Review The Outpost

Dwiyan Budi Sulistyo
Celoteh Film

--

Sekelompok tentara Amerika yang berjaga di COP Keating dekat kota Kamdesh, Afghanistan harus mempertahankan pos jaganya setiap hari dari serangan random pasukan Taliban.

Awalnya, serangan random tersebut dapat diatasi dengan mudah oleh tentara Amerika tersebut hingga suatu hari, ketika pos jaga COP Keating akan ditutup, ratusan pasukan Taliban menyerbu para tentara Amerika tersebut dari segala penjuru dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai pertempuran paling sengit dan berdarah-darah bagi pasukan AS.

Drama perang memang selalu seru untuk disaksikan karena dari suguhan tersebut, sineas Hollywood banyak sekali menyuguhkan berbagai hal tragis selama perang termasuk soal persahabatan dan rela mati demi rekan seperjuangan.

The Outpost yang diadaptasi dari buku non-fiksi The Outpost: An Untold Story of American Valor karya Jake Tapper yang ditulis berdasarkan peristiwa nyata Battle of Kamdesh juga menyuguhkan hal serupa dengan film perang lainnya, namun dengan arahan yang sedikit berbeda.

Rod Lurie selaku sutradara menyajikan The Outpost bukan sebagai film perang seutuhnya melainkan lebih ke pengamatan terhadap aktivitas sehari-hari sekelompok tentara AS di pos jaga tersebut. Mulai dari obrolan ringan yang menjurus ke candaan kasar, rutinitas jaga hingga laporan ke pusat komando, semua ditampilkan secara natural.

Lurie bukannya tanpa alasan melakukan hal tersebut karena ia memang sengaja menjadikan berbagai interaksi dan aktivitas sehari-hari di pos jaga COP Keating sebagai bentuk penghormatan terhadap para tentara AS yang menjadi korban dari pertempuran berdarah dengan pasukan Taliban dan jujur saja, bagian tersebut dieksekusi dengan sangat baik.

Lalu, bagaimana dengan perangnya sendiri? Apakah cara bertutur Lurie yang berbeda lantas menjadikan The Outpost membosankan?

Sama sekali tidak. Justru Lurie sangat lihai menciptakan sebuah situasi yang sama sekali tidak dapat diduga. Lurie cukup sering menampilkan serangan dari pasukan Taliban secara tiba-tiba tanpa 'peringatan' terlebih dahulu dan momen serangan dadakan tersebut beberapa kali tampil mendominasi.

Hebatnya, meskipun terkesan repetitif, efek kejutnya tetap terasa. Pola penceritaan tentara-bersantai-lalu-pasukan-Taliban-menyerang yang disajikan berulang-ulang selalu mampu tampil intens. Ia sama sekali tidak pernah terasa mengendur.

Bahkan dari waktu ke waktu, atmosfer menegangkan hasil dari penggambaran tentara AS yang terpojok semakin terasa mengerikan. Cara Lurie mengarahkan film serta campur tangan bagian editing menjadikan The Outpost efektif dalam menciptakan atmosfer eerie namun masih tetap memiliki hati.

Aaaaati-ati kompor mleduk.

The Outpost juga sering sekali meng-cut sekuen pertempuran secara tiba-tiba lantas lanjut menuju adegan aktivitas sehari-hari. Cara film memainkan transisi perpindahan adegan yang tiba-tiba seperti itu memang terasa sedikit kasar di beberapa bagian namun hal tersebut sama sekali tidak mengurangi esensi dari guliran pengisahannya.

Bahkan, ketika film mulai memasuki third act, barulah ‘horor’ sesungguhnya dimulai dan pada third act itulah, The Outpost mulai bermain-main dengan ketegangan yang sebenarnya.

Pada paruh ketiga inilah, Lurie mulai banyak bermain-main dengan long take. Tiap karakter sentralnya memiliki momen long take-nya masing-masing. Bahkan, ketika film masih berkutat di second act, Lurie sudah memukau saya dengan teknik long take-nya yang menghasilkan mise-en-scène yang menawan sekaligus mengerikan.

Teknik long take-nya memang hanya memakan durasi sekira dua-tiga menit saja untuk beberapa momen namun meskipun cukup singkat, teknik tersebut ampuh menaikkan tensi ketegangan.

