Di Lantai Dua dan Tiga, Bisa Kita Tinggal di Sana

Cahaya Gusuran
Cahaya Tanah Gusuran
5 min readOct 13, 2016

Benarkah tak tersisa lagi tempat di tengah kota bagi hunian warga yang layak dan terjangkau?

Barangkali, memang tak ada keinginan pemerintah kota untuk mengusahakan hunian yang layak dan terjangkau bagi warganya. Padahal, jika kebutuhan paling mendasar warga itu terpenuhi, kualitas hidup warga akan menjadi lebih baik dan pertumbuhan ekonomi kota — yang tentu masih bisa dikorupsi pemerintah — juga semakin pesat.

Seorang kawan, dengan kesal pernah mengomentari proyek Rusunami dan Rusunawa. Dia sudah tidak peduli seberapa banyak yang mau dikorupsi pemerintah, asal proyek itu bisa berjalan dengan baik. Namun, seperti yang kita tahu, proyek 1.000 menara itu justru terkatung-katung. Minimnya perencanaan, koordinasi, dan yang paling utama, kemauan pemerintah, menyebabkan menara yang baru terbangun 180 unit se-Jabodetabek dan Surabaya itu terisi 63 unit. Itu belum membicarakan kualitas bangunan. Harga jual pun naik dari Rp114 juta menjadi Rp180 juta. Sebagian justru dibeli oleh kelas menengah atas — untuk investasi — yang bukan sasaran penghuninya. Masih ada pula rumah susun yang belum memiliki listrik dan rumah susun yang terbengkalai mulai dihuni ular-ular sawah.

Sementara masalah proyek mangkrak itu belum kelar, baru-baru ini pemerintah malah berencana membuat 100.000 unit Rumah Super Murah, yang akan menjumpai masalah yang sama: sulitnya pembebasan lahan di tengah kota. Hal yang tidak mampu — atau tidak mau — dilakukan pemerintah sejak dulu. Sehingga pengembang, yang pasti tak mau rugi, membeli tanah di pinggiran kota yang lebih murah untuk pembangunan rumah susun bersubsidi, dan tak mau menanggung ketiadaan infrastruktur memadai yang akhirnya tak juga ditanggung pemerintah. Maka tak heran kalau ada orang yang tak mau tinggal di rumah susun semacam itu. Lokasi rencana Rumah Super Murah, yang membutuhkan lahan yang lebih luas daripada hunian vertikal, jadi terancam berada di pinggiran kota juga. Sehingga sama sekali tak menyelesaikan masalah banyaknya pelaju, terutama di kota besar seperti Jakarta, apalagi memenuhi logika standar akan pentingnya kelas bawah dan menengah bisa tinggal di tengah kota, agar kehidupan kota bisa lebih produktif, efisien, murah, dan tentu memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

Saat ini, banyak warga di usia produktif yang masih tinggal di rumah orangtua atau mertua, di kos murah yang kumal atau mewah berlebihan, di rumah kontrakan bobrok, atau rumah susun kumuh. Sementara, apartemen telanjur jadi mainan liar kelas atas untuk investasi yang merampas hak sebagian besar warga kota. Salah satu alasan pemerintah terkait kendala pengadaan hunian berkisar pada sulitnya pembebasan lahan di tengah kota. Bagaimanapun, untuk membangun rumah susun tetap dibutuhkan lahan yang cukup luas. Namun, apakah benar ruang kota sudah terisi penuh?

Banyak cara bisa dilakukan sebenarnya, dari “merebut” apartemen-apartemen mahal yang kosong, sampai “merampas” rumah-rumah orang kaya yang terlalu besar seperti yang kabarnya sedang diteliti oleh pemerintah Belgia. Yang terakhir ini sepertinya memang mustahil untuk bisa dilakukan di negara ini, apalagi oleh kita yang kian hari kian sulit berimajinasi karena harapan telanjur menyelinap pergi.

Ruko-ruko di Jakarta Barat, 2011. Foto oleh Ardi Yunanto.

Tetapi, sebenarnya masih ada ruang yang selama ini terlupakan. Ruang terbengkalai yang bisa menjadi alternatif bagi pengadaan hunian kelas menengah, setidaknya, atau bahkan kelas bawah sekalian. Ruang itu adalah lantai atas dari setiap ruko (rumah toko) dan rukan (rumah kantor) yang tersebar tak hanya di tengah, tetapi juga di seantero kota.

Ruko-ruko yang banyak terdapat di kota-kota Asia Tenggara itu, dalam perjalanannya toh sudah bergeser dari fungsi awalnya yang merupakan rumah sekaligus toko bagi perantauan Cina. Setelah politik permukiman rasial kolonial (1835–1915) dihentikan, masyarakat Cina bebas bermukim di luar Pecinan sehingga wilayah pembangunan ruko semakin meluas. Perubahan gaya hidup pada akhirnya membuat ruko tidak lagi dihuni pemiliknya. Setelah itu banyak ruko baru dibangun sebagai alat spekulasi bisnis properti. Lantai atas ruko lama maupun baru banyak terbengkalai, berakhir sebagai gudang atau barak para pegawai.

