Gusuran Bukit Duri dan Jakarta yang Kehilangan Kesempatan Menemukan/Menteorisasikan Penanganan Banjir di Kawasan Padat

Cahaya Gusuran
Cahaya Tanah Gusuran
7 min readOct 13, 2016
Kampung Susun Manusiawi (Sumber:- Ciliwung Merdeka)

Pada 30 Agustus 2016 yang lalu, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Administratif Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Peringatan I (SP I) kepada pada pemilik/penghuni bangunan yang terletak di Bantaran Kali Ciliwung RW 9, 10, 11, dan 12 Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet. SP I itu mengutip berbagai aturan yang pada intinya menyatakan agar warga di keempat RW tersebut segera membongkar bangunan mereka yang terletak di Bantaran Kali Ciliwung. Surat itu juga menyebutkan bahwa apabila dalam 7×24 jam sejak SP I itu dikeluarkan dan orang-orang yang tinggal di sana tidak membongkar bangunan mereka, maka bangunan-bangunan itu akan ditertibkan. Ditertibkan dalam pergaulan sehari-hari sering pula kita kenal dengan digusur.

Rasionalisasi di balik penggusuran itu adalah perlunya melakukan upaya normalisasi terhadap Kali Ciliwung dalam rangka pencegahan banjir. Normalisasi ini, menurut para pejabat terkait, perlu dilakukan karena Kali Ciliwung telah berkurang debitnya. Seharusnya debit Ciliwung ada pada angka sekitar 570 m kubik per detik. Sementara sekarang hanya berkisar 200 m kubik per detik. Jari telunjuk pun diarahkan kepada pemukiman-pemukiman di Bantaran Kali Ciliwung sebagai sebab dari berkurangnya debit ini.

Normalisasi itu sendiri terdiri dari pengerukan, pembangunan tanggul, dan pembangunan jalan inspeksi di sisi tanggul yang jauh dari sungai. Inilah cara yang dikembangkan oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai bagian dari usaha menanggulangi banjir Kali Ciliwung.

Dalam status ini saya tidak akan masuk ke tema land tenurial di bantaran Kali Ciliwung. Itu tema yang sangat panjang. Meski tentu saja selalu menarik. Status ini akan melihat upaya penanggulan yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dalam kerangka perkembangan pengetahuan dalam manajemen bencana banjir.

Pendekatan menanggulangi banjir dengan cara seperti yang dilakukan oleh Pemprov DKI di Kali Ciliwung adalah sebuah cara yang sudah semakin ditinggalkan orang. Hal ini disebabkan karena dalam sebuah tanggul penahan banjir terkandung analisis statistik/stokastik yang secara jelas memperlihatkan bahwa tanggul sebagai penahan banjir adalah langkah yang keliru.

Untuk memahaminya, pertama perlu menjelaskan hakikat ekologis bantaran kali, sistem tumbuh bersama (ko-evolusi) antara manusia dengan air dalam sebuah sistem hydro-social, dan teknik perhitungan yang biasanya dipakai dalam mendesain sebuah tanggul penahan banjir. Berdasarkan penjelasan-penjelasan itu, saya akan memperlihatkan model-model penganangan banjir terkini yang justru banyak diadopsi orang seperti room for the river dan re-connecting floodplain.

Rumah di atas irdi Delft, Belanda. Foto: Bosman, 2016.

Floodplain, dataran banjir, atau bantaran kali, adalah kawasan yang sejak dulu banyak menyedot orang. Kalau Anda masuk ke pedalaman Sumatra, maka akan dengan mudah menemukan desa-desa pada sepanjang bantaran kali/sungai. Sungai berfungsi, di satu sisi, sebagai alat penghubung/transportasi, dan sebagai penyedia kehidupan (air, material soil yang subur, dan bahan makanan seperti ikan) di sisi yang lain. Flood Pulse Concept dalam ekologi akuatik, misalnya, menjelaskan bahwa banjir tahunan yang terjadi dalam sebuah ekosistem sungai adalah momen ekstrim hidrologi yang paling bagus untuk produktivitas ekosistem sungai. Jadi banjir bukanlah sebuah katastrofi. Secara ekologis, morfologi bantaran kali memang dibentuk–dan membentuk–sungai. Dia dibentuk sungai manakala debit air sedang tinggi, air yang melimpah ditampung di dataran-dataran banjir yang ada. Dia membentuk sungai karena seberapa banyak air yang mampu dia tampung akan menentukan debit sungai terkait dalam waktu tertentu.

