OPINI

Merefleksikan Proses Membaca Kita

Sebuah opini tentang literasi: pemaknaan dan prosesnya

Catatan Kaki
Catatan Kaki

--

Dokumentasi Catatan Kaki

Kita sudah tak asing lagi dengan kata ‘literasi’, karena kata tersebut dapat kita temui entah di kampus, di linimasa akun media sosial, maupun di kebijakan atau program kerja dari suatu kelompok. Biasanya, literasi selalu disangkutpautkan dengan dunia perbukuan dan membaca, mengingat gerakan yang mengusung ini berangkat dari rendahnya minat baca dari anggota-anggota di komunitasnya. Namun, benarkah literasi hanya berkaitan dengan membaca buku atau, dalam lingkup yang lebih luas, membaca teks?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya makna literasi dijelaskan terlebih dahulu. Jika merujuk pada KBBI, memang salah satu definisi dari literasi ialah kemampuan untuk menulis dan membaca. Namun, ia memiliki definisi lain, yaitu pengetahuan atau keterampilan dalam suatu bidang atau aktivitas tertentu. Sehingga, melalui definisi kedua inilah kata literasi digunakan dalam ranah yang lebih luas seperti literasi media, literasi digital, literasi informasi, dan lain sebagainya.

Jika ia dicoba untuk dikaitkan dengan kegiatan membaca teks, maka literasi akan menyangkut ke dalam kualitas dari pengalaman membaca. Maksudnya ialah kemampuan seorang pembaca dalam mengambil dan mengkritisi makna, hikmah, atau pesan yang disampaikan di dalam teks. Lebih jauh lagi, pembaca tersebut dapat mengolah makna-makna dari berbagai macam teks tersebut untuk kemudian dicoba untuk direproduksi dalam kehidupan sehari-hari, entah dalam bentuk gagasan, tindakan, maupun tulisan. Hal inilah yang semestinya menjadi tujuan dari literasi.

Akan tetapi, kebanyakan dari kita menganggap makna literasi hanya sampai pada definisi pertama, yaitu sekadar membaca atau menulis. Memang, mustahil untuk memahami suatu teks tanpa membacanya terlebih dahulu, namun kita tidak pernah beranjak meningkatkan kualitas membaca kita. Kita sudah terlalu sering menempatkan proses membaca hanya sebagai hiburan semata, yang membuat kualitas diri, yang dapat mencakup wawasan, penalaran, kecakapan, pengendalian emosi, dan sikap toleransi, tidak meningkat secara berarti. Menjadi sesuatu yang ironis bila kita banyak membaca namun kualitas diri tetap stagnan.

Tampaknya, kontemplasi atau diskusi setelah membaca, entah melalui atau tanpa melalui tulisan, menjadi keharusan demi internalisasi hasil bacaan, yang dapat meningkatkan kualitas diri pembaca. Diskusi bukanlah ajang unjuk kesombongan bahwa kita telah membaca suatu judul, namun lebih seperti upaya mencari makna-makna baru dari suatu bacaan. Ini berimplikasi pula dengan penafsiran-penafsiran yang berbeda mengenai suatu buku semestinya dipertemukan dalam forum diskusi, bukan hanya diserahkan dalam diri masing-masing pembaca.

Terakhir, yang lebih penting, proses membaca hingga pasca-membaca mestilah mengikutsertakan sikap kritis, dan jika prosesnya benar, sikap kritis pun akan meningkat setelah melalui serangkaian proses tersebut. Sikap kritis ini penting, karena ia merupakan tabir yang memisahkan antara pembaca yang sungguh-sungguh dengan pembaca yang main-main.

Pembaca yang terakhir dapat diibaratkan seperti keledai pembawa buku, yang pergi terbebani dengan buku-buku yang tidak ia pahami. Langkahnya hanya mengikuti keinginan pengendaranya, si Penulis, tanpa tahu apa isi keinginannya. Keledai itu dapat dijual beserta buku-buku yang diangkutnya, juga dapat ditinggalkan apabila diserang, tanpa mengerti apa alasannya.

Semoga kita tidak menjadi keledai itu.

-Indrabayu S.

Referensi:
-Hasil perenungan dari kamar mandi

--

--