Kingdom Animalia

vrotonema
Majalah Ganesha 2017
4 min readSep 18, 2017

Sebagai manusia dengan latar belakang politik dan sosial yang tidak terlalu kuat (ditambah lagi saya berada sangat dekat dengan titik 0,0 di political compass), buku ini cukup entertaining dan membuat saya menerka-nerka: apakah ini yang benar-benar terjadi di suatu negeri di luar sana?

Buku ini berjudul Animal Farm oleh George Orwell.

Alangkah menyenangkannya buku ini bila disantap dengan tanpa frame kalau buku ini adalah sebuah satir atau kritik atau apalah itu namanya. Kasarnya, cobalah baca buku ini dengan kata fabel di kepala selama membacanya, or at least sebelum bab terakhir (karena disana, semuanya sudah sangat absurd (dan creepy) bila tetap bersikeras menganggap ini adalah fabel).

Selama membaca yang pertama kali, seperti biasa, aku merasakan pengalaman emosional yang dirasakan oleh binatang-binatang ternak ini, dan sesekali berlagak selayaknya sebagai orang ketiga yang senantiasa mengambil life lessons yang bisa diambil.

Betapa euforia yang dirasakan oleh mereka ketika rebellion terjadi. Euforia yang fana indeed, yang ku yakin memang hanya akan terasa sangat sebentar sebelum life hits you hard again. Sepanjang cerita, sedikit banyak saya sangat relate dengan Old Benjamin. Baginya, tidak mungkin ada “kondisi yang lebih baik”, karena kehidpan tidak berjalan seperti itu; selalu ada kekurangan dimana-mana selayaknya selalu ada evaluasi di keberjalanan tiap kepanitiaan atau kepengurusan organisasi. Tidak ada sistem yang benar-benar sempurna. And what matters jadinya adalah bagaimana kita bisa sabar dan selalu bersyukur tentang apa yang diberikan pada kita terutama pada batas-batasnya.

Ide tentang pemberontakan sendiri kepada ‘penguasa’ ku tentang secara pribadi. Kurang lebih ya begitu alasannya, tidak ada sistem yang berjalan sempurna dan memang harus melibatkan sedikit kepolosan bahwa penguasa pasti tahu pasti apa yang dia kerjakan dan apa yang terbaik bagi yang ia kuasai, or at least dia masihberusaha seperti itu entah seberapa bapuk jadinya. Namun bukan diam benar-benar diam, tapi kritik yang dilancarkan secara halus, sesuai yang diizinkan oleh penguasa itu sendiri.

Selama boleh dan bisa mengkritik (dan pasti ada saja hal yang bisa dikritik), kritisilah! Sekali lagi, kritisilah! Betapa malangnya rakyat Animal Farm diakhir cerita mereka, hanya karena tidak ada yang mau mengkritik hal-hal yang perlahan berubah menuju kejahatan. Entah karena memang perubahan-perubahan itu yang tidak terasa atau mereka tahu ada yang salah namun tidak tahu apa yang salah.

Sehingga disini, di Animal Farm, sangat ditekankan secara implisit tentang pentingnya budaya literasi. Literasi meningkatkan derajat kita tanpa memberikan kita mahkota. Siapa yang menulis, dia yang menguasai orang lain, bahkan tanpa adanya pangkat atau takhta pada diri kita. Seperti yang dilakukan oleh Napoleon squad di awal Animal Farm, hal yang pertama mereka coba taklukan adalah mengajarkan diri mereka sendiri baca-tulis, yang akibatnya mereka punya akses kepada jendela pengetahuan serta alat untuk menyebarkan gagasan. Betapa akan sangat malangnya diri kita bila membatasi diri dari literasi dan satu-satunya cara untuk menguasainya ya terjun bebas kepadanya; untuk bisa menebar dan mengabadikan gagasan kita harus bisa menulis, untuk bisa menulis kita harus banyak membaca, dan untuk bisa membaca kita hanya perlu kemauan. Sekali lagi, diri kitalah yang membatasi diri kita sendiri dari ilmu.

