Seperti Dilan

Herman Pelani
carito kito
Published in
3 min readMar 29, 2018
Teringat masa SMA

Melihat keadaan sekarang, sebuah kata cinta itu suatu hal yang semakin rumit dan tidak tau makna; kadang — bahkan — seperti pertanyaan paradoks.

Semakin ke dalam malah semakin berlumpur, semakin tinggi malah semakin melayang. Tidak tau arah.

Tengah malam itu menyadarkan saya bahwa ada pulau Sumatra yang belum terisi, sehingga personil cacing tak berkelamin menunjukkan aksi. Tapi ini bukan aksi damai, ia sangat berlaku radikal. Tidak cukup disogokkan dengan roti, maunya berupa nasi. Dasarlah cacing tidak bisa kompromi seperti dia yang berdasi.

Tidak mengerti hari sudah malam, terlalu dingin buat si jomblo seperti saya ini keluar di tengah malam. Akhirnya saya mencari penghibur diri biar cacing lupa diri. Tidak sengaja kepikiran ingin membaca novel dari gadis itu yang belum sempat saya baca. “Dilan 1990” ini kisah cinta lama yang diungkit kembali: antara Dilan seorang geng motor namun berprestasi terutama perenggut hati.

Milea, dia adalah korban Dilan sang perenggut hati. Dia cewek typecal (baca: tipikal) super cuek, terlahir dari keluarga militer. Walaupun cuek, apalagi sangat antibrandalan, tapi kekuatan cinta membuktikan kekuasaannya, merubah gelap menjadi bercahaya.

Saya tidak meresensi novel, cuma ingin mengupas sedikit ceritanya untuk penyenyak tidur. Berharap segera tidur lalu bermimpi menjadi Dilan dan dipeluk erat dari belakang. Tapi saya harap ciuman dalam mimpi saya tidak seperti di novel itu yang hanya mengucupkan tangan lalu bertabrakan. Ahhhh begitu sadis dibayangkan Dilaaaannnn.

Novel ini berkelamin romansa. Pergi sekolah dengan hati yang berbunga-bunga lalu pulang diantarkan dengan senyum yang manja. Saya harap itu bukan senyum pepsodent, melantangkan gigi namun gigimu tak seindah yang saya banyangkan. Wkwkwk.

Setelah membaca novel Dilan 1990 seketika membuat saya rindu zaman SMA, walaupun tidak ada cinta seperti Dilan dan Milea. Tapi percayalah, tidak ada masa yang lebih indah selain masa SMA. Andai saja di sana ada Milea, tentu tidak akan ada kata bolos walaupun satu jam saja, karena katamu “menahan rindu itu berat, jadi biar saya saja,” karena cukuplah badanmu yang begitu berat (yang merasa gendut tidak usah tersinggung). Hahahaha.

Menyinggung zaman SMA, ingin pula saya bercerita tentang masalah cinta saya. Karena cinta bukan milik kamu saja. Ganteng-ganteng gini saya juga pernah merasakan cinta walaupun berakhir kandas. Namanya Yumi Juwita, wajah tirus, bibir tipis, dagu lancip, dan sudah pasti dia tidak berhidung mancung.

“Karena pesek itu manis”

Saya tidak gampang jatuh cinta, apalagi masalah pacaran. Pacaran tidak segampang yang kamu bayangkan. Habis manis ampas dibuang. Kata Nita Natassya, “MAMA tidak pernah ngajarin seperti itu!” Tapi Youmi mampu membelurkan pandangan saya, kecuali memandangnya. Sehingga mata hanya terfokus ke dia seorang.

Kami pacaran saat saya sedang menghadapi ujian nasional kelulusan SMA. Setelah lima bulan pendekatan. Itu menandakan ada LDR yang akan menghampiri. Ramalan itu benar!

Setelah saya tamat, Padang adalah suatu pilihan penyambung pendidikan saya. Mau tidak mau LDR terpaksa harus dilalui, satu bulan berlalu kami sedang sedih-sedih dan rindu-rindu yang menggebu. Terasa satu tahun lamanya.

Bulan kedua timbul rasa-rasa cemburu buta tak menentu, kata orang cemburu tandanya sayang dan bumbu dalam harmonis hubungan. Filosofi seperti itu saya terima saja, mungkin ada benarnya juga.

Bulan ketiga cemburu semakin membabi buta saling tuduh-menuduh sampai mulut membungkam.

Bulan keempat ternyata tidak bisa hanya membungkam saja, hingga kami ambil jalan tengah untuk mengakhiri hubungan, dan bantallah saksi bisu yang menanggung hingga membeku membentuk gumpal-gumpalan.

Setahun kemudian kami berkomunikasi lagi. Karena terjebak masa lalu atau dalam bahasa kids jaman now gagal move on. Tidak ada kata balikan (CLBK), kami hanya memegang komitmen untuk saling menjaga perasaan karena status pacaran hanya perusak harmonis hubungan. Hubungan kami seperti jurus Naruto, hilang timbul, hilang timbul, dan seperti itulah seterusnya.

Namun komitmen itu hanya mampu bertahan sampai saya semester tujuh, malahan kami sempat balikan dan itu hanya dua mingu bertahan. Setelah itu tidak ada kata putus lalu menghilang jejak. Mungkin dia marah karena saya tidak mengabarinya. Tapi sikon waktu itu saya sibuk ngerawat mama di rumah sakit dan dia sempat tau kabar itu. Tapi jangankan mengabarkan diri, mengucap prihatin untuk mama saya saja tidak ada. Begitulah egonya!

Kebencian saya semakin dalam! Seminggu setelah itu saya langsung berangkat ke Padang dan sampai sekarang tidak ada kabar sedikitpun tentang dia, dan saya tidak mengharapkan itu!

“Tidak ada yang diprioritaskan selain Mama” quotes Nita Natassya, dan “tidak ada panutan yang lebih baik dari orang tua,” quotes Michael Jarda.

--

--

Herman Pelani
carito kito

duduk manis dihamparan alam, baca buku sambil menyeruput kopi di kala senja. dan aku sedang berhalu