Tetralogi Buru : Sebuah Refleksi untuk Peran Perempuan Masa Kini

Liputan Jajak Literasi tentang Tetralogi Buru

Catatan Kaki
Catatan Kaki
5 min readApr 14, 2018

--

Pantikan oleh Mas Eko Prasetyo (dok: Catatan Kaki)

“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.” — Nyai Ontosoroh

Sebuah kutipan kalimat tersebut menjadi pembuka dalam acara Jajak Literasi di selasar KPFT Barat (15/03/2018). Sebuah ungkapan yang dilontarkan oleh Nyai Ontosoroh dalam percakapannya dengan Minke. Kutipan tersebut terdapat dalam salah satu novel yang terdapat dalam Tetralogi Buru-nya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Diskusi ini dipandu oleh Eko Prasetyo dari Social Movement Institute.

Tetralogi buru merupakan sebuah mahakarya dari salah satu penulis besar Indonesia. Banyak petuah yang dapat dipetik dalam novel ini. Mulai dari kolonialisme, humanisme, feminisime sampai perjuangan pergerakan nasional. Ya, novel ini memang sangat kental dengan nuansa-nuansa itu, menjadikan novel ini bacaan wajib Masyarakat Indonesia. Setidaknya tak melulu membaca penulis yang itu-itu saja.

Perempuan-perempuan dalam Jajak Literasi (dok: Catatan Kaki)

Sisi yang diambil dalam diskusi ini adalah mengenai tokoh-tokoh perempuan yang ada pada tetralogi buru ini. Tokoh-tokoh laiknya Nyai Ontosoroh, Annelies, Ang San Mei, Prinses Kasiruta, hingga ibu seorang Minke. Topik ini menarik untuk didiskusikan, terlebih dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret.

Tokoh-tokoh perempuan dalam tetralogi ini, banyak digambarkan oleh Pram sebagai sosok yang memiliki independensi yang kuat. Kutipan pada awal tulisan ini hanyalah salah satu contoh frasa yang dapat menggambarkannya. Berbeda dengan penggambaran novel-novel masa kini, di mana perempuan seolah-olah selalu berada di bawah laki-laki. Novel ini bisa menjadi sebuah pengingat bahwa sebenarnya, ide feminisme Indonesia sudah ada sejak zaman kolonialisme.

Nyai Ontosoroh menjadi tokoh perempuan yang cukup menarik perhatian. Dengan porsi yang cukup banyak pula pada tetralogi ini. Dengan pengalaman yang cukup kelam pada masa lalu-nya. Dijual oleh orang tua nya hingga harus hidup sebagai seorang Nyai. Membuatnya menjadi seorang yang berwatak cukup keras. Lewat didikan majikannya pula, Robert Melema, Nyai Ontosoroh mendapat banyak pengetahuan. Mulai dari Bahasa dan manajerial, diiringi kegiatan belajar dan membaca. Inilah ihwal yang membentuk independensi seorang Nyai Ontosoroh.

Dari Nyai Ontosoroh pula seorang Minke terbentuk pemikirannya. Beliau pula yang menyokong dana untuk kegiatan-kegiatan Minke. Setelah “ditinggal” majikannya, Nyai Ontosoroh memang benar-benar menjadi perempuan yang mandiri, perkasa, keras, dan kuat. Tokoh perempuan lain yang memiliki watak laiknya ia adalah Annelies, anak Nyai Ontosoroh. Di sisi lain, Annelies digambarkan pula sebagai tokoh yang menerima apa adanya dan tidak mampu untuk membela dirinya sendiri. Ihwal inilah yang membuat seorang Pram mendapatkan kritikan yang cukup tajam, dikarenakan dua penggambaran tersebut berkontradiksi satu sama lain.

Annelies merupakan istri pertama Minke. Watak dari seorang Annelies memiliki keunikannya tersendiri, dibalik perangainya yang halus dan kekanak-kanakan. Perempuan ini termasuk yang memiliki keterampilan yang banyak dalam bekerja. Hasil dari didikan ibundanya. Namun, kehidupannya yang dijauhkan dari teman sebayanya membuat seorang Annelies menjadi seorang yang penyendiri. Kesepian. Hingga mempunyai mental yang rapuh.

Perempuan lainnya dalam tetralogi ini juga menghiasi peristiwa dan cerita dalam tetralogi ini. Sekaligus memberi pengaruh juga terhadap tokoh-tokoh dalam tetralogi ini. Istri kedua Minke, Ang San Mei, merupakan seorang perempuan pejuang dari Tiongkok. Perannya bersama kelompoknya dalam memberantas sikap feodalisme kaum tua bangsa mereka, membuat kehidupannya terasingkan.

