manusia yang tak pernah dilahirkan, bukankah itu merupakan suatu berkah? Orang tersebut tidak akan merasakan derita yang kita derita”

Aku berpikir sesaat untuk mencari komentar yang tepat.

“Aku tidak setuju bagian ‘hidup tak memiliki arti sama sekali’, bukankan hidup bisa memiliki arti? Seperti Hidupku memiliki arti untuk mendapatkan kebahagiaan”

“Dan mengapa demikian?”
“Karena, kebahagiaan itu sesuatu yang intrinsik. Kebahagiaan datang dari berbagai hal, dan sudah merupakan insting kita untuk mencapainya”

“Dan bagaimana jika tidak ada lagi hal yang bisa mendatangkan kebahagiaan hakiki?”

“Kupikir itu mustahil, bagaimana mungkin. Kau sendiri yang bila kalau kita makan es krim kita mendapat kebahagiaan”

“Jadi kamu bilang hidupmu akan berarti jika kamu mendapat kebahagiaan kan?”

“Ya, lebih ke arti hidupku itu sendiri adalah mendapat kebahagiaan”

“Hhhmmm, aku melihat argumen kita berputar. Biar kuperjelas.

  1. Jika hidup tidak berarti, maka kebahagiaan yang kudapatkan adalah kebagiaan semu
  2. Hidup ku memiliki arti untuk mendapatkan kebahagiaan hakiki.

Bagaimana kita bisa yakin kita bisa mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dan bukan kebahagiaan yang semu? Agar aku yakin kebahagiaan yang kudapat tidak semu, hidupku haruslah berarti terlebih dahulu! Agar aku yakin hidupku berarti, aku harus mendapatkan kebahagiaan hakiki!“

Benar juga, dengan kata lain hidupku berarti jika aku berhasil mendapatkan kebahagiaan hakiki. Tapi kebahagiaan hakiki hanya bisa didapat jika hidupku berarti. Artinya, Hidupku berarti jika dan hanya jika aku berhasil mendapatkan kebahagiaan hakiki. Bagaimana aku bisa yakin salah satunya benar? Bagaimana aku bisa yakin hidupku berarti atau aku berhasil mendapatkan kebahagiaan hakiki, bukan kebahagiaan yang semu?

Namun, aku sangat yakin hidupku bisa memiliki arti dan aku yakin hidupku benar-benar memiliki arti meskipun aku sendiri yang menentukan arti itu. Aku sangat yakin.

“Tunggu dulu, emang kenapa kalau kebahagian yang kudapatkan adalah kebahagiaan yang semu? Toh aku kan tetap bahagia”

“Kembali ke analogi, benar makanan tersebut enak sekali, tapi fakta di baliknya yang membuatmu merasa tidak nyaman dengan makanan tersebut. Aku menyebut kelezatan makanan ini kelezatan semu. Dan kutanya kepadamu, apakah kelezatan semu ini berarti?”

Aku berpikir sejenak. Aku setuju dengannya.

“Kupikir, kau benar. Jadi, ketika aku mendapatkan kebahagiaan semu, bukanlah sesuatu yang positif yang kudapatkan, melainkan sesuatu yang negatif.”

“Tepat sekali”

“Hhhhhmmmm, kupikir premis ‘Jika hidup tidak berarti, maka kebahagiaan yang kudapatkan adalah kebagiaan semu’ tidak tepat”

“Ya memang tidak tepat, lebih tepatnya sih ‘Jika aku tidak sadar kalau hidup ini tidak berarti, maka kebahagiaan yang kudapatkan adalah kebahagiaan yang hakiki’. Selama aku berpikir kalau hidup ini memang memiliki arti, maka aku bisa bahagia. Namun, sekarang aku tahu kalau hidupku tak berarti. Aku hanyalah manusia yang lahir tanpa aku sendiri memutuskan untuk lahir. Aku tidak membawa misi tersendiri dalam hidup ini. Secara umum, aku tidak memiliki tujuan untuk hidup. Dan mengapa aku harus memilih sesuatu untuk dijadikan tujuan hidup? Hanya karena aku mendapatkan kebahagiaan ketika makan es krim tidak bisa meyakinkanku kalau aku perlu hidup dengan mendapatkan kebahagiaan. Benar tubuh fana ini sangat menyukai kebahagiaan, namun tubuh fana ini juga sangat rentan. Sekarang bayangkan kamu mati, bukankah kamu terbebas dari derita? Dan juga kamu terbebas dari kebahagiaan. Bahkan kamu tidak akan merasakan apa-apa, karena kamu sendiri bahkan tidak ada!”

