Fitra Hadi. H
carito kito
Published in
5 min readMar 13, 2018

--

Ka Jadi PAREMAN atau Ka SIKOLA?

Siang itu, ayunan cangkul Tofi tak begitu cepat. Panas terik matahari seakan membakar tubuhnya, enggan meredup — bias sinar matahari membuat embusan angin hanya sesekali menghampiri tubuhnya.

Begitu pun dengan Ayah Tofi yang sedang memegang tangkai mesin penggarap sawah dengan kedua tangannya, sambil sesekali melihat bagaimana anaknya bekerja.

Ya…!

Raut wajah Ayahnya tampak senang. Terkadang tersenyum melihat ayunan cangkul Tofi yang tertatih-tatih, kadang sesekali beristirahat menghela nafas di pematang sawah.

Bagi Ayah Tofi keadaan seperti ini sudah hal lumrah. Hujan badai sekalipun tak akan menghentikan gerak langkahnya dalam bekerja demi menghidupi kelurga. Terlebih untuk menyekolahkan Tofi yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), dan adiknya yang masih Sekolah Dasar.

Memang hasil garapan sawah tak cukup membantu persoalan biaya hidup keluarga sehingga membuat Ayah Tofi harus memutar otak untuk mencari biaya tambahan supaya perekonomian keluarga terpenuhi sepenuhnya. Dan mengemban tanggung jawab sebagai kepala keluarga sebagaimana mestinya.

Begitu pun dengan Ibu Tofi, juga ikut membantu mendongkrak perekonomian keluarga dengan berjualan kerupuk di halaman depan rumah. Mungkin memang tak banyak yang dapat Ibu Tofi lakukan, namun dapat mencukupi biaya kebutuhan sehari-hari Tofi dan adik-adiknya.

Ya…!

Sudah lebih dari 2 jam disinari bias matahari yang begitu menyengat tubuh mereka. Seketika Ayah Tofi menghentikan pekerjaan sembari mendongak ke atas melihat matahari dan bayangannya.

Lalu, seketika itu juga Ayah Tofi mematikan deru mesin penggarap sawah, dan memanggil Tofi untuk segera menghentikan pekerjaan, dan bergegas untuk pulang melakukan shalat Dzuhur yang sebentar lagi akan memasuki waktunya, dan juga untuk mengisi energi tubuh yang terkuras.

Mendengar dan melihat aktivitas Ayahnya. bergegaslah Tofi menancapkan cangkulnya kedalam sawah, lalu menuju saluran air yang berada ditengah-tengah pematang sawah, membersihkan pakaian akibat percikan lumpur sejak ia mengayunkan cangkulnya. Begitupun dengan Ayahnya.

Langsung Tofi beranjak dari tempat itu setelah semua lumpur yang membaluti tubuhnya hilang dari pakaian. Dengan segera ia menuju pondok usang. Di atas pelataran terdapat sebotol air, lalu ia meneguknya agar dapat membasahi kerongkongan yang kering. Begitu pun dengan ayahnya.

Saat di pelataran mereka terdiam lesu. Tak ada sepatah kata pun mereka perbincangkan. Hanya terpaku menatap hasil kerja keras sembari mengatur tempo nafas, dan mendengarkan alunan kicau burung sebagai musik siang, ditambah dengan embusan angin sesekali menjumpai sehingga membuat sayup-sayup mata memandang.

Tak berselang begitu lama, langsung seketika terdengar merdunya lantunan suara adzan sehingga memecah kebisuan mereka berdua. Berkatalah Ayah kepada Tofi :

“Lah Pulang Awak Lai! Baok Kokang jo Kunci Masin tu Bagai…!”

Memang tak begitu banyak yang dapat Tofi kerjakan. Namun, bagi Ayahnya itu sudah cukup terbantu dengan tenaga Tofi. Sembari memberikan suatu pengajaran yang berharga. Kendatinya jangan sampai ia nanti bekerja seperti ayahnya sebagai seorang petani, dan juga ikut merasakan bagaimana susahnya mencari uang.

Namun, di usia muda tak banyak waktu yang dapat Tofi kumpulkan bersama teman sejawat, bermain bola, bahkan bersenda gurau seperti layaknya anak muda di usianya, lantaran tututan keluarga membuatnya harus selalu mengikuti semua kehendak orang tuanya.

Tofi sedari kecil jadi kaki tangan ayahnya, membantu pekerjaan kedua orang tua sehabis pulang sekolah hingga senja memasuki waktunya.

Jikalau libur, Tofi membantu di waktu fajar menampakkan sinarnya hingga malam menelan senja.

Tak semua kehendak orang tuanya dapat Tofi emban. Kendati Tofi masih anak muda labil, darah muda yang mengaliri tubuhnya begitu menggebu-gebu. Lingkungan di kalangan para anak muda di kampungnya yang suka huru-hara membuat Tofi iku-ikutan.

