MENUJU RESTU

Indah Veidasari
carito kito
Published in
5 min readApr 10, 2018

Bergetar jari jemariku menulis kata perkata untuk mengulang cerita tentang kita (lagi)

Sedikit sakit, namun akan kucoba

Harus dari mana aku memulai bercerita?

Tentang bahagia? Kejamnya rindu? Rasa sakit? Kehilanganmu? Atau tentang kita yang tak dapat menyatu?

Ya semua itu berkatmu sayang

Kamu yang begitu luar biasa hadir dan hidup dikepalaku, dihatiku, ditiap-tiap hariku, Dulu!

Kubenci kala mengingat kisah dulu, kamu…

yang begitu mencintai sosokku,

yang begitu egois hanya karna tidak ingin kehilanganku,

yang rela bersusah payah menenangkan amarahku,

yang meladeni setiap rasa rinduku, dan

yang paling sabar menghadapi egoisku.

Sekali lagi, itu semua dulu! Sebelum kita dihancur remukkan oleh kita sendiri.

Aku gelisah dalam hati yang resah, menuai pedih hingga pasrah

Padamu sayang, kuserahkan jiwa raga tanpa ragu

Namun aku kalah sebab egoismu, katamu itu cinta, tapi mengapa melukai?

Menjaga tak perlu mengekang, memeluk tak perlu mencekik

Kamu selalu merasa benar dalam keegoisanmu.

Kuakui kamu adalah tujuanku, menemani hari yang akan aku lalui

Namun kamu memilih untuk berhenti melanjutkan perjalan , seakan aku ingin mendorongmu ke tepi jurang.

Cukuplah kamu siksa aku dengan aturanmu jangan kamu tambah lagi dengan kehilangamu.

Meski kupaksa diri menjadi orang lain, hanya agar engkau menyayangiku

Kuturuti semua yang tak kuingini, hanya untuk memuaskan egoismu

Sebegitunya aku mencintaimu.

Puing puing rindu yang belum sempat tersampaikan, meronta-ronta meminta dirimu

Kuberi yang lain, dia semakin membuat dadaku sakit. Harusnya tak patut kau minta dipungut pada dia yang pengecut.

Dia yang mencintai diriku yang lain, yang bukan aku

Aku sudah kehilangan diriku, kehilangan duniaku

Terpenjara sebab takutmu yang berlebihan

Wahai Tuan, sadarlah!

Aku perempuanmu bukan tawananmu.

Lihat ulahmu sayang, diriku menjadi liar

Tak menawan, senang melawan, dan tak lagi jadi kawan.

Kutahu kau paham bahwa aku lelah dihantam oleh inginmu yang tinggi, mengalah itu ternyata melelahkan hati. dan kamu sungguh bahagia dalam ketidaknyamananku

Kamu diam saja aku sudah cinta, jadi untuk apa sekhawatir itu? Bahwa tak semua orang memahami jalan fikiranmu dan memahami caramu mencintai, karna yang kamu tau kamu hanya mencintaiku saja.

Banyak sekali yang menawarkan diri, dari yang manis sekali, si baik hati, yang berseragam coklat, berkemeja rapih. kala itu sama sekali hatiku tak tertarik oleh mereka karna buatku kamu sudah cukup sebagai yang kupinta.

Hobbymu masih saja sama, menuntut apa yang tak bisa aku lakukan.

Takkah kau fikir bahwa kemampuan orang tidak pernah sama? Demimu aku rela

Sempat terfikir pertanyaan pertanyaan yang tak pernah kutemukan jawabannya, salah satunya yaitu; kenapa kamu menuntutku untuk “Harus selalu jadi apa yang kamu mau?” Tidakkah kau ingin mengganti pernyataan itu menjadi “Aku mencintai semua yang ada padamu, tanpa menuntutmu untuk menjadi orang lain”. Tak iba kah kau sayang? Pada hati yang kau tempati ini? Ia pelan pelan mengelupas, lepas dari tempatnya, dan itu sebabmu

Kamu tak pernah kehabisan akal selalu pandai menyangkal.

Kamu selalu megatasnamakan cinta meski itu tak lagi wajar, sudah kubilang aku tak suka dikekang

Ingatlah, setibanya aku pada masa dimana aku mulai muak dan ingin mencampakkanmu saja, kumohon jaga amarahmu. Biar kehilangan mengajarkanmu bahwa memaksa cinta itu tidak akan pernah bahagia. Mestinya perasaan ingin memiliki tak membuat kita kehilangan diri sendiri.