“Jadi, karena tujuan hidup itu tidak datang dari langit hal tersebut merupakan nilai negatif pada hidup? Satu-satunya cara hidup ini bertujuan adalah kita sendiri yang menentukan tujuan hidup kita, tapi seakan-akan tidak ada alasan mengapa kita harus memilih tujuan hidup. Aku mengklaim aku memilih tujuan hidup untuk mendapat kebahagiaan, dan kamu berargumen kalau tidak ada lagi kebahagiaan yang hakiki sebab kamu ‘sadar’ kalau hidup ini tak berarti. Ahhhh, aku pusing”

Aku meminum sampai habis jus alpukatku dalam kepeningan. Aku benar-benar kehabisan kata-kata untuk membalas argumennya. Aku mau bilang hidup ini benar-benar layak untuk dijalani, tapi apa yang harus kuutarakan? Dia memojokkanku.

Dia menyeruput kopinya dengan elegan dan menyilangkan kakinya dengan gemulai. Wajahnya terlihat tenang, tidak seperti orang yang mau bunuh diri. Aku tahu banyak orang memilih bunuh diri karena stress atau depresi menghadapi dunia ini. Bisa kubilang dia memang sedang menghadapi dunia ini, namun aku tidak bisa mengatakan kalau dia sedang stress!

“Tapi, aku yakin ada yang salah dari argumenku. Aku mengklaim ‘Jika aku tidak sadar kalau hidup ini tidak berarti, maka kebahagiaan yang kudapatkan adalah kebahagiaan yang hakiki’, nah bagaimana caranya aku sadar kalau hidup ini tidak berarti? Berarti aku tahu dong tidak ada suatu hal yang bisa membuat hidup ini berarti. Tapi, bukankah arti hidup itu sendiri dapat kita tentukan tanpa perlu memiliki alasan mengapa hal tersebut yang dipilih. Semisal aku menentukan arti hidupku adalah dapat membahagiakan orang tua. Dengan begitu aku memiliki arti hidup. Sehingga aku bisa mendapatkan kebahagiaan hakiki, yang membuatku tetap bertahan untuk hidup. Namun yang membingungkan adalah alasan mengapa aku memilih arti ‘membahagiakan orang tua’? Kalau memang aku memilih hal tersebut tanpa alasan, maka tidak ada masalah . Namun jika ada alasannya, mungkin jawabannya adalah sebab mereka telah melakukan banyak hal yang membuatku bahagia. Tapi tunggu dulu, sebelum mereka membuatku bahagia, berarti tidak ada alasan mengapa arti hidupku ‘membahagiakan orang tua’, artinya aku tidak memiliki alasan mengapa aku harus memilih arti hidup ‘membahagiakan orang tua’, yang berarti aku tidak perlu memilih hal tersebut sebagai tujuan hidup. Jika aku memilih untuk tidak menganggap hal tersebut sebagai arti hidup dan hanya hal tersebutlah yang mungkin menjadi arti hidup, berarti aku sadar aku tidak memiliki arti hidup. Maka, apapun yang mereka lakukan untukku, kebahagiaan yang kudapatkan adalah kebahagiaan semu! Jika yang kudapatkan kebahagiaan semu berarti aku semakin tidak punya alasan untuk menjadikan ‘membahagiakan orang tua’ sebagai arti hidup. Di lain pihak, jika aku memilih untuk menganggap hal tersebut sebagai arti hidup tanpa alasan, berarti aku telah mempertentangkan pernyataan awalku bahwa arti hidup tersebut memiliki alasan!”

“Ya aku mengerti. Artinya arti hidup itu sendiri mestilah tanpa alasan agar dapat secara sah menajdi arti hidup. Cuma, hal tersebut terlihat sangat abstrak kan?”

“Ya, tapi tetap bisa kok hidup memiliki arti dan beralasan, asalkan alasannya bukan karena kebahagiaan.”

