Kata mereka, setelah 7 tahun Ferdiansyah…

Michael Jarda
carito kito
Published in
7 min readAug 12, 2018

Sabtu, 11 Agustus 2018

“11.54 p.m menjelang pergantian hari yang dingin” di Ojai, California, bunyi pesan dari Joanna Marie. Dalam waktu bersamaan, di Padang — belahan dunia lain nun — hari menjelang petang.

Senyum pun muncul di bibir Ferdiansyah yang keliatan gagah menggunakan pakaian hitam-putih ala sales, tambah segeh dengan salempangan nama diikuti gelar akademik, ihiw. (FOTO/Jepretan Mpie Cutu Chaos)

Ferdiansyah, panggilan keren “Kebe”, mantan aktivis liar, licin, sedikit bengal, dan sesekali mencoba subversi di salah satu kampus keguruan swasta sana. 11 Agustus 2018, sampai pulalah sang aktivis (katanya) memeroleh gelar sarjana, setelah dua kali berpindah tempat kuliah, malas, de el el. (ini) Benaran (lho) tak mudah jalan baginya mencapai gelar sakral ini, butuh waktu tujuh tahun!

Andai ia lambat tamat kerna melawan kekuasaan, ingin saya mengutipken kalimat Milan Kundera yang kesohor, diimani sejuta umat revolusioner progresip berikut, “perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa” di sampul depan skripsinya. Niat itu saya urungkan, sebab tahu — sejak dulu — Kebe merupakan bagian dari kekuasaan (seciprit) itu, yang diraihnya dengan menghalalkan segala cara agar menjadi leader mahasiswa tingkat jurusan sampai eksekutif.

Bayangken! sodara-sodara! kamerad kita ini adalah penjabat Ketua Himpunan Mahasiswa (dewan setingkat lurah kampus) periode 2013/2014. Tak puas dengan jabatan sebatas lurah, ia lalu ikut-ikutan terjun masuk bursa Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (setingkat RT kampus) dua kali. Sekali gagal, sekali berikutnya, ia berhasil, namun bukan sebagai ketua RT, melainkan, dus, ia menjabat Wakil Ketua RT masa bakti 2014/2015.

Rrrrrr… tinggian mana sih RT apa lurah?

Dengen djabatan prestisius, ia menjadi populer di seantero pelosok gang sempit kampus. Tiada hari dilewatkan tanpa kehadiran dedek-dedek ngegemezin merengek minta kenalan, “Bang Kebe yach?” tanya seorang mahasiswa baru (MABA), 6 setengah tahun lampau. Ditambah dengen pernah mengisi djawatan sekeren wakil RT, ia bisa sampai melanglang ke Bali, lesehan di Hard Rock Cafe, berjemur di Kute nan eksotis, pun kesasar di pulau dewata, astaga!

Well, well, well (jiplak SGA beud) keadaan berbalik setelah doi pensiun dari RT dan lurah. Hari-hari indah penuh kemenangan berlalu menjadi hari-hari panjang jang sulit, bajangken: ditinggal para konco yang terbang seusai wisuda, diputusin patjar, kena isu matjem-matjem, dan tersial tersiarnya hoaks “he is… die young!” bikin geger kampus. Apes nian!

Hebat! si bung aktivis kita ternyata sanggup bertahan melewati masa-masa sulit setelah kejayaan, cie, walau — kadang ia putus asa; lalu buru-buru kami cubit — , bangkit lagi ia, — sempat ia mewek; kami jitak pakai bantal, — tertidur pulas ia, sempat yang terakhir; perayaan gelarnya diundur sehari.

Kini, ia berhasil meliwati semuwa aral yang membuwat siapa saja terkagum-kagum melihat jerihnya. Aih, Kamerad Kebe. Yuk, mari ketawa ngakak!

Ketika mendengar kabar ia sidang skripsi pada sore Sabtu nan indah, saya tengah masyuk membaca cerita “The Old Man and the Sea”-nya Ernest Hemingway di tempat rahasia. Buru-buru saya tinggalkan bacaan, segera bergegas menuju sekolah — tiba di sana — dalam hitungan 3 menit. Dari jauh tampak saudara Kebe berstelan gagah blazer necis. Saya hampiri, dan ngobrol. Menurut kabar, sidang [kompre] dimulai 16.00, rupanya jadwal mundur ke 18.00, hadeh.

Kebe puyeng. Dibukanya buku sembari mencatat-catat (entah apa), saat Kebe puyeng itu saya curi-curi kesempatan bermanuver (cielah bahasamu, Nak!) menggunjingkan Kebe kepada simpatisan maupun mantan simpatisannya.

Berikut tanggapan mereka setelah tujuh tahun Ferdian Kebe. Ada doa, harapan, hingga.. “ah…dia lagi, bosan!”

Saya mencatat baik-baik obrolan bersama mereka.

Sila disimak:

(i)

Saya senang (kebe selesai kuliah), dia begitu banyak berkontribusi dalam pengkaderan kampus, maksud saya mengkader mahasiswa baru, pastinya yang paling membuat saya senang, dia sudah sepuh sih, eh, juga kontroversinya itu lho, banyak!

Andre Gustian (Mantan calon Ketua HIMA yang gagal)

Saya sebenarnya bingung dengar kata “kader” yang diucapkan Andre sambil merapikan letak kacamatanya itu, Ah, sudahlah. Intinya: Andre senang Kebe selesai sebab ia sudah sepuh, begitu kan Andre?

