Rumah yang Hilang: Sejarah, Ekonomi, dan Inisiatif Kolektif

Cahaya Gusuran
Cahaya Tanah Gusuran
1 min readNov 2, 2016
Foto: Viriya P. Singgih

Umur saya 30 tahun, tinggal di sini dari 2003. Saat itu saya masih kelas 1 SMA. Setelah lulus, saya aktif di Sanggar Ciliwung jadi koordinator musik. Waktu kuliah juga pernah jadi pengorganisasian warga di sini, lalu setelah itu masuk lagi ke pendidikan seni budaya rakyat (PSBR) di sini sebagai koordinator.

Setelah penggusuran, yang hilang selain bentuk fisik yang kelihatan ya sejarah, ekonomi yang sudah ada di sini. Terus juga bentuk yang paling fatal yang hilang, yang paling sulit dibangun, dibentuk lagi, adalah sosial budaya yang sudah terbangun lama di sini.

Sederhananya saja, kalau ada warga yang sakit atau sanak saudaranya meninggal dan dia enggak mampu, warga pasti melakukan aksi kolektif. Misalnya dengan memesankan mobil ambulans. Termasuk kalau ada yang kebakaran, warga juga sangat sigap membantu. Kalau banjir misalnya, ada “Tim SAR Ciliwung”, atau yang biasa disebut anak-anak sebagai pasukan berani mati.

Yang paling kehilangan jadi ya kebersamaannya itu. Sekarang saja kalau balik ke sini, lihat puing-puing sanggar, kita masih ingat dengan semua kenangan yang ada, akhirnya jadi sedih dan kita bisa tiba-tiba meneteskan air mata.

Abdul Muis

--

--

Cahaya Gusuran
Cahaya Tanah Gusuran

Administrator @CahayaTanahGusuran. Ikuti http://medium.com/cahaya-tanah-gusuran untuk bersama memindarkan harapan dan solidaritas untuk tata kota tanpa duka.