Sinematografinya juga semakin terbantu dengan gerak kameranya yang dinamis serta luwes dalam mengikuti kemanapun para karakternya bergerak. Pada titik ini, teknik pengarahan gerak kamera (yang juga meliputi brilliant close-up) memang menjadi senjata utama bagi Lurie untuk menciptakan suasana perang yang sanggup membuat saya menahan nafas.

Saya juga mengagumi cara film dalam mengambil gambar di area yang sempit. Beberapa kali kamera menyorot dari sudut yang sempit dan hal tersebut mengingatkan saya dengan Fury garapan David Ayer yang juga sering bermain-main dari sudut sempit untuk menciptakan nuansa klaustrofobik.

Hanya saja, aspek visualnya yang apik harus ternoda dengan lighting-nya. Setiap kali film beranjak menuju adegan di malam hari, jarak pandang menjadi terbatas. Saya tidak mampu melihat dengan jelas apa-apa saja yang muncul dan terjadi di layar.

Untungnya, hal tersebut tidak terlalu mengganggu karena film memainkan sebagian besar latar waktunya di siang hari sehingga visualisasi dapat ditampilkan dengan jelas. Nyaris tanpa gangguan.

Bayangkan kamu terjebak dan tidak bisa melarikan diri.

Sayangnya, meskipun gagah di sinematografi, Lurie sangat payah kala harus menangani karakterisasi tokoh-tokohnya. Beberapa nama, seperti Orlando Bloom hingga Scott Eastwood tampil tanpa kedalaman karakter yang memadai.

Orlando Bloom contohnya. Melihat karakter yang dimainkannya, film seolah-olah menyia-nyiakan kemampuan aktingnya. Tidak perlu meng-hire Orlando Bloom kalau hanya untuk memerankan karakter dengan eksplorasi yang dangkal dan juga screentime terbatas.

Saya curiga, pemilihan Orlando Bloom murni hanya untuk tujuan marketing saja karena bagaimanapun juga, Orlando Bloom masih termasuk hot asset Hollywood yang jelas akan memengaruhi orang-orang untuk menontonnya.

Scott Eastwood pun setali tiga uang dengan Orlando Bloom. Karakterisasinya dangkal. Untungnya, Eastwood masih mampu memainkan peranannya dengan kapasitas yang mumpuni untuk ukuran film drama perang.

Pembawaan karakternya yang santai dan optimis memberikan harapan tersendiri bagi film untuk terus berjalan hingga akhir. Namun, ada satu nama yang sangat mencuri perhatian saya di sepanjang durasi dan ia adalah Caleb Landry Jones.

Satu-satunya karakter yang mampu mencuri perhatian.

Sejak awal kemunculannya, tokoh Carter yang dimainkannya tampil sangat menarik. Ia digambarkan sebagai tipikal prajurit yang selalu telat saat dibutuhkan di medan peperangan, berbicara seenaknya dan memiliki sorot mata serta mimik wajah yang seakan-akan menyimpan ketidaksukaan dengan rekan-rekan lainnya.

Namun, semakin jauh film berjalan, karakter Carter justru semakin diperlihatkan sebagai tokoh penting dalam film, khususnya pada third act hingga klimaksnya yang menunjukkan kelihaian Jones dalam berakting terutama ketika harus berekspresi secara close-up dan ketika harus berlarian ke sana kemari dalam balutan teknik long take.

Saya benar-benar dibuat terdiam dengan permainan ekspresinya yang tampak sangat nyata. Bahkan menurut saya, Caleb Landry Jones menjadi satu-satunya aktor dari seluruh cast yang ada yang mampu menjadikan The Outpost tampil lebih bernyawa.

Dengan performa gemilangnya, The Outpost pun akhirnya juga mampu menyelipkan sedikit hati di dalamnya. Sesuatu yang sangat krusial dalam sebuah suguhan drama perang.

The Outpost mungkin bukanlah sebuah drama perang yang sempurna. Ia masih memiliki kekurangan di sana-sini. Bahkan, sekilas pandang, The Outpost tampil dengan kemasan layaknya B-movie. Terutama pada penggunaan visual effects CGI yang masih kentara sekali 'kepalsuannya' di beberapa bagian.

Namun, harus saya akui, The Outpost menyajikan sesuatu yang cukup berbeda. Sesuatu yang terlihat remeh namun mampu memberikan gambaran mengenai bagaimana aktivitas sehari-hari para tentara yang harus siap dengan serangan tak terduga setiap hari. Bravo.

Nilai: Bagus

Dwiyan Budi Sulistyo, Bekasi, 7 Juli 2020.

--

--