Namun, justru karena berbagai daya tariknya untuk transportasi dan sumbangannya bagi kehidupan itu, dengan segera bantaran kali berubah menjadi hunian yang padat, berkembang menjadi kota, ia kehilangan fungsinya sebagai bagian dari sungai, dan bersamaan dengan itu muncul permasalahan bagi manusia karena pada akhirnya menimbulkan banjir.

Dalam rangka menghadapi banjir inilah muncul ide teknikal berupa penanggulan. Yang saya lihat dalam praktik di Bukit Duri dan Kampung Pulo, sungai ditebing sangat tinggi. Kali Ciliwung dipisahkan dari bantaran kalinya oleh turap beton (sheet pile) serta tanggul di atasnya.

Ada beberapa kritik terhadap model penanggulan seperti ini. Pertama, dia akan memotong siklus pertukaran (keluar dan masuk) dengan akuifer dangkal di sekitar tubuh sungai.Kedua, daerah yang diturap di sekitar Kampung Pulo dan Bukit Duri memiliki kontur yang lebih curam apabila dibandingkan dengan Jakarta di sekitar daerah Kota Tua. Ini artinya air akan semakin cepat bergerak ke arah Jakarta Utara. Poin terakhir ini adalah peringatan banjir untuk Jakarta bagian utara yang posisi ketinggiannya sudah berada di bawah ketinggian muka air laut di Teluk Jakarta. Dan beberapa poin kritik lagi. Petisi dari Ciliwung Institute ini merangkum kritik-kritik itu (https://www.change.org/p/kemenpu-tolak-rencana-turap-betoni…).

Rumah di atas air di Delf, Belanda. Foto: Bosman, 2016.

Dari sudut pandang teknik hidrologi, konsep tanggul itu sendiri mengandung masalah. Ada sikap baru dari manusia yang muncul beriringan dengan dibangunnya sebuah tanggul penahan banjir. Ketika tanggul sudah dibangun, maka orang akan merasa aman, dan secara otomatis semua bentuk kewaspadaannya terhadap banjir–yang dalam beberapa hal detil saya lihat banyak di Bukit Duri sudah tersemen ke dalam arsitektur rumah-rumah warga–semakin menurun. Intinya, tanggul membuat orang merasa bahwa sungai, dan juga banjir, bukan lagi bagian dari siklus hidupnya. Inilah yang saya sebut sebagai satu sistem hydro-social. Ada ko-evolusi antara tubuh sungai, infrastruktur penanganan banjir, dan manusia. Di satu sisi, seolah-olah manusialah yang mengatur sungai dengan membangun tanggul. Namun, sebenarnya juga berlangsung proses sebaliknya, sungai dan tanggulnya juga membentuk manusia. Di sini letak masalahnya.

Sebuah tanggul penahan banjir didisain dengan perhitungan berdasarkan konsep yang disebut dengan return period atau “waktu kembali” atau perhitungan kemungkinan terjadinya sebuah kejadian. Dalam kajian banjir, maka return period adalah perhitungan kemungkinan terjadinya sebuah banjir sebagai sebuah momen ekstrim hidrologi. Misalnya, dalam penulisannya, sebuah banjir disebut memiliki return period sekali dalam 100 tahun. Artinya, momen ekstrim hidrologi dengan spesifikasi termaksud terjadi setiap 100 tahun. Sebuah tanggul penahan banjir didisain dengan perhitungan kemampuan untuk menghadapi momen ekstrim hidrologi tertentu, misalnya banjir yang terjadi sekali dalam 500 tahun.

Pertanyaan kemudian muncul, kalau sebuah tanggul penahan banjir didisain dengan kemampuan untuk menghadapi banjir yang terjadi sekali dalam 500 tahun, apa yang akan terjadi kalau sebuah momen hidrologi dengan return period yang lebih panjang (misalnya sekali dalam 550 atau 600 tahun) datang? Jawaban tekniknya adalah: tanggul akan jebol. Artinya, kita berhadapan dengan kemungkinan terjadinya banjir yang lebih kecil, namun memiliki dampak yang lebih katastrofik. Dampak yang lebih katastrofik ini bisa terjadi karena kewaspadaan orang terhadap banjir sudah menurun sebagai bentuk sikap baru yang tumbuh bersamaan dengan dibangunnya sebuah tanggul penahan banjir.

