Gusur, rusunawa, dan ketidakadilan ruang

Evi Mariani
Cahaya Tanah Gusuran
7 min readSep 5, 2016
Penggusuran Kampung Pulo, Jakarta Timur, Agustus 2015. The Jakarta Post/P. J. Leo

Penggusuran paksa adalah suatu metode lama yang telah digunakan sejak zaman dulu. Ciri-cirinya adalah, tidak ada dialog (sosialisasi satu arah, monolog), tidak ada diskusi dan partisipasi warga yang bakal dipindah, dan kerap menggunakan kekerasan (TNI, Satpol PP, buldoser).

Akhir-akhir ini ada banyak upaya menggiring opini publik bahwa penggusuran adalah relokasi, dan karena ada rusunawa maka penggusuran adalah manusiawi.

Orang-orang, dengan penghakimannya, telah menolak memikirkan bersama cara mencapai kota tanpa kumuh yang tidak melanggar undang-undang, tidak melanggar prinsip-prinsip PBB, bahkan yang tidak melanggar kerangka kerja Bank Dunia, yang standarnya sebenarnya cukup rendah. Mereka telah menutup pintu terhadap prinsip demokrasi dalam penataan kota, bahkan lebih jauh telah mengajak banyak orang lain untuk juga menutup pintu pada proses partisipatif. At the expense of the city’s most vulnerable communities.

Sebelum menghakimi, mari kita selami dulu duduk perkaranya.

Tulisan ini dilengkapi dengan tautan ke artikel-artikel The Jakarta Post berdasarkan liputan yang mengikuti kaidah jurnalistik.

Sepanjang sejarah Jakarta, yang terjadi adalah penggusuran, dalam bahasa Inggris “forced eviction”. Hanya ada sedikit yang mungkin bisa dibilang relokasi, contohnya relokasi Waduk Pluit di zaman Presiden Jokowi masih gubernur DKI di tahun 2013.

Sedikit sekali (Kampung Improvement Project dan hingga tahap tertentu Kampung Deret) yang bisa dikategorikan sebagai kisah sukses peremajaan kampung kumuh meski contoh dan gagasan “on-site slum upgrading” baik dari dalam dan luar negeri melimpah. Sayangnya gagasan yang melibatkan warga tidak populer di kalangan birokrasi yang belum beranjak jauh dari mental patron-client Orde Baru.

Penggusuran Pasar Ikan, Jakarta Utara, April 2016. The Jakarta Post/Seto Wardhana

Bukan berarti di zaman Jokowi tidak ada penggusuran. Ada. Contohnya warga yang dibuldoser di Rawa Buaya, pinggir kali Mookervart. Mereka terlunta-lunta sekitar hampir setahun sampai akhirnya dapat rusunawa di Pesakih, Daan Mogot, Jakarta Barat.

Dan juga belakangan, ternyata hidup di rusunawa, yang digadang-gadang sebagai solusi manusiawi, tidak menyejahterakan warga, malah memiskinkan. Alih-alih memanusiakan, mengangkat derajat dari kemiskinan, yang terjadi banyak dari antara mereka yang hidup makin susah.

Dari pantauan The Jakarta Post di rusunawa Jatinegara Barat (untuk korban gusuran Kampung Pulo), Rawa Bebek (untuk korban gusuran Pasar Ikan dan Kalijodo), Muara Baru (untuk Waduk Pluit), dan Marunda (untuk semua gusuran di Jakarta tak peduli Jakarta Selatan sekalipun yang jaraknya 30 kilometer), bisa dilihat pola yang sama.

Warga masuk dalam keadaan habis-habisan, mengandalkan tabungan, aset usaha hancur, ikatan sosial hilang, jaringan sosial dan ekonomi hilang. Simak kisah ibu Saliyem dari Rawa Buaya yang rumahnya dibuldoser sampai sampai bengkel reparasi barang elektronik dia hancur habis, lima TV milik pelanggan hancur dilindas.

Padahal dengan uang yang dikumpulkan ibu Saliyem dan suami, mereka bisa menyekolahkan anak mereka sampai lulus di Universitas Gunadarma. Ada kisah ayah si anak mengais puing puing rumahnya untuk menyelamatkan ijazah S1 sang anak. Ibu Saliyem bilang, dia pikir tak adil bahwa anaknya yang paling kecil tidak bisa menikmati universitas.