“Aku mengerti, jadi semisal aku memiliki arti hidup yaitu sesuatu yang bukanlah kebahagiaan, maka aku tidak akan mengalami argumentasi berputar lagi. Semisal arti hidupku adalah menjadi berguna untuk sekitar. Mengapa? Karena hal itu membuatku bangga. Benar kan?”

“Tidak juga sih”

“Jadi?”

“Meskipun aku cuma menyebutkan kebahagiaan semu, sebenarnya hal ini juga berlaku untuk semua sikap lainnya. Kebanggaan semu, ketenangan semu, dan lain-lain. Bahkan, arti hidup yang semu”

Pernyataannya sangat mengerikan untuk kutinjau lagi. Dan aku setuju. Banar, hal itu berarti semua hal yang semu. Keberadaan itu sendiri semu. Bahkan lebih jauh lagi, pemikiran kita juga mestinya semu. Aku sudah tidak tahu hari bagaimana lagi.

Kopinya sudah habis dan dia merapikan sedikit rambutnya yang terurai rapi dan indah. Dia menatap jauh ke dalam meja di depan kita. Tercemin dari wajahnya yang teralu sempurna, sebuah keputusan yang bulat. Aku pikir melihat dengan jelas, kalau dia bangga dengan semua ini, tapi sepertinya aku salah. Yang kuketahui sekarang adalah, mestinya dia tidak memiliki rasa apa-apa lagi.

“Tunggu, aku sekarang setuju dengan mu. Berdasarkan semua argumentasi sebelumnya, benar hidup ini tak layak dijalani. Terlalu banyak nilai negatif pada rapor kehidupan ini kalau kita benar-benar sadar hal itu. Aku pun juga sudah tersadarkan. Tapi masih ada beberapa hal yang harus kita pertimbangkan. Pertama, jangan terburu-buru. Kedua, kita bukanlah makhluk rasional sepenuhnya. Jadi, kupikir tindakan-tindakan yang kita ambil tidak bisa serta-merta hanya berdasarkan rasionalitas kita. Kupikir, seharusnya perasaan lah yang mengontrol hidup kita. Perasaanlah yang berada di atas segalanya. Jadi, apa yang kamu rasakan?”

Dia mengalihkan pandangannya menatap mataku. Dengan kedua tangannya yang digenggam untuk menahan dagunya wajahnya sedikit mendekat. Aku tidak bisa bilang kalau dia sedang tidak tersenyum sinis, tapi bisa jadi itu adalah ekspresi standarnya. Lalu dia sedikit memiringkan kepalanya dan berkata.

“Aku sudah memikirkan ini selama 10 tahun. Jadi kupikir itu sudah terlalu lama. Dan juga aku sebenarnya setuju kalau 10 tahun bukanlah lama sekali, bisa jadi itu hanya sebentar, jadi terlihat terburu-buru. Tapi, aku sudah memiliki pandangan terhadap apa yang terjadi terhadap hidupku di masa depan, yaitu kemungkinan besar tetap sama. Jadi, daripada aku mempertaruhkan hidupku lebih lama lagi, aku sudah bulat untuk mengakhiri sekarang.”

Dia mengatakan semua itu dengan sangat elegan. Siapa sih yang gak bakal terpana dengannya? Tapi siapa yang sangka kalau dia berpikir seperti ini! Aku berpikir sekarang adalah waktu terburuk dari hidupku!

“Masalah perasaan, aku minta maaf. Hatiku sudah lama mulai membeku secara gradual. Dan, kupikir saatnya hatiku benar-benar beku. Sehingga, aku hanya dikuasai akal. Hehe”

Aku langsung menyambar tangan kanannya dengan erat. Aku memegangnya dengan sangat erat dengan harapan aku tidak akan kehilangannya.

“Hentikan! Aku sudah tidak peduli dengan dialektika yang kita lakukan. Aku cuma ingin satu hal. Hentikan! Aku tidak akan membiarkan dirimu melakukannya!”

Suaraku sangat kencang, sehingga menarik perhatian orang lain di kafe ini. Dia terlihat tidak senang denganku. Dia mencoba menarik tangannya. Keamanan kafe mulai bergerak mendekati kami. Orang-orang terlihat nyinyir terhadap kami. Aku tetap menggemgam erat tangannya. Aku sudah tidak peduli apa kata dunia.