Memang, tabiat para kaum muda seperti itu, tak terlalu mengiraukan masa depan, hanya memikirkan hiruk-pikuk dunia yang sedang berkembang.

Namun, alangkah demikian bebasnya di kalangan kaum muda di kampung tak membuat Tofi seperti itu. Didikan orang tua membuat Tofi dibatasi, diawasi sedemikian ketat. Itu semua untuk kebaikan Tofi agar tak terjerumus ke dalam pergaulan bebas, agar nama baik keluarga tetap terpandang di masyarakat. Memang Orang Tua Tofi sangat dihargai dan dipandang di kampungnya.

Karena ia dibatasi dan diawasi, jatah waktu yang diberikan orang tuanya kepada Tofi hanya sampai pukul 11.00 malam. Seandainya melewati dari batas waktu yang sudah ditentukan Tofi akan menerima Daga Palinggam (Hukuman).

Pernah sekali Tofi tak mengindahkan aturan orang tuanya. Ia kelewat batas. Sudah cukup sering ayahnya memperhatikan gerak langkah Tofi yang tak tepat waktu. Tak bertanggung jawab dengan aturan yang telah ia sepakati dengan Ayah. Kendati akibat bujuk rayuan teman-temanya yang memaksa untuk tetap berlama-lama di tempat perkumpulan bersama kawan-kawan.

Sampai suatu ketika ayahnya mencari ke salah satu rumah yang biasa menjadi tempat perkumpulan para kaum muda. Sesampai ayahnya di sana melihat Tofi yang duduk memegang stick Playstation sembari berkata “pulang! (dengan Nada marah).

Langsung Tofi bergegas pulang, berjalan tetunduk lesu, sembari berpikir, “apa yang akan ayah lakukan padaku?”

Ya…!

Sesampai di rumah…

Tofi langsung disidang atas kesalahan keteledoran waktu yang telah disepakati. Suasana di meja makan itu seketika hening sembari ayahnya menatap tajam ke arah Tofi.

Tofi hanya tertunduk kaku, sembari berpikir dan bertanya dalam hati untuk kedua kalinya, “apo nan ka Ayah lakukan ka den. . .?”

Sontak Lamunan Tofi memecah akibat suara Ayahnya dengan lantang berkata:

“Lah jam baraa ko…?

“Ndak Bapikia ang…?

“Apo mode iko anak Sikolah…?

“Pulang Tangah Malam…?

“Lupo Jo wakatu…?”

Sejenak ayahnya terdiam, menunggu jawaban dari Tofi. Namun, Tofi hanya tertunduk kaku sembari menggerakkan tangannya menandakan kegelisahan yang dideritanya saat ini.

Seandainya diberi kesempatan, dia tidak akan mengulangi lagi, begitulah kata-kata yang sedang mondar-mandir di benaknya. Alangkah apa dayanya bibir tak sanggup berbicara.

Namun ayahnya berkata lagi:

“Wa ang den sikolahan supayo ang tu jadi URANG…

“Nan bisa ma agiah contoh ka adiak-adiak ang ka nan labiah elok,

“Bisa jadi urang nan paguno,

“Indak mode iko doh,

“Nan indak tau jo Wakatu,

“Nan lupo jo tangguang jawabnyo,

“Ka Jadi Pareman ang…?

“Alah barisi Paruik ang ko…?”

(Sembari ayahnya melatakkan pukulan ke perut Tofi sambil memutar-mutarkannya)

Seketika itu juga berlinang air mata Tofi, sampai tak terbendung dan menetes keluar. Tak banyak perkataan yang keluar dari mulut ayahnya, namun mampu menyayat batin Tofi.

“Rajin-rajinlah Sikolah…

“Buliah Jadi Urang Nan Paguno…

“mamakai Baju Nan Basandiang...

“Mamacik Tangkai Pena…

“Indak Mode Ayah doh…!

“Mamakai Baju nan Basandiang Tanah…!

“Mamacik Tangkai Tajak…!

“Kan lah ang Rasoan mah, baa raso e ka sawah…?

“Kok ang nak sikola juo,

“Mulai dari kini, ang dak buliah kalua malam doh, Sanang dirumah.

“lai jaleh dek ang tu…?”

“Lai yah” jawab Tofi sambil menganggukkan kepala.

Ayah Tofi terdiam, dan langsung beranjak meninggalkan Tofi sendirian dan pergi ke kamar untuk tidur. Karena besok pagi banyak pekerjaan yang harus dilakukan Ayah Tofi, begitu pun Tofi, ia beranjak pergi ke tempat pembaringan dan merenung hingga ia terlelap dengan kesedihan.

--

--

Fitra Hadi. H
carito kito

Percayalah kalian akan merindukan cerita hari ini, ketimbang cerita dikemudian nanti.