Realitas di antara keinginan dan kenyataan

Prims
carito kito
Published in
2 min readNov 19, 2018

Assalamualaikum guys

Selamat malam… pa kabar semuanya? udah lama nggak muncul nih…

Ane mau cerita niii, dan bisa kita pikirkan gimana solusi ke depannya nih guys. Ane kan kuliah di kampus pendidikan, di kampus pendidikan ada namanya PL (Praktek Lapangan). Itu loh yang langsung turun ke sekolah selama satu semester. Suatu pengalaman yang sangat luar biasa rasa haru, suka, dan duka dirasakan pada saat selama satu semester. Nah, karena ada bekal pengalaman di organisasi alhamdulillah selama mengajar dan berinteraksi di lingkungan sekolah pun diterima baik oleh masyarakat di sekolah tempat PL. Nah, karena kami dekat dengan staff TU dan guru-guru ketika kami adakan kegiatan jalan-jalan di hari minggu bersama staff TU — selama sehari — kami berbaur dan gabung bersama. Anak-anak PL, sebelumnya suasana pun cair. Nah, pada suasana cair dan kami bersenda gurau spontan kak dari TU mengatakan:

“Prim, tau nggak kemaren pamong kamu cerita sama kak?”

“Cerita apa kak??”

“Dia ngomong, Prima PL pertama ngajar di depan siswa, tapi nggak ada grogi sedikitpun loe…”

“Semua pengalaman didapat di organisasi, Kak.”

Nah, kemudian di lingkungan sekolah pun kami tidak membatasi diri untuk berinteraksi dengan siswa di sekolah tersebut, sehingga siswa senang berinteraksi dengan kami. Ini berlanjut sampai kami selesai melaksanakan PL di sekolah tersebut.

Komunikasi pun tidak terputus sampai hari ini karena dunia sosmed mempermudah kita untuk berinteraksi, ketika saya datang ke sekolah pun juga masih disambut dengan hangat oleh guru-guru di sekolah tersebut.

===

Inti Tulisan saya hari ini

Sekira pukul sebelas siang tadi masuk pesan ke Facebook saya:

R: “Pak, masih ingat sama saya nggak, Pak?”

Saya: “Masih..”

R: “Siapa pak?

Saya: “Iya masih ingat kok,,, gimana sekolahnya? lancar nggak?

R: “R…nggak sekolah lagi pak,, udah merantau pak..”

Saya: “kemanaa nggak sekolah? selesaikan dulu sekolah, baru merantau..”

R: “nggak cukup biaya pak…”

Saya: “Merantau ke mna?”

R: “Jakarta pak..”

Saya: “kerja apa? sejak kelas berapa berhenti sekolah?”

R: “Sejak tamat SMP pak..jualan mainan pak…”

Sontak hati tersentuh mendengar anak sebelia itu dan masih memiliki keinginan tinggi untuk sekolah tapi tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya, dan yang luar biasanya lagi merantau ke Jakarta. Kehidupan di Jakarta tak seenak yang terlihat di televisi. Mudah-mudahan ke depan kawan-kawan yang disiplin ilmu di bidang pendidikan bisa memberikan solusi dari kejadian sederhana ini, tetapi memiliki efek yang luar biasa terhadap dunia pendidikan kita: baik di daerah maupun secara nasional.

LAPENMI

--

--