Sebagai terobosan baru dalam dunia penganangan banjir, telah muncul konsep baru yang disebut room for the river, alias memberi ruang untuk sungai. Dengan kesadaran bahwa bantaran kali adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah sungai, maka ia sekarang tidak lagi dipisahkan dengan sungai dengan cara menanggul, namun justru air diberikan ruang untuk masuk ke dataran banjir. Sungai Waal di Kota Nijmegen, Belanda adalah salah satu contoh implementasi konsep room for the river yang sedang berjalan. Website ini menyajikan informasi banyak soal proyek ini (http://www.ruimtevoordewaal.nl/en/room-for-the-river-waal). Saya memiliki kesempatan ngobrol dengan banyak pakar banjir di Belanda, umumnya muka mereka langsung berseri-seri ketika ditanyakan tentang proyekroom for the river. Proyek ini menjadi salah satu kebanggaan para ahli banjir Belanda masa kini. Dengan logika yang kurang lebih sama, di California ada proyek Yolo Bypass yang pada intinya adalah mengkoneksikan kembali dataran banjir dengan tubuh sungai untuk keperluan menampung air ketika terjadi banjir.

Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, lantas apakah mungkin proyek dengan cara berfikir seperti room for the river atau rekoneksi dataran banjir dengan sungai bisa, atau masuk akal, dilakukan di Jakarta, lebih khusus, di bantaran Kali Ciliwung dengan penduduk yang sudah sangat padat?

Jawaban terhadap pertanyaan ini muncul dari inisiatif disain yang sudah disediakan oleh masyarakat itu sendiri. Disain-disain yang tertuang dalam konsep “Kampung Susun Manusiawi” seperti yang diajukan oleh Ciliwung Merdeka, pada dasarnya dengan sangat cerdik mengadopsi logika berfikir room for the river (Foto 1). Air Kali Ciliwung diberikan ruang, bukan hanya di bantaran kali, namun sampai di kolong bangunan Kampung Susun. Sebagai seorang pembelajar banjir dapat saya katakan bahwa konsep “Kampung Susun Manusiawi” yang diajukan Ciliwung Merdeka lebih canggih dari room for the river di Nijmegen karena konsep “Kampung Susun Manusiawi” berhadapan dengan satu variabel yang tidak dimiliki oleh room for the river Nijmegen: penduduk yang sangat padat. Jadi, masalah yang ia hadapi lebih kompleks.

Di beberapa tempat di Belanda, konsep air di kolong rumah/bangunan ini juga sudah dijalankan. Meski tampaknya belum secara resmi dijadikan sebagai satu bentuk penanganan banjir dengan kampanye besar seperti halnya room for the river–dengan kata lain belum dijadikan proyek “jualan”. Foto 2 dan 3 terlampir yang memperlihatkan bangunan di atas air dengan tiang pancang saya ambil di Kota Delft. Memang air di bawah bukanlah air yang mengalir, tapi air yang cenderung diam. Namun itu tidaklah masalah dalam konteks Bukit Duri dan Kampung Pulo, karena air hanya akan ada/datang ke kolong Kampung Susun Manusiawi kalau banjir terjadi, selebihnya kolong Kampung Susun Manusiawi menjadi ruang biasa yang bisa dipakai untuk banyak kegunaan.

Namun, seperti yang dapat kita simak, Provinsi DKI Jakarta tidak mengambil pendekatan Kampung Susun Manusiawi, tapi justru ngotot menggusur untuk pembangunan tanggul penahan banjir. Dengan demikian, sebagai seorang pembelajar banjir, dapat saya sebutkan Pemprov Jakarta di bawah Ahok, telah melakukan langkah mundur dalam penanganan banjir melalui proyek tanggul Kali Ciliwung, dan pada saat yang bersamaan kehilangan kesempatan melakukan teoretisasi konsep “Kampung Susun Manusiawi” yang saya nilai secara konseptual memiliki potensi untuk lebih canggih dari room for the river. Dengan demikian, Pemprov DKI Jakarta juga kehilangan satu kesempatan untuk menemukan konsep penanganan banjir yang sangat bernas dan saya yakin akan dibutuhkan oleh banyak kota lain di dunia. Sayang sekali.

Ditulis oleh Bosman Batubara. Terbit perdana di situs literasi.co dengan judul yang sama. Diterbitkan ulang dengan izin penulis, untuk tujuan pendidikan dan solidaritas #CahayaTanahGusuran.

--

--

Cahaya Gusuran
Cahaya Tanah Gusuran

Administrator @CahayaTanahGusuran. Ikuti http://medium.com/cahaya-tanah-gusuran untuk bersama memindarkan harapan dan solidaritas untuk tata kota tanpa duka.