Ber/Ter(akhir)

Indah Veidasari
carito kito
Published in
2 min readJun 5, 2018

Maaf, sebenarnya cerita ini memang sudah lama selesai, ditelan oleh waktu, dibunuh paksa oleh luka yang belum seutuhnya sembuh.

Menguatkan diri sendiri ternyata lebih sulit, melawan sedih tanpa menangis memang tak bisa saya tampis. Jutaan kenangan itu berbaris untuk memaksa masuk kedalam diri. Jauh jauh lah! sebab yang mengkhianati memang tak pantas dihati.

Lalu ketabahan yang seperti apalagi agar membuat saya bertambah kuat? Kalimat kalimat penenang kadang tak lagi mempan, riuh bayang selalu terbayang seakan tak mau hilang. Sekuat-kuatnya perempuan akan tetap lemah jika dipatahkan hatinya. Walau diam tak membuat keadaan menjadi lebih baik.

Dulu kamu selalu memuja saya, mencintai saya, sama sekali tak ingin saya terluka bahkan tak terima jika saya lecet sedikit saja, dan kamu bisa marah besar hanya karna saya berbalas pesan dengan orang lain. Dan ternyata benar adanya kata teman lamaku; yang mencintai memang yang paling bisa menyakiti.

Kita sanggup berjalan jauh meski langkah kaki tidak lagi sama, memaling wajah namun tujuan masih sama,

“Istirahatlah sebentar kita sudah terlalu lelah” ujar saya dengan nafas yang terengah-engah

Namun kamu tetap tak ingin menyerah pada kita, kamu paksa saya untuk tetap berjalan, bahkan kamu terlalu sabar menunggu saya agar kembali kuat. Di pertengahan jalan kamu tiba-tiba berlari hingga kamu lupa bahwa saya sudah tertinggal , seolah olah saya yang ingin ditinggal. Kamu berfikir bahwa diujung sana ada yang lebih ingin menemanimu berlari untuk mencapai tujuanmu lebih cepat. Dan saya malah kamu caci maki sebab saya tak bisa mengimbangimu.

“Baiklah, jika kamu tak lagi ingin aku temani” sontak tangis saya pecah, tubuh saya berpasrah

Sejak hari itu, hari dimana saya mendapati luka dari seseorang yang tak pernah disangka-sangka, saya putuskan untuk tak lagi mengasihani hati, biarlah ia hancur sehancur hancurnya. Biarlah semua yang dilakukan terasa sia sia. Saya tak pernah benar-benar ingin kamu pilih, dan kamu memang tak betul betul memilih saya. Kamu sudah kuanggap hilang!

Kadang merasa tak adil, sesuatu yang saya sayangi diambil secara paksa, apa yang tak ingin saya lepas kalian rampas. Saya selalu menganggapmu baik, walau nyatanya terbalik. Yang hitam tetap lah hitam, takkan berubah menjadi putih, maka yang salah tak akan pernah jadi benar. Biarlah saya rawat sakit ini sendiri, sebab diri saya sendiri.

Saya dan kamu tak lagi menjadi kita, kamu sudah saya bunuh dalam ingatan, tolong jangan kembali untuk melukai lagi. Saya dan kamu sepakat untuk selesai;

Kamu dengan segala kamu,

Saya dengan seluruh saya

Bukankah pada akhirnya, hidup adalah rentetan proses memaafkan dan dimaafkan, mengikhlaskan dan diikhlaskan?

Saya tahu bahwa tak ada yang abadi didunia ini, segalanya pasti akan hilang dan berganti. Terima dulu apa yang Allah berikan, kemudian percaya bahwa itu adalah sebaik-baik ketetapan, maka merelakan akan menjadi terasa ringan

Mungkin salah satu penyebab cinta berubah menjadi benci adalah ketika kita tidak bisa berdamai dengan diri sendiri, memilih meninggikan ego melebihi cinta sampai kita lupa bahwa itu akan menyakiti diri kita sendiri. Ingatlah bahwa perempuan adalah pemaaf yang sulit melupakan.

Sudahkah kamu bersyukur? Bersyukur atas semua yang sudah Allah takdirkan untukmu? Bersyukur bahwa kamu sudah diselamatkan dari orang orang yang memang tidak baik untukmu? Bersyukur nyatanya banyak yang menyayangimu lebih dari dirimu sendiri? Berbahagialah semesta begitu menyayangimu.

Ini adalah tulisan untuk yang Ber/Ter(akhir)…..

--

--