Jelas-jelas penggusuran memiskinkan.

Bukit Duri, Januari 2016. The Jakarta Post/Seto Wardhana

Apakah rusunawa solusi?

Jika ia tersedia mungkin lebih baik tinimbang tidak ada sama sekali, meski banyak juga yang menolak karena jarak terlalu jauh. Di Kalijodo, dari sekitar 1.300 keluarga yang digusur, yang ber-KTP DKI hanya sekitar 300 keluarga, sisanya cari jalan sendiri-sendiri. Yang digusur dari kolong tol seberang Kalijodo ya sama sekali tak dapat apa-apa, meski ada juga yang sudah dapat, tapi karena biaya transportasi membengkak akhirnya bikin gubug di kolong tol.

Ratnaningsih, 35, tinggal di gubug di bawah kolong tol seberang Kalijodo. The Jakarta Post/Seto Wardhana

Ada juga yang disuruh ke Marunda, tapi sesampainya di sana ditolak, karena prioritas warga gusuran Jakarta Utara. Simak kisah Pak Gimin dengan 10 anggota keluarganya yang digusur dari Pinangsia Jakarta Barat, dan datang sendiri ke Marunda, tapi sampai di sana tak dapat unit: Pinangsia residents face bleak future after eviction. Akhirnya mereka bertahan dan digusur lagi kedua kalinya: Residents left homeless after eviction.

Rakyat miskin kota sekarang ketika mau digusur, hanya bisa negosiasi minta rusunawa. Jangan lupa ya, “wa”-nya itu sewa. Bayar. Dua tahun sekali mohon perpanjangan, jadi warga ga berani macam macam sama pengelola, mereka takut permohonan perpanjangan ditolak lalu setelah dua tahun diusir. Yang klaim bisa tujuh turunan, harap baca link ini: Evictees unprepared for ‘second eviction’.

Memang pada prinsipnya, Pemda DKI tidak peduli jika tidak semua dapat rusunawa. Ketika menggusur tidak ada pertimbangan apakah jumlah rusunawa sudah cukup atau belum. Baca: City forces eviction despite housing backlog

Karena jumlah tidak memadai, maka ada yang dipaksakan masuk unit yang harusnya jadi unit usaha di lantai dasar Muara Baru. Di bulan Oktober 2015, Pak Hartono, korban gusuran Kali Gendong, menganggap keberhasilan dia memasang gembok di “rumah baru”-nya di Muara Baru sebagai kabar baik di tengah serentetan kesusahan. Pak Hartono sekeluarga tinggal di bilik 2.5 meter kali 6 meter, atau 15 meter persegi bersama istri dan tiga anaknya. Tak ada dapur dan kamar mandi berbagi dengan puluhan orang lain.

Keluarga yang digusur dari Kali Gendong tinggal di penampungan yang berupa unit usaha dibelah dua di rusun Muara Baru. The Jakarta Post/Seto Wardhana

Jika dapat unit, apakah mereka terangkat dari kemiskinan? Belum tentu, pada akhirnya mereka harus berjuang sendiri untuk itu, dan mulai dari nol.

Mereka masuk ke rusunawa yang kadang jaraknya sangat jauh (yang lumayan dekat dari tempat gusuran adalah Jatinegara Barat dan Muara Baru) dan harus mulai dari nol. Kadang sekolah anak harus dipindah karena gusuran tak kenal tahun akademis, atau untuk sementara anak dititip dulu di saudara.

Rusunawa jauh atau dekat, saya menemukan pola yang sama di semua rusunawa.

Ketika penggusuran paksa terjadi, yang diambil bukan hanya rumah, tapi juga nafkah dan ikatan sosial. Ketika rusunawa tersedia untuk disewa, kerap kali yang disediakan hanya rumah. Nafkah dan ikatan sosial silakan cari sendiri-sendiri.

