Dari Sastra ‘Ndeso’ Hingga Sains dan Sastra

Catatan Kaki
Catatan Kaki
Published in
3 min readMay 24, 2018

Rabu, 2 Mei 2018 pukul 15.30 WIB ada suatu hal yang berbeda di salah satu selasar KPFT. Selasar KPFT Barat. Sore itu menjadi penanda hari pertama terselenggaranya acara Bibliography. Sebuah talkshow menjadi agenda pembuka pada gelaran acara kali ini. Talkshow ini mengangkat tema “Sastra Ndeso : Santri, Dangdut dan Kata-Kata” dengan pembicara Eko Triono (penulis sekaligus dosen di salah satu universitas di Yogyakarta).

Pembahasan menjadi cukup melebar dan meluas karena keluar dari rencana awal untuk menghadirkan dua pembicara (yang salah satu pembicaranya merupakan penulis novel yang kental akan tema kehidupan pedesaan). Perkara sastra ‘ndeso’ hanya sempat disinggung di awal saja. Namun, ini bukan sesuatu yang perlu disayangkan. Bertepatan sekali dengan lokasi pembahasannya di Fakultas Teknik, UGM, apa yang dibahas kemudian menjadi menarik untuk kalangan yang bergelut di dunia sains, sastra ataupun keduanya.

Sains dan sastra di Indonesia memang seolah menjadi suatu hal yang berseberangan, berlawanan, bertolak belakang. Seakan tak ada titik temu untuk keduanya. Hal ini berdampak pula pada jarangnya ditemui karya sastra, kalau tak mau disebut tak ada sama sekali, yang bertemakan tentang sains.

Eko Triono menyatakan hal ini disebabkan oleh metode penulisan yang sudah berbeda. Yang satu kaku dan lainnya lebih fleksibel. Penulisan hasil riset sains menjadi salah satu contoh metode yang kaku tersebut. Penamaan dari mulai judul, pendahuluan, bab hingga daftar pustaka sudah harus seperti itu. Tak dapat diubah lagi. Lain halnya dengan sastra yang lebih bebas. Sehingga, bukan hal yang aneh apabila membaca paper, jurnal ataupun hasil riset sains terkadang cukup menjemukan.

Anggapan bahwa sebuah karya fiksi berisi suatu kebohongan pun menjadi masalah tersendiri. Orang-orang menjadi kurang dapat mengambil makna dari karya fiksi, bahkan bersifat antipati, karena sudah dicekoki bahwa fiksi merupakan suatu kebohongan. Padahal, fiksi dapat menjadi media untuk membangkitkan imajinasi manusia sejak dini. Genre sains fiksi misalnya, cenderung digemari di negara-negara yang cukup maju perkembangan teknologinya. Perkenalan dengan genre ini sejak dini setidaknya akan membuat imajinasi anak tumbuh dan memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi pula terhadap teknologi.

Sementara itu, desa, pada umumnya dianggap mengalami ketertinggalan teknologi. Oleh karena kehidupan mereka yang pada umumnya sangat sederhana dan dengan kegemaran yang sederhana, semisal mendengarkan musik dangdut. Namun dengan kondisinya yang seperti itu, sisi kemanusiaan mereka memiliki derajat yang lebih tinggi. Jangan menganggap bahwa masyarakat desa tak akan mampu menghadapi kemajuan ataupun tak ingin maju dalam hal teknologi.

Sastra, sains ataupun teknologi pada akhirnya adalah membicarakan mengenai kemanusiaan. Bagaimana semua hal tersebut dapat menumbuhkan rasa kemanusiaan yang tinggi pada diri seorang manusia. Dan pada akhirnya memang diperlukan kolaborasi dari ketiga hal ini. Jangan terus-terusan berjalan sendiri. Sehingga ilmu-ilmu sains dapat lebih popular. Dapat dimengerti semua kalangan. Hingga akhirnya dapat mendukung kesejahteraan manusia dan menumbuhkan kemanusiaan.

oleh: Wahdan Ahmad S.

--

--