(ii)

Lalu saya mendatangi seorang berbadan tegap, belum keluar kata Kebe dari saya ia sudah langsung berceracau:

Berbicara tentang Ferdian Kebe (saya) teringat satu cerita dalam buku Bumi Tuhan, (cerita) tentang seorang eksil yang menua di Moskwa. Betapa pedih hidup si eksil. Berlainan sedikit dengan (kisah) Kebe. Kebe tersesat di Padang, sebagai mahasiswa, bukan sebagai mahasiswa yang kemudian menjadi eksil seperti dalam buku. Si Eksil pengen pulang ke Indonesia, kebe pengen balik ke Jakarta. Mudah-mudahan namanya dikubur abadi di Padang.

Dodi Abdullah (mantan editor media online abal-abal)

Yang jelas pria tersebut pengin sekali menunjukkan sisi intelektualitasnya, menjadikan kisah dalam buku sebagai contoh pembanding, sejujurnya saya bingung, panjang banget penjelasannya, tapi, nggak jadi bingung, soalnya dia editorqyu. (Anak) Kalimat terakhir “…abadi di Padang” saya bisa nebak: sudah pasti itu kata di sampul buku yang sedang dia baca.

Intinya dikit doang, sekadar mengabarkan pada burung di langit bahwa Ferdian Kebe rindu JKT. Selebihnya, gimmick, ya kamu kutu buku!

Saya melirik ke bangku di depannya, duduk dua perempuan, buru-buru saya tanya, “kalian senang gak Bang Kebe itu lulus? ngapain kok sampai senang?”

(iii)

Perempuan pertama, diketahui bernama Winda — baru dua hari kenal Ferdian Kebe — menjawab, “Ya senanglah, senang aja!” jelasnya sambil ngunyah kacang kulit Garuda, buru-buru jawabannya ditambah perempuan yang duduk di sebelah, “Duh, Bang Kebe, dia orangnya asyik banget, bisa mencairkan suasana, baik, dan…” namanya Wella, kekasih dari mantan editor kutu buku tadi, kemudian secara bersamaan tiba-tiba Winda dan Wella memuji-muji salut pada Kebe. Hmm…

(iv)

Dari arah utara tampak seorang mahasiswa menjinjing map berisi proposal, menuju arah saya, dugaan saya salah — ia memilih duduk di meja seberang. Saya hampiri dan menanyakan pertanyaan yang sama soal Kebe, apa katanya? filosof!

Setiap kebaikan orang, kebaikan juga buat kita

— Rahmad Hidayat (teman saya angkatan 2012 yang tersisa)

Jawaban pendek satu isapan kretek. Tos dong! Kami pun tos-tosan.

Selang beberapa jenak, satu per satu dari mereka mulai pergi ke dekat ruang sidang, menunggu-nunggu sambil membesar-besarkankan hati Ferdian yang roman mukanya tampak kecut.

(v)

Senja muncul, sedang dalam ruangan Kebe berjibaku.

Lalu, datang seorang karib Kebe, ya, karib, Mpie namanya.

“Bang, senang gak kawanmu segera wisuda?”

“Ya senanglah!”

“Kenapa?”

“Biar bisa ketawa lepas, hahaha.”

Sungguh jawaban teman sejati!

Sedikit jeda, nampak Herman Pelani, M. Ridwan, bung egis, dan beberapa yang lain berjalan menuju tempat duduk saya dan Mpie. Mereka juga saya sodorkan pertanyaan yang sama. Jawaban mereka keren-keren sekaligus bikin syok.

(vi, vii, viii)

Semoga dia jadi ketua PSSI, tauke bawang, menikahi janda kaya, dan segera berlabu di Jakarta

Herman Pelani (CEO Carito Kito)

Oh My GOD!

Bang Kebe itu selalu penutupan, wisuda penutupan, ujian penutupan, yang terbaik aja deh

bung egis (Mahasiswa Filsafat yang tersesat di Pendidikan Sejarah)

Tumben ia tak berfilsafat!

Pasti senang, bangga, lihat dia mempertahankan, memperjuangkan (skripsi), (akhirnya) dia kompre, selanjutnya wisuda

M. Ridwan (Ikon, Carito Kito)

Dengan angguk-angguk, tepuk tangan, berbaju ASIAN GAMES Ridwan cengengesan.

Menunggu detik-detik Ferdian Kebe resmi jadi sarjana. Dalam Foto berdiri: Mpie Chutu Chaos, duduk di belakang Didi dan Dodi, Deret duduk sebelah kanan Herman, Jilbab biru Winda, dan Wela autis android.

Azan terdengar, belum ada terlihat tanda-tanda selesai dari Kebe, Mpie tampak bosan, ia mulai ritual mencoret-coret kertas untuk membunuh bosan (isinya nanti dibahas lain waktu). Dan…….. 15 menit kemudian… barulah yang ditunggu-tunggu keluar. Bintang kita, Ferdian Kebe! Senyum lebar. Kami berlari menyusul, memeluk, dan mengucapkan selamat. Hingga suasana tenang menjadi seperti:

[Semua foto jepretan ponsel Yopi Faurika]

Trio!: (Kiri bertopi Mpie, tengah Pak Kaksim, dan Kebe)
Berberes
Yeah!

Bintang kita, terlihat gagah dan segeh:

Aah, dia lagi.

Seremoni berlanjut di luar ruangan, tambah ramai:

Sampai jumpa…

Perayaan ditutup dengan nonton bola bareng.

Selamat!

Sebelah kiri sepatu di kaki Kebe dan Kanan di kaki saya. Foto jepretan Kebe dan Androidnya

03.15 a.m

Di Ojai, California, Joanna terlelap mendengar “Human”, lagu The Killers yang sudah 10 kali repeat otomatis.

Ia pulas dengan earphone di telinga.

Berfilsafat di alam mimpi.

“Are we human or are we dancer?”

Selamat menonton, tuan!

--

--

Michael Jarda
carito kito

Gunung Medan, 18 Maret 1994. Sedang mendalami spirit Madonna.