Nganggur Gara-Gara Teknologi

Senapati Sang Diwangkara
Majalah Ganesha 2017
4 min readOct 20, 2017
http://dilbert.com/strip/2011-12-16

Adalah sebuah klise untuk bilang bahwa teknologi zaman sekarang sedang maju-majunya; aku nggak akan menyebutkan bukti-buktinya karena itu emang begitu obvious. Namun akhir-akhir ini di Indonesia, perihal tentang kemajuan teknologi tersebut lagi berfokus pada sisi buruknya. Tepatnya, dilema kemajuan teknologi sekarang lagi terpusat pada isu-isu tentang transportasi online.

9 Oktober lalu misalnya, digelar sebuah konferensi pers oleh Dishub Jabar dengan WAAT (Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi) Jabar yang intinya menyatakan bahwa Pemda Jabar mendukung aspirasi WAAT Jabar atas tidak beroperasinya transportasi online di daerah Jabar hingga ada peraturan yang mengaturnya, yang oleh sebagian media diartikan sebagai pelarangan. Pernyataan itu adalah update yang paling baru — relatif terhadap waktu saat tulisan ini dibuat — dari rentetan kasus kontroversi transportasi online di Indonesia. Kejadian tersebut relatif lebih tau aturan jika dibandingkan dengan kejadian-kejadian lainnya, di mana bisa ada cek-cok adu fisik layaknya tawuran antar kampung.

Namun di tulisan ini aku nggak akan membahas isu transport online dan konvensional dan segala tetek bengeknya secara langsung. Tapi, aku akan membahas isu yang lebih general lebih dahulu.

Technological Unemployment

Jika dilihat, sebenarnya kasus teknologi-merebut-pekerjaan ini nggak terjadi kali ini saja. Kasus PHK buruh dengan alasan mekanisasi rasanya sudah pernah terjadi dan kita lewati. Dari dulu, sebenarnya umat manusia menyimpan suatu pertanyaan besar yang belum jelas dijawab: atas nama teknologi, apakah moral untuk menghapus pekerjaan seseorang? Atau dikatakan dengan bahasa yang lebih Indonesia: Apakah baik mengambil jatah rezeki orang dengan teknologi yang lebih maju?

Dilihat dari PHK-PHKan, tentu kasihan juga kalau kita membayangkan jadi mereka. Nggak ngapa-ngapain, nggak salah apa-apa, tiba-tiba kena perampingan, tiba-tiba duit setoran nggak kekejar, tiba-tiba bangkrut. Namun dilihat dari sisi ekonomi pasar bebas, hal ini ya biasa-biasa saja, part of the system. Mereka yang berinovasilah yang akan unggul dan mereka yang berdiam akan tertinggal. Dengan begitu, idealnya, dunia akan mempunyai teknologi yang lebih maju, produksi yang lebih efisien, dan standar hidup akan meningkat.

Di dalam kasus transportasi online tersebut, pemerintah Indonesia tampak seperti ingin tetap mencoba mencapai keduanya: untuk membela para tukang angkutan konvensional tapi juga nggak ingin menolak inovasi. Sebagai hasilnya, kebijakan-kebijakan yang dibuat jadi agak lucu. In a nutshell, transportasi-transportasi online yang ada ini ingin disetarakan dengan transportasi konvensional, agar mereka bisa bersaing: sama-sama plat kuning lah, sama-sama bayar pajak lah, tarifnya dinaikkan lah, dan lain sebagainya. Kenapa lucu? Karena inovasi yang ditawarkan model transportasi online ini sebenarnya bukan hanya aplikasinya saja (kalau cuma itu, transportasi konvenisonal juga ada yang punya, seperti My Blue Bird) tetapi juga semua hal yang tadi disetarakan. Ketika online, para supir hanyalah memberikan isyarat bahwa mereka sedang nganggur dan siap dipasangkan dengan dengan seseorang yang sedang membutuhkan tumpangan. Jadi, para supir ini bukan karyawan, tapi semacam kontraktor pribadi. Secara teori, bisa saja sang supir ini sebenarnya seorang dokter, dosen, ibu rumah tangga, barista, investor, tukang jaga toko komik, atau apapun profesi yang dia emban. Asalkan dia nggak lagi sibuk dan bersedia untuk menggunakan alat transportasinya untuk memberi orang tumpangan, maka jadilah. Maka ngapain pakai plat kuning dan bayar pajak transportasi, kalau itu transport pribadi dia? Ngapain tarif tinggi-tinggi, kalau nggak ada birokrasi mahal yang harus dibiayai? Namun, karena di Indonesia orang-orangnya masih banyak yang pengangguran atau kurang puas dengan pekerjaan lamanya, maka menjadi supir transportasi online ini malah jadi identik dengan full-time job dan dikotomi antara transportasi online dan konvensional menjadi semakin buram, seolah-olah hanya dibedakan oleh aplikasi di smartphone dan kode promo. Aturan-aturan tadi menjadi semakin terdengar seperti eufemisme untuk menekan inovasi in favor of the Luddite.