“Mas Mbak, jangan bertengkar di sini, silakan keluar” Kata keamanan sambil mengusir kami keluar. Aku dan dia berdiri dan didorong paksa oleh keamanan. Tapi, aku tetap menggenggamnya.

“Bertengkarlah di luar!”

Kami berdua kini berada di luar kafe. Dia terlihat tetap tenang. Tidak ada sewaktupun dirinya terlihat tidak elegan. Dia bisa mengendalikan diri dengan tetap berwibawa. Sedangkan aku, terlihat kacau dan irasional. Kupikir aku adalah pemikir yang jelas. Ternyata, tidak ada bedanya dengan abg lainnya yang labil. Aku masih bertindak layaknya seorang kekasih yang diputuskan.

Dia menatapku lalu tersenyum.

“Aku sudah menduga”

“Apa? Kamu sudah menduga apa? Jangan perlihatkan wajah tersebut. Jangan berpura-pura kuat! Aku tahu kamu pasti tersiksa!”

“Aku tidak sedang berpura-pura, terutama berpura-pura kuat. Aku sangat lemah. Dan bukankah memang jelas aku tersiksa?”

“Berhenti bersikap bijaksana! Kamu ini hanyalah gadis berusia 17 tahun. Kamu hanyalah gadis kecil! Mestinya kamu menangis merengek dalam keadaan seperti ini. Kamu tidak pantas bersikap sok seperti ini!”

Aku tidak tahu, mengapa aku mengatakan hal tersebut. Aku sangat malu. Aku tidak menyangka betapa bocahnya diriku. Kupikir aku benar-benar pemikir. Aku benar-benar hina. Tapi, perasaanku tidak bisa dihentikan. Sekarang cuma satu yang kuinginkan. Dia berhenti.

“Tidak apa-apa. Aku sudah menduga akan berakhir seperti ini. Aku tidak menyesal mengajakmu mengobrol. Ingat apa yang kukatakan di awal? Paling tidak, aku…”

Aku langsung membungkam mulutnya dan memeluknya.

“Sudah kubilang hentikan”

Aku mulai menangis. Dia perlahan mengelus punggungku. Sialan! Dia tidak terlihat sedikitpun terintimidasi. Satu-satunya orang yang merasa terintimidasi adalah diriku sendiri. Sial. Sial. Sial!

Perlahan aku mulai luluh. Tanganku yang membungkam mulutnya terjatuh bebas. Dia semakin memelukku dengan erat. Dia juga membelai rambutku dengan elegan. Air mataku jatuh mengenai punggungnya. Aku menangis seperti anak kecil, bahkan lebih buruk. Sedangkan dia, dia sangat tegar.

“Paling tidak, aku bisa menyampaikan semua gundah gulana yang kumiliki selama ini”

Aku mendengar itu. Aku yakin. Dia menangis?

“Tapi aku tahu dan sangat yakin, seberapa tidak rasionalnya tindakanmu saat ini, kamu tetap akan menjadi orang yang rasional pada akhirnya. Aku yakin, hanya kamu yang bisa menerima keputusanku. Walaupun hal itu pasti sangat menyakitkanmu”

Dia mengatakan semua ini dengan sedikit terbata-bata. Benar, dia menangis. Ini pertama kalinya aku mendengarnya menangis. Aku terlalu bodoh untuk berpikir kalau dia adalah robot. Dia tetaplah manusia, seberapapun kerasnya akalnya. Dia pasti pernah tersenyum, cemberut, iri, marah, dan juga menangis. Benar, dia adalah manusia.

Tapi aku tidak setuju dengannya. Aku tidak akan menerima keputusannya! Aku akan berjuang apapun yang terjadi, aku akan menghentikannya. Tidak penting bagaimana caranya dan untuk apa. Yang kutahu aku hanya ingin melakukannya.

“Tidak, kau salah. Dan kuyakin kau pasti pernah salah. Paling tidak saat ini kau salah. Aku tidak akan pernah menerima keputusanmu. Aku bersumpah akan menghentikan tindakanmu apapun yang terjadi”

Kupikir, setelah aku mengatakannya dia akan menunjukkan reaksi. Tapi ternyata tidak. Dia seakan-akan melakukan semua ini sesuai rencana. Apakah benar dia benar-benar sudah menduga semua ini?