Ada satu faktor penting pada ruko, yaitu tangga samping terpisah. Kebanyakan ruko di Indonesia, atau setidaknya di Jakarta, tak memilikinya sehingga siapapun yang hendak masuk atau berkunjung ke lantai atas harus terlebih dahulu melalui toko atau restoran di bawahnya. Ruang hunian dipisahkan dari jalan oleh ruang usaha. Maka ketika pemilik ruko akhirnya mampu membeli rumah baru, yang lebih nyaman dan tak menyatu dengan tempat usaha, praktis ruko itu tak lagi dihuni sebagai tempat tinggal. Anehnya, konsep kepemilikan satu unit ruko berikut lantai atasnya diteruskan pengembang pada ruko-ruko baru sehingga tangga samping terpisah yang bisa menjadi akses bagi penyewa lain tak dibangun. Padahal dengan lebar 5 sampai 6 meter dan panjang belasan meter, ruko cukup luas untuk disewa keluarga kecil. Lantai atas ruko yang kebanyakan mubazir itu bisa digunakan oleh penyewa lain dengan membangun tangga samping di luar ruangan sebagai akses tersendiri. Di Kuala Lumpur, Malaysia, apartemen sederhana di atas toko-toko semacam itu banyak ditemukan, dan mungkin juga di kota-kota Asia Tenggara lainnya.

Mungkinkah ide ini diwujudkan? Mungkin, sebagaimana program Rusunami dan Rusunawa seharusnya bisa berhasil. Dengan ruko yang bertebaran di tengah kota, tak diperlukan pembebasan lahan. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah mendata lantai atas ruko yang terlantar, membeli unit atau kompleks ruko tersebut sehingga pemilik semula hanya memiliki hak guna, atau meminta pemilik ruko menyewakan lantai atasnya kepada orang lain dengan sistem bagi hasil atau imbalan berupa potongan pajak. Semua itu bisa dikelola oleh manajemen terpisah di bawah pengawasan pemerintah, yang memastikan harga sewa cukup terjangkau bagi kelas menengah atau kelas menengah bawah — sekalipun lokasinya di tengah kota. Lokasi ruko tersebut bisa disesuaikan dengan tempat kerja calon penghuni. Intinya, tak boleh ada ruang mubazir di lantai atas setiap ruko.

Selain itu, pengadaan tangga samping terpisah juga diperlukan, sekalipun itu berarti mengurangi luas semula dari ruko yang belum memiliki tangga samping dan menimbulkan masalah teknis yang lain lagi. Selanjutnya, adalah faktor keamanan dan kenyamanan di sekitar ruko-ruko itu, yang perlu ditingkatkan kualitasnya demi mendukung “budaya hunian baru” tersebut. Tak semua orang akan merasa aman tinggal di atas ruko dengan tangga-berpintu mereka berhadapan langsung dengan trotoar. Jika lingkungan setempat terlebih dulu dibuat nyaman, aman, dan akrab, keberadaan ruang tinggal baru ini bisa sekaligus diselaraskan dengan pembangunan taman-taman bermain pada radius tertentu, agar “anak-anak baru” lantai ata ruko bisa bermain bersama anak-anak setempat. Kepada para penghuni kloter awal, bisa diberikan potongan sewa yang menggoda karena sebagai contoh pertama, merekalah yang akan memancing minat banyak orang untuk menghuni “apartemen” baru itu.

Pemanfaatan lantai atas ruko yang kosong sebagai apartemen bagi kelas menengah dan kelas menengah-bawah ini bisa mendukung solusi yang sudah ada seperti rumah murah, rumah susun, dan apartemen. Jika Anda masih mengira kalau ide ini mustahil diwujudkan, mengingat betapa payahnya kerja pemerintah dalam menyediakan hunian murah bagi warganya, setidaknya ide ini bisa menambah bahan protes, yang semula cuma dialamatkan pada persoalan apartemen mewah berlebihan, rusun kumuh, atau program rusun pemerintah dan calon Rumah Super Murah yang sangat meragukan itu. Selain itu, ide ini dapat menjadi kritik atas pemubaziran lantai atas segenap ruko maupun rukan. ***

Ditulis oleh Ardi Yunanto. Terbit perdana di Karbonjournal.org pada 22 Juni 2011. Dimuat kembali atas izin penulis dan dengan sejumlah penyuntingan untuk tujuan pendidikan dan solidaritas.

Penulis pernah menjadi editor Karbonjournal.org terbitan ruangrupa pada 2007–2013. Saat ini, ia bekerja sebagai editor, desainer grafis, pengajar, dan produser acara budaya.

--

--

Cahaya Gusuran
Cahaya Tanah Gusuran

Administrator @CahayaTanahGusuran. Ikuti http://medium.com/cahaya-tanah-gusuran untuk bersama memindarkan harapan dan solidaritas untuk tata kota tanpa duka.