Ada sedikit bantuan tentunya, pelatihan ini itu, tapi pada akhirnya, mereka kesulitan cari pembeli. Misalnya grup urban farming di Marunda ini, panen bagus, tapi untuk cari pembeli harus ketuk pintu satu satu. Dilatih bikin batik, tapi yang beli tidak banyak juga. Ga cucuk kalau orang Jawa bilang.

Lalu dalam keadaan habis-habisan, masa sewa gratis habis. Dalam waktu tiga sampai enam bulan biasanya mereka belum lancar usahanya, tapi sudah mesti bayar sewa Rp 300 ribu. Baca kisah ibu Mutia yang penghasilan kotornya turun dari Rp 700 ribu sehari ke Rp Rp 200 ribu sehari karena dia tidak boleh buka usaha (halal) di unit rusunawa: Problems with Jakarta social housing. Akibatnya banyak yang menunggak dan terancam diusir, contohnya di rusunawa Jatinegara Barat: Relocated families face another eviction.

Belum lagi air, yang ternyata kualitasnya buruk karena mereka tidak mendapatkan PAM. Tarifnya juga mahal, di Jatinegara Barat sampai Rp 5.500 per meter kubik. Harusnya standar rumah sederhana Rp 3.550. Air di rusun licin, tak bisa buat masak, bikin gatal. Akhirnya beli air juga dari tangki, dan bisa habis Rp 600 ribu sebulan. Mahal sekali.

Baca: Rusunawa tenants right to water denied dan Clean water a luxury at Pluit low-cost apartments

Hak anak juga dilanggar dalam setiap penggusuran. Pemda DKI tidak menimbang tahun akademis ketika menggusur. Baca kisah Maharani yang digusur sehari sebelum ujian nasional: City’s homeless children pay hefty price in eviction.

Desain rusunawa juga tidak aman untuk anak balita, dan ruang bermain tidak sungguh dipikirkan dengan baik. Tahun lalu ada balita jatuh di rusunawa Marunda dan baru-baru ini balita juga meninggal jatuh di rusunawa Rawa Bebek: Rusunawa lacks safety features, playgrounds for children. Rusunawa Jatinegara Barat baru dipasangi teralis setelah ditegur KPAI.

Memang ada bantuan transportasi gratis. Tapi di rusun Marunda, bis bis kosong, tidak populer, karena perjalanan memakan waktu tiga jam. sementara dengan motor bisa satu jam saja. Fakta ini ada di bagian bawah artikel ini.

Apa iya kisahnya sedih semua di rusunawa? Ya pasti ada yang senang dan pasti ada yang akhirnya betah dan sukses. Tapi apa sebanding dengan kesusahannya? Destruksinya?

Setelah beberapa tahun, jika salah urus, rusunawa yang dianggap solusi sebenarnya bisa menciptakan kekumuhan baru. Seperti kegagalan proyek Pruitt-Igoe di St. Louis Missouri di tahun 1950an, yang menjadi sarang kejahatan, maka rusunawa pun bisa menjadi tempat di mana kualitas hidup dinomorduakan. Rusunawa Komaruddin misalnya, reyot dan berbahaya, sehingga banyak yang akhirnya pergi dari sana: Rickety Komaruddin Rusunawa begs for facelift

Tulisan ini memuat sekitar 20 artikel hasil kerja keras wartawan-wartawan yang meliput dari 2015–2016 di Rusunawa Muara Baru, Pesakih, Komaruddin, Rawa Bebek, Jatinegara Barat, Marunda, dan penggusuran di Kampung Pulo, Kalijodo, Pinangsia, Pasar Ikan.

Ini adalah upaya dokumentasi ketidakadilan ruang yang terjadi di Jakarta yang dalam kasus ini menimpa masyarakat paling lemah. Ia melampaui politik elektoral yang hanya riuh lima tahun sekali. Ketidakadilan ruang adalah topik yang akan terus berulang sampai beberapa dekade ke depan.

Ini adalah tentang mereka yang dipinggirkan. Ini salah satu karya esai foto yang menggugah dari fotografer The Jakarta Post: Living on the edge.

--

--

Evi Mariani
Cahaya Tanah Gusuran

Journalist and founder of public service journalism initiative, Project Multatuli, at projectmultatuli.org.