The Jakarta Post/P. J. Leo

Penggusuran, gentrifikasi, dan politik tanah

Evi Mariani
Cahaya Tanah Gusuran

--

Evi Mariani

Penggusuran tak pernah semata tentang memperindah atau memajukan kota dengan meminggirkan “warga tak taat hukum” atau “the great unwashed.” Ia selalu mengenai politik tanah, yaitu mengambil alih lahan yang digarap (dijadikan rumah dan tempat usaha) oleh rakyat biasa demi perputaran modal, atau dalam bahasa David Harvey, surplus dari akumulasi kapital.

Ia selalu merupakan upaya “pembersihan” yang akan diikuti oleh harga properti di sekitarnya yang akan naik, dan semakin harga di situ naik, semakin kecil kesempatan warga miskin untuk bertahan di wilayah strategis di kota.

Tahun 2007, flat kelas menengah bawah Pulomas dihancurkan, diganti dengan apartemen berkolam renang. Warganya diminta pindah ke rusun di Jl. Tipar Cakung, yang mirip dengan rusun Rawa Bebek dan Marunda, disebut sebagai berlokasi di tempat “jin buang anak.” Di Jakarta, warga miskin tak boleh tinggal di dekat Kelapa Gading. Dengan kata lain, kalau bisa dijual di atas Rp 15 juta per meter persegi, mengapa tanah itu untuk perumahan sosial? Rugi amat.

Memang pemerintah kota di mana-mana, tak hanya di Indonesia, berpikir selayaknya pengusaha, dan warganya tak lagi protes atau keheranan. Memang begitu toh? Dunia kan tak adil? Terima saja.

Saya melihat pola yang sama diterapkan di Luar Batang dan Kalijodo. Memang tidak lagi sekasar dulu, tanahnya diambil alih dengan serampangan oleh pemerintah (yang sebenarnya juga tak punya bukti kepemilikan atas tanah negara yang belum didaftarkan ke BPN tersebut) lalu beberapa tahun kemudian sudah ada apartemen mewah di atasnya.

Kali ini caranya lebih halus. Tanah menjadi RTH, atau menjadi plaza atau mengalami revitalisasi sehingga lebih cantik. Gentrifikasi ini disebut sebagai “revitalisasi kawasan” yang tentunya akan meningkatkan nilai properti di sekitar situ. Memang ada banyak apartemen menengah atas di sekitar kampung warisan budaya tersebut.

Politik tanah ini terjadi di seluruh dunia. Di mana-mana terjadi perebutan tanah antara pemodal besar (kerap berkolusi dengan pemerintah setempat) dengan warga biasa. London misalnya, yang baru saja memilih walikota baru, telah mengalami gentrifikasi di mana working class tak lagi sanggup menyewa di tengah kota, dekat dengan tempat kerjanya.

Ini saya ambil dari buku David Harvey, Rebel Cities:

But land is not a commodity in the ordinary sense. It is a fictitious form of capital that derives from expectations of future rents. Maximizing its yield has driven low- or even moderate-income households out of Manhattan and central London over the last few years, with catastrophic effects on class disparities and the well-being of underprivileged populations.

This is what is putting such intense pressure on the high-value land of Dharavi in Mumbai (a so- called slum that the report correctly depicts as a productive human ecosystem). In short, the report advocates the kind of free-market fundamentalism that has spawned a macroeconomic earthquake of the sort we have just passed through (together with its continuing aftershocks) alongside urban social movements of opposition to gentrification, neighborhood destruction, and the use of eminent domain (or more brutal methods) to evict residents to make way for higher-value land uses.

Since the mid 1980s, neoliberal urban policy (applied, for example, across the European Union) concluded that redistributing wealth to less advantaged neighborhoods, cities, and regions was futile, and that resources should instead be channeled to dynamic “entrepreneurial” growth poles. A spatial version of “trickle-down” would then, in the proverbial long run (which never comes), take care of all those pesky regional, spatial, and urban inequalities.

Turning the city over to the developers and speculative financiers redounds to the benefit of all! If only the Chinese had liberated land uses in their cities to free market forces, the World Bank Report argued, their economy would have grown even faster than it had!

The World Bank plainly favors speculative capital over people. The idea that a city can do well (in terms of capital accumulation) while its people (apart from a privileged class) and the environment do badly, is never examined.

Membaca Harvey, saya menjadi paham, bahwa melihat penggusuran tidak bisa hanya dilihat dari perspektif hak asasi manusia, tapi juga perspektif ekonomi. Kota telah menjadi “mesin pertumbuhan ekonomi” dan tanah di perkotaan adalah aset yang diputar oleh pemilik modal besar yang berasyik masyuk dengan pemerintah lokal, seakan dunia milik berdua, dan kelas pekerja macam saya dan teman-teman cuma ngontrak.

Maka, sebagai kelas menengah, jika kita berpikir penggusuran adalah hukuman setimpal, bahkan hukuman terlalu ringan bagi warga liar, berarti kita telah gagal melihat bahwa sistem ketidakadilan ruang yang telah memiskinkan warga tergusur adalah sistem yang sama yang telah membuat kita terlempar 30 kilometer ke kota satelit dan harus mengeluarkan energi dan dana lebih untuk mencapai tempat kerja.

Maka jika beberapa orang kelas menengah yang dulu saya anggap sebagai teman seperjuangan menegakkan pluralisme di Indonesia sibuk share foto indah di rusunawa-rusunawa, artinya mereka gagal melihat bahwa ketidakadilan ruang yang sama yang membuat mereka tak akan pernah sanggup beli rumah di Pantai Mutiara, dan tetap saja kalau masuk ke sana harus diperiksa beberapa lapis keamanan. Semoga satpamnya memperlakukan kalian dengan sopan.

--

--

Evi Mariani
Cahaya Tanah Gusuran

Journalist and founder of public service journalism initiative, Project Multatuli, at projectmultatuli.org.