“Iya, aku salah. Tapi itu tidak mengapa. Jadi apa yang akan kamu lakukan?”

Benar. Apa yang akan aku lakukan? Aku cuma bisa mengklaim tidak akan membiarkannya. Tapi apa yang bisa kulakukan? Apakah aku akan membuatnya gegar otak sehinggat tidak bisa berpikir lagi? Atau aku akan menculiknya lalu mengikatnya sehingga dia tidak bisa melakukan apapun secara mandiri? Atau aku akan memotong tangan, kaki, dan lidahnya agar dia tidak bisa bunur diri lagi? Apa? Apa yang harus kulakukan!

“Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu”

Dia terus menerus mengelus punggung dan rambutku dengan lemah lembut. Meskipun dia menangis, tapi dia tetap terlihat tenang. Dia memang selalu membuatku kagum.

“Tak apa, kamu tidak harus tahu. Yang terpenting, kamu mengikuti apa kata perasaanmu. Aku tidak akan ikut campur”

Ya, saat itulah, aku luluh. Aku benar-benar tidak bisa melawannya. Meskipun tubuhnya lebih kecil dariku, tapi jiwanya terlalu besar untuk kutaklukkan. Aku tidak bisa berbuat apa-apau. Aku telah kalah. Aku minta maaf.

***

Siang itu, aku tidak melihatnya. Dia tidak masuk sekolah tanpa kabar. Hal ini tidak pernah terjadi. Atau, surat izin ketidakhadirannya belum tiba, sehingga kita belum tahu.

Saat aku berjalan sendiri di lorong menuju kantin, tiba-tiba semua orang berlari munuju taman di belakang kantin. Mereka membuatku kesal. Apaan sih, sampai berlari terbirit-birit tidak jelas. Aku tidak peduli dengan semua orang. Tapi ketika aku mendengar suara bisik orang ada yang dibunuh, bulu kudukku berdiri. Sial, apakah hal itu benar? Aku langsung berlari dengan cepat mengikuti semua orang. Sial, aku menjadi mirip seperti semua orang. Aku berlari sangat cepat dan menerobos siapapun. Aku melihat kerumunan di depan. Aku menerobos masuk dengan sangat kasar. Aku tidak pernah terlihat peduli terhadap suatu hal yang menarik perhatian banyak orang. Sehingga orang-orang merasa aneh melihatku begitu antusias dengan hal ini. Mereka pikir aku akan tetap tidak acuh meskipun ada orang yang dibunuh. Mereka mungkin akan berdalih “Toh, hal ini tidak mempengaruhi hidupku”, dalih yang biasa kuutarakan. Tapi bukan itu yang kukhawatirkan.

Ketika aku berada di barisan terdepan, aku bisa melihatnya. Dia tetap terlihat sangat cantik. Tangannya tergantung dengan elegan seperti pada pose mencoba untuk terbang. Terbang jauh meninggalkan dunia ini. Bebas dari segala sesuatu, mencapai suatu keadaan terbaik sekaligus tak penting. Meskipun wajahnya menghadap bawah — sebab tidak ada otot yang aktif mengangkatnya — aku masih bisa melihat senyumnya. Dia tersenyum dengan sangat tenang, seperti orang yang paling damai di dunia. Aku tahu dia sudah tidak bernafas, tapi keadaannya tidak menunjukkan kalau dia sudah mati. Dia bahkan lebih indah dibanding boneka-boneka apapun. Kesederhanaan dan ketenangannya membuat semua orang yang melihatnya terbingung-bingung, antara mengakui dia telah tiada atau masih ada. Dia sukses membuat kami semua terpana, bahkan di detik terakhir hidupnya.

Dia mati dengan menggantung lehernya pada sebuah tali dan diikatkan ke sebuah dahan pohon. Tangannya juga dia ikatkan tali lalu disambungkan pada pohon lain, dengan pose seperti malaikat yang turun dengan perlahan dan elegan. Sang malaikat yang merasa kasihan melihat betapa besarnya penderitaan yang ditimpakan pad bumi ini. Di dadanya tergantung sebuah nametag dengan tinta darah bertuliskan.