Laiknya seorang perempuan aktivis, kehidupan Ang San Mei banyak dicurahkan untuk kepentingan organisasinya. Banyaknya rapat yang harus diikuti, pulang larut malam, hingga melupakan kesehatan dan pribadinya. Bahkan setelah menikah dengan Minke, tak ada yang terlalu berubah dengan kehidupannya. Hingga akhirnya ia meninggal karena sakit-sakitan.

Prinses Kasiruta lain lagi. Sebagai putri seorang raja dari Maluku, watak dari putri ini mempunyai maskulinitasnya tersendiri. Jago dalam menembak menjadi salah satu keahliannya. Mengetahui perjuangan suaminya akan menghadapi berbagai ancaman dan kesulitan, ia memosisikan dirinya sebagai seorang pelindung bagi suaminya. Begitulah cara perempuan ini mengungkapkan rasa cinta dan penghormatan kepada suaminya.

Ibu dari Minke merupakan sosok yang sangat penyayang dan keibuan. Semua sifat garang, keras, pemberontak seorang Minke dihadapan ibu nya ini, semuanya seperti abu. Dengan kelembutannya, sang Ibu begitu menyayangi Minke. Dibalik dari semua itu, sosok sang Ibu merupakan seorang yang demokratis. Dia membebaskan semua pilihan hidup yang akan diambil oleh Minke dalam jalan perjuangannya.

Tokoh-tokoh perempuan lainnya, yang tampil dalam satu atau dua segmen juga memiliki penggambaran yang menarik. Mulai dari Surati, keponakan dari Nyai Ontosoroh yang bernasib sama dengannya. Namun, Surati tak menerima begitu saja dijual kepada Pli Kemboh. Dia pergi ke sebuah kampung yang sedang dilanda wabah sebuah penyakit yang sangat mematikan, terpapar virus penyakit tersebut, hingga paginya dia datang sendiri kepada Pli Kemboh. Menyerahkan diri. Sampai akhirnya Pli Kemboh mati karena tertular penyakit tersebut. Sebuah sikap yang cukup heroik dari seorang perempuan yang menentang perlakuan yang diterimanya.

Pembantu dari Minke juga menjadi seorang yang cukup ideologis. Lewat didikan dari majikannya, Prinses Kasiruta. Menjadi seorang anggota syarikat, hingga sang pembantu memiliki independensinya sendiri. Siti Soendari, seorang perempuan aktivis. Seorang orator ulung, pemimpin pergerakan wanita dan menjadi salah satu wanita yang mendapat pendidikan di masa awal pergerakan nasional. Sikapnya yang pemberontak menjadi keunikannya tersendiri karena dirinya sebenarnya mendapat didikan dalam kultur dan adat Jawa.

Dialog-dialog tokoh Minke dengan perempuan dalam tetralogi ini cukup natural. Lembut. Berbeda dengan dialognya dengan tokoh laki-laki yang cenderung lebih keras. Latar belakang sang penulis juga cukup mempengaruhi karya kepenulisannya ini. Khususnya dari sosok sang Ibu.

Pergerakan perempuan dalam sejarah perjuangan Indonesia memiliki peran yang sangat penting. Bahkan ketika perlawanan terhadap suatu kolonialisme masih dalam tahap perlawanan lokal. Tetralogi ini walaupun disebut sebagai sebuah karya fiksi, namun memuat nilai-nilai historis yang sangat padat. Bahkan banyak tokoh dalam novel ini merupakan seseorang nyata dalam dunia perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Gerakan feminis yang mulai ramai pada saat ini, sebenarnya memiliki akarnya sendiri di Indonesia. Perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan pada masa pergerakan nasional menjadi bukti. Kartini, Dewi Sartika, Siti Soendari, Nyai Siti Walidah, Rasuna Said, dan semua tokoh perempuan lain. Menjadi bukti bahwa dalam sejarah perjuangannya, perempuan memiliki panggungnya sendiri. Berdampingan dengan para pejuang lainnya, dalam kondisi yang setara.

Sudah selaiknya perempuan Indonesia masa sekarang menjadi seorang perempuan yang tangguh. Berintegritas. Memiliki independensi. Serta seseorang yang berpendidikan dan berwawasan luas. Perempuan yang memiliki harkat martabat yang tinggi. Tak mau diinjak-injak. Dan yang paling penting bisa menjadi seorang Ibu peradaban yang menjadi contoh pertama bagi anak-anaknya kelak!

Foto bersama peserta Jajak Literasi (dok: Catatan Kaki)

oleh: Wahdan Achmad Syaehuddin dan Habibah Auni

--

--