Omong-omong soal membatasi diri dari ilmu, realitanya banyak orang (termasuk mahasiswa) yang membatasi diri dari politik hanya karena framing bahwa politik ialah kotor nan kejam. Padahal justru makanan empuk bagi para politikus ialah orang-orang yang membatasi diri ini dan kasarnya hanya ikut-ikutan arus sekitar. Malah seharusnya kita semua curiga, kalau yang meneriakkan jargon “politik itu kotor dan jangan pernah bermain dengannya” yaa tidak lain tidak bukan adalah aktor-aktor politik itu sendiri demi melancarkan strategi-strateginya. Jadi, bagi yang masih menutup diri dari politik, coba belajar deh biar seenggaknya kamu tahu apa yang sedang terjadi dan kamu lagi dibawa kemana.

Terlepas dari Napoleon udah merencanakan hal ini dari dulu jauh sebelum rebellion atau baru kepikiran di tengah-tengah, kejadian dan rangkaian prosesnya kurang lebih mirip sama yang terjadi di banyak kepengurusan.Selama jadi kroco di organisasi, yang paling seru dan pasti dilakuin ya apa lagi kalo nggak mengkritik pengurusnya: “kenapa ini gak gini aja” “kenapa itu gak gitu aja” dsb. Terus antara jadi pasrah sama organisasinya atau kalo yang agak ambis dikit, pengen jadi pengurus juga biar bisa membenarkan banyak hal (persis seperti warga animal farm). Jadi yang sering terjadi adalah yang kroco gak paham betul semua yang udah terjadi pada pengurusnya dan yang pengurusnya ‘lupa’ gimana rasanya pas jadi kroco (persis seperti petinggi animal farm). Bedanya, kalo petinggi animal farm sangat enggak manusiawi (atau hewani?), contohnya pas Boxer yang udah melemah pas udah tua, padahal sepanjang hidupnya ialah kader animal farm yang paling loyal, harus mengakhiri hidupnya dengan dijual ke tukang jagal oleh Napoleon squad. Sementara kalo di kepengurusan organisasi atau mungkin bahkan kepemerintahan negara, para petingginya masih selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam melayani rakyatnya dan selalu mencoba mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Iya kan ya?

Cukup banyak life lesson yang bisa ditarik dari dinamika kehidupan warga animal farm selama namanya masih animal farm. Karena seperti yang sudah saya state di awal, saya membaca buku ini tidak sebagai sesuatu satir dan semacamnya, at least sampe bab terakhir — bab yang sungguhlah horror dan creepy kalo tetep bersikeras menganggap ini cuma sebatas fabel. Barulah di kalimat terakhir, aku sadar kalau buku ini ditulis hanya untuk mengatakan “mereka–pemerintah yang menggaungkan kepentingan bersama namun malah memanfaatkan sesama–sangat sulit dibedakan dengan para babi yang tamak” atau singkatnya, “Dasar babi kalian!”. Effort yang luar biasa namun elegan untuk mengumpat (dan membuat orang lain mengumpatkan hal yang sama).

Jadi ini toh yang namanya satir, maklum saya benar-benar baru belajar dan terjun ke dunia ini. Setelah sampai di akhir novel tersebut, barulah saya memahami sepenuhnya kalau setiap karakter yang ada disana benar-benar dimaksudkan untuk menganalogikan orang-orang yang berada dalam sistem kepemerintahan semacam ini beserta nasib-nasib buruk yang menimpa mereka, penderitaan mereka, terutama bila kamu ada di posisi warga animal farm.

Saya pribadi masih belom mau sok tahu buat membedah buku ini dengan kacamata sejarah sosial politik (katanya sih erat kaitannya dengan soviet dan komunisme, entahlah). Mungkin next time? Gak tau juga. Saya tutup dengan salah satu meme favorit saya deh. Kalo kata netizen mah:

Mana saya tahu saya kan tidak tahu

--

--