Self-Driving Car

Saat sedang berpikir tentang pertanyaan moral di atas, aku terpikir suatu distopia yang menarik:

Apa yang akan terjadi bila nantinya teknologi self-driving car cukup matang untuk diadopsi di Indonesia?

Kalau kasus sekarang, ketika ada teknologi baru, ada pula lapangan pekerjaan baru yang diciptakannya. Nah, kalau ini? Sama-sama mampus dong mereka berdua? Untuk analisis implikasi dari teknologi-teknologi baru yang diturunkan dari artificial intelligence tersebut (bukan hanya self-driving car), aku menyarankan untuk membaca essay dari YouTuber C. G. P. Grey yang berjudul “Humans Need Not Apply”.

Menyadur dari essay tersebut, revolusi AI yang terjadi kali ini berbeda dari revolusi teknologi yang pernah terjadi sebelumnya. Sebelumnya, ketika ada teknologi baru, tercipta juga lapangan pekerjaan yang baru: ketika industri mobil bermunculan, walau pekerjaan pengurus kuda terancam, tetapi banyak lapangan pekerjaan yang ditimbulkannya, mekanik, perminyakan, dll. Ketika transportasi online muncul, walau supir konvensional terancam, tapi timbul lapangan pekerjaan supir online. Namun dengan AI, pekerjaan yang muncul hanyalah AI engineer.

“Technology gets better, cheaper, and faster at a rate that biology can’t match” — C. G. P. Grey

Sayangnya essay tersebut ditutup tanpa menyampaikan kemungkinan solusi 😕. Intinya, semakin ke depan, sepertinya technological unemployment ini akan semakin parah. Sistem ekonomi kita saat ini mempunyai premis bahwa people consume stuff. Dari tindakan konsumtif tersebut roda perekonomian bisa terus berjalan. Tapi, gimana nantinya kalau nggak ada orang yang membeli barang hasil produksi karena semua pekerjaan mereka direbut oleh seonggok silikon?

Penutup

Oke, aku semakin pusing menjawab pertanyaanku sendiri wkwkwk.

Mungkin menggantikan pekerjaan dengan teknologi itu moral, karena hal tersebut membebaskan manusia dari pekerjaan-pekerjaan yang repetitif dan melelahkan. Mungkin itu tidak, karena hal tersebut memperlebar ketidaksetaraan ekonomi dan akan berdampak buruk dalam jangka panjang. Atau mungkin pertanyaan itu nggak masuk akal, karena pekerjaan itu tingkat enjoyment-nya relatif dan bukan semata-mata karena pendapatan. Atau mungkin seluruh sistem ekonominya yang harus diganti sedemikian rupa sehingga semua pihak diuntungkan dan aku nggak perlu menanyakan pertanyaan tersebut.

Tapi yang pasti, berkutat dengan pertanyaan ini sepertinya penting, supaya distopia di essay Om Grey tadi bisa segera dicari solusinya, seumpama terjadi beneran. Semoga dengan tulisan ini kita bisa berpikir semakin luas tentang masalah beginian, nggak melulu tentang konsumen yang dirugikan atau mas-mas angkot yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga tentang hal pekerjaan manusia dan sikap yang akan kita lakukan.

--

--