Untukmu selalu kulakukan yang terbaik, walau kadang melawan diriku sendiri. Padamu kugantungkan semua harapan, kebahagiaan dan masa depan. Namun semua tinggal harapan saja, hatiku remuk, jiwaku sakit.

Entah bagaimana jika aku mendengarnya sendiri, kalimat yang paling mampu mencabik hatiku.

“kamu jangan pernah memiliki hubungan atau bahkan sampai menikah dengan perempuan yang beda suku/ras dengan kita” ujar orangtuanya. Aku hancur saat itu!

Entah sebab apa atau siapa, kuingin marah padamu saja namun aku tahu ini bukanlah kuasamu

Kenapa Allah menciptakan kita berbeda? Bukankah Allah ingin kita saling melengkapi satu sama lain? Mencintai kekurangan masing masing agar kita merasa sempurna seutuhnya?

Namun kenapa hanya karena orang orang itu aku terseret dalam opini opini negative itu? Setidak pantas itukah aku? Kumohon jangan egois!

Kutau kamu cinta, tentunya kamu lebih cinta pada yang melahirkanmu bukan? Ini tidak main main namun kamu seolah bermain main dengan hatiku. Memang semua butuh proses namun tak pernah kulihat usahamu untuk kita.

Rasanya sakit sekali, kalah sebelum memulai.

Bu, kenal lah dulu denganku, akan kusediakan teh panas dan camilan biskuit untukmu, mari kita berbincang tentang apapun, akan kusukai apapun itu bahkan pada hal yang sama sekali tak membuat kutertarik. Aku hanya ingin ibu menyukaiku, mencintaiku untuk bisa mencintai anak lelakimu. Nyatanya semua itu hanya harapanku saja. Mereka terlalu cepat untuk tidak padaku jauh sebelum mereka mengenalku

Bu, pak kenapa kalian begitu tidak ingin aku memiliki sedikit saja anakmu untukku? apa karna aku tidak terlahir dengan ras yang sama dengan kalian? Kujamin, aku cukup baik bu, aku perempuan baik baik tentunya.

Aku tak akan pernah mencuri yang bukan hakku, jika memang aku tak diperbolehkan untuk memiliki anak kalian, tolong jangan paksa aku juga untuk tidak lagi mencintainya, karna perasaanku itu bukan lagi urusan kalian.

Sejak hari itu, kukuatkan hati dan inginku untuk membuktikan bahwa apa yang ibumu fikirkan selama ini tentangku adalah salah.

Pelan pelan kuturun kan egoku, tak pernah aku menuntut apapun darimu, bahkan untuk rinduku yang tak kamu hiraukan

Maaf bu, jika kau membuat cintanya terbagi, karna dia kerap menomor satukan aku dibanding ibu, maaf jika ibu terlalu cemburu padaku. Dan

Terimakasih pula atas penolakan kalian, sebab membuat aku sadar bahwa suatu hubungan tidak melulu cukup hanya dengan cinta saja.

Tak bisa lagi kutawar, merekapun tak lagi tertawa. Demi apapun aku tak menyalahkan kalian, aku sudah terisak isak menahan sesak namun tampaknya memang takada jalan selain selesai. Kita tak lagi ada pada jalan yang semestinya, semakin hari kita semakin saling menyalahkan. Pada siapa kita harus mengadu? Beradu argumen hanya akan memperpanjang masalah saja. Ikhlas pada apa yang semestinya, takdir tetaplah takdir yang tak seorangpun mampu melawan sang pencipta.

Pesanku: semua makhluk Allah itu sama, kamu boleh punya alasan untuk membenci sesuatu, namun Allah punya takdir yang tentunya tidak bisa dilawan oleh dzat manapun.

Bahkan sampai pada kata kata terakhir ini aku ingin berhenti menulis tentangmu, karena aku benci harus mencintaimu sembari mengikhlaskanmu.

Kalaupun harus berpisah, semoga kita yang saling melepaskan, bukan kita yang saling kehilangan. Tak usah dikenang walau terasa dalam, biar dendam melayang biar langkah terbebaskan.

Meski kamu menjajikan ribuan kepastian yang dulu kuminta, sudah tak bisa merubah diriku. Dikala genting barulah kau anggap ini penting. Orangtua ku tak pernah melihat kamu dari sisi yang buruk tetapi kalian tega membuatku terpuruk.

Sebab restu diatas cinta, satu kata yang membatasi kita untuk mengakhiri segala yang sudah terukir. Inilah kita yang tak bisa menyatu karna restu.

Satu yang perlu kamu ingat bahwa aku tak berusaha melupakan, aku sedang berusaha mengikhlaskan, rasaku akan tetap ada tapi aku mencoba berhenti memaksakan yang sudah tidak bisa…..

--

--