”Hidup adalah penderitaan abadi -Anna”

“Anak-anak jangan ada yang mendekat!” Teriak seorang guru yang menerobos massa.

“Aku tidak percaya!” Teriak seorang gadis dengan histeris dan menangis berat, disusul tangisan gadis-gadis lainnya.

“Aku yakin dia dibunuh!” Teriak yang lainnya.

Opini-opini berterbangan. Tak ada seorangpun dari mereka yang mau mengakui kalau dia bunuh diri. Semua orang menangis, ada yang sangat kencang, ada pula yang yang hanya terisak. Aku tidak bisa menemukan seorangpun yang tidak meneteskan air mata. Bahkan orang-orang yang membencinya juga menangis. Dia berhasil membuat semua orang menangis. Kau sungguh sempurna, bahkan hingga sekarang.

Tapi, ada satu orang yang tidak menangis. Aku. Aku sudah tahu dia akan melakukan ini. Aku sudah menerima keadaan ini. Meskipun hatiku sangat perih, tapi dia benar. Dia benar ketika dia berkata ‘Aku yakin, hanya kamu yang bisa menerima keputusanku’. Dia sudah lama meninjau diriku begitu dalam. Dia sudah memprediksi semua langkahku, dan sempurna. Kini aku benar-benar bisa tenang.

Semua orang dipaksa untuk meninggalkan tempat perkara. Sekolah langsung di liburkan. Tubuhnya di bawa ambulan beserta kedua orang tuanya. Ada rasa kasihan terhadap mereka. Sebab, Anna adalah anak satu-satunya. Aku sangat yakin, Anna tidak meninggalkan jejak kalau dia benanr-benar akan melakukan ini. Pasti orang tuanya juga berpikir dia dibunuh, meskipun sangat jelas kalau dia bunuh diri. Aku bertanya-tanya, adakah orang lain yang berani mengakui kalau dia bunuh diri selain aku?

Aku ingin sekali mengikuti tubuhnya, untuk terakhir kalinya. Meskipun dia sudah mati, tapi tubuhnya masih merepresentasikan dirinya. Aku ingin bersamanya hingga dia dimakamkan. Seandainya roh itu ada, aku ingin roh itu ada di dekatku. Roh tersebut menyapaku seperti pertemuan kami di kafe kemarin. Senyumnya yang sederhana dan jujur bisa menenangkan jiwaku. Aku yakin siapapun yang melihat senyumnya pasti merasa bahagia. Sebuah kebahagiaan hakiki, kupikir. Lalu kami berbincang basa basi terlebih dahulu. Menanyakan kabar cuaca, kabar diri, kesibukan, dan hal-hal remeh temeh lainnya. Kaku ingin menyampaikan suatu topik, berputar-putar pada suatu topik, ataupun tertawa malu seperti orang autis. Setelah melewati masa-masa gaje tersebut, dia pun meluncurkan dua kata terburuk yang waktu itu kudengar. Dua kata yang kini kuanggap sebagai jalan terbaik untuknya. “Aku ingin bunuh diri”.

Dia berhasil meluluhkan kekerasan perasaanku dengan kasih sayangnya yang tiada tara. Jika Yang Maha Pengasih ada, maka kupikir dialah entitas tersebut. Dia berpura-pura mengalah di hadapanku, untuk melelehkan es dingin yang membelengguku. Dia tahu, aku pasti akan bertindak rasional jika diberi ruang dan waktu yang tepat. Dan dia berhasil melakukannya. Setelah aku luluh, dia memintaku untuk mengantarkannya pulang. Di sepanjang jalan, dia berceloteh dengan kehidupan, seakan-akan dia tidak ingin mati. Aku masih ingat suaranya yang merdu, menelusuk ruang di telingaku. Aku ingin suara tersebut abadi, selalu mengisi kosongnya diriku. Aku ingin dia selalu berada di sisiku. Tapi, akhirnya akupun menyerah, dan tahu hal tersebut bukanlah keinginku yang sesungguhnya. Aku hanya ingin dia bahagia. Walaupun, dia pikir hal itu hanyalah kebahagiaan semu.[Bersambung]

--

--

M Ali Syaifudin
Majalah Ganesha 2017

Life is just a never ending suffering as long as the flesh is still fresh. Get some water.