Krisis Eksistensial

M Ali Syaifudin
Majalah Ganesha 2017
2 min readDec 23, 2017

“Aku sedang mengalami krisis eksistensial” ungkapnya. Aku termenung sesaat. Aliran udara menggesek-gesek kulitku yang terbuka. Senja ini langit hanya sedikit berawan. Mentari terlihat kemerahan mulai turun bersembunyi di bawah sana. Bulan baru dengan sedikit sabitnya sudah terlihat lumayan tinggi di sebelah mentari. Di arah yang berlawanan, gelapnya malam mulai menggerogoti. Sepinya tempat ini membawa jiwa-jiwa semakin menepi.

Senyumnya hilang. Dia memalingkan wajah. Dedaunan kering yang berjatuhan diremasnya kuat-kuat. Dari wajahnya, dia terlihat sedih. Tidak, mungkin marah. Atau itu hanyalah luapan emosi sesaat?

“Kupikir itu adalah hal yang wajar untuk orang sepertimu”

Kini ia menatap langit dalam-dalam. Seakan-akan dia ingin memetik bintang terang di atas sana. Bintang itu begitu terang, dan akhir-akhir ini selalu datang menyapa bersama senja. Menjadikannya sebagai berlian indah takberkelip. Menggantung di atas, tenggelam bersama-sama.

“Mengapa kau pikir seperti itu?”

Nada-nada suaranya berjalan perlahan memanjat ruang diantara kami. Suara tersebut berputar-putar di dalam telingaku, sampai akhirnya bisa kudengar. Suaranya merdu, layaknya kicauan jangkrik di malam hari. Tenang dan membara.

“Aku mengenalmu sudah lama bukan? Aku tahu sifatmu. Keadaanmu sekarang merupakan suatu fase dalam hidupmu”
Aku mengambil daun kering, lalu menjatuhkannya.
“Hidup memang misterius, dan memang bagus kalau kamu mempertanyakannya”
“Lalu, apa yang mesti kulakukan?”
Kuberpikir sejenak lalu menjawab “Tak ada”
“Kau tak membantu”
“Ya, maksudku tak ada hal yang bisa menjadi patokannya. Kau sudah hidup, kini saatnya kau yang mencari tahu”
Dia memainkan dedaunan kering kembali. Termenung meresapi.
“Aku hanya bingung”
“Dan memang seharusnya begitu”
“Aku tambah bingung, tak bisakah kau membantuku?”
“Aku bukanlah dewa, yang bisa kulakukan adalah apa-apa yang bisa kulakukan”
“Jadi, aku percuma dong memintamu ke sini?”
“Bisa jadi, sama seperti percumanya hidupmu”
“Tidakkah kau berpikir hidupmu juga percuma?”
“Lalu?”
“Bukankah itu artinya kau menjadi bingung? Maksudku, kalau kau pikir hidup kita percuma, bukankah hal tersebut menjadi beban pikiran?”
“Iya”
“Dan mengapa kau tak terlihat merasa terbebani?”
“Apakah aku harus terlihat terbebani?”
“Maksudku, apakah kau juga merasakan apa yang kurasakan?”
“Kupikir, ya. Aku juga pernah berada di posisimu. Bahkan, bisa dibilang sampai sekarang begitulah aku”
“oke”
“Tapi, apakah hal tersebut mesti menjadi beban?”
“Iyalah!”
Dia menghentakkan tangannya, menghamburkan dedaunan kering.
“Tidak. Meskipun hidup ini tak berarti, hal tersebut tidak serta merta mengganggu hidupku. Aku hanyalah aku, sebagaimana aku menjalaninya. Tidak peduli apakah aku akan berguna atau tidak, apakah itu berarti padaku? Apakah hal-hal yang berarti padaku mesti membuatku menjadi tidak bingung? Mengapa aku harus bingung?”
Dia terlihat semakin tidak paham.
“Tak mengapa, semua ini mau berarti ataupun tidak, tetaplah apa adanya. Mengapa harus bingung? Jangan terlalu bingung”
Matahari kini benar-benar tenggelam. Langit menjadi kegelapan. Bintang-bintang mulai menampakkan diri. Di sini, kami berdua termenung, dia dalam kebingungan, akupun demikian.

--

--

M Ali Syaifudin
Majalah Ganesha 2017

Life is just a never ending suffering as long as the flesh is still fresh. Get some water.