Design Thinking, Lean Startup, Agile, Design Sprint… Pilih yang Mana?

Retno Ika Safitri
Bikin Aja Dulu!
Published in
5 min readNov 3, 2018

--

Bingung!

Banyak orang yang merasa begitu ketika disodorkan berbagai metodologi inovasi, kerangka dan teknik kerja dalam pengembangan produk. Saya bisa pahami mengapa demikian, sih. Pertanyaan seperti: "Kenapa pakai Design Thinking? Kenapa nggak pakai Lean Startup saja yang lebih simpel?", "Kenapa ada lagi yang namanya Design Sprint? Apa bedanya?", "Apakah Lean Startup hanya untuk perusahaan startup?", "Kenapa pakai Agile? Kapan dipakainya?", "Apa yang mesti dilakukan setelah fase Design Sprint?" pasti sering sekali ditemui.

Bukan tidak mungkin, orang-orang yang bingung ini akhirnya malah tidak menggunakan semuanya dan kembali ke cara lama — dimana mereka sudah sangat nyaman menggunakannya, sekalipun lambat. Saya pun — dulu— begitu.

Tools Inovasi

Setelah mencoba keempat metode ini dalam perjalanan karir di beberapa startup terdahulu, saya jadi dapat menyimpulkan, keempat metodologi ini —Design Thinking, Lean Startup, Design Sprint, dan Agile — adalah kumpulan metodologi dan teknik yang bisa digunakan kapan saja. Semuanya memiliki value masing-masing dan dapat saling melengkapi, di dalam spektrum yang bernama Spektrum Inovasi.

Didalam spektrum ini terdapat siklus penciptaan inovasi yang biasanya dimulai dari eksplorasi ranah permasalahan yang masih sangat abstrak dan umum, dilanjutkan eksperimen dengan beberapa solusi sekaligus yang kira-kira memungkinkan, hingga akhirnya menemukan solusi konkret yang memiliki pasar yang spesifik.

Spektrum Inovasi

Dalam spektrum ini, terlihat bahwa masing-masing metodologi memiliki tempatnya masing-masing. Dan keempatnya dapat berjalan berbarengan, disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing perusahaan.

Model Bisnis

Ketika menemukan masalah yang terjadi berulang-ulang, seorang entrepreneur biasanya mampu melihat peluang bisnis disitu. Namun, aspek yang sering sekali diabaikan setelahnya adalah monetisasinya. Bahasa mudahnya,

Bagaimana menghasilkan uang dari solusi yang dibuat?

Dalam perusahaan konvensional, bisnis modelnya sebenarnya hanya itu-itu saja. Mudah untuk dipahami dan dijalankan. Namun untuk perusahaan startup maupun yang berpotensi disruptif, sangat perlu untuk melakukan eksperimen dan validasi berkali-kali hingga menemukan formula yang tepat, yang win-win solution baik bagi pemilik bisnis maupun konsumen/pengguna.

Metodologi Inovasi

Design Thinking

Siklus Design Thinking

Metodologi ini tepat untuk dijalankan ketika kita sebagai pemilik ide bisnis perlu memahami secara lebih baik dan mendalam ranah masalah tersebut dan mengidentifikasi kira-kira siapa sajakah konsumen awal atau early adopter nya. Ada banyak sekali teknik-teknik didalam metodologi Design Thinking ini, dimulai dari fase pertama yaitu membagi-bagi masalah menjadi bagian yang lebih kecil dan mengumpulkan beragam informasi dari target konsumen, diikuti dengan mengumpulkan kembali informasi-informasi ini melalui klusterisasi dan kemudian mengidentifikasi poin-poin hambatan utama (key pain points), dan masalah maupun hal-hal yang harus diselesaikan. Fase kedua dimulai dari ideasi sejumlah potensi solusi sebelum membuat purwarupa dan menguji sebagian besar ide yang menjanjikan. Pada umumnya, Design Thinking ini berfokus pada informasi / insights kualitatif ketimbang kuantitatif.

Lean Startup

Siklus Lean Startup

Perbedaan utama dengan Design Thinking yang terlihat jelas dari metodologi ini adalah biasanya si entrepreneur sudah memahami betul ranah permasalahan yang ingin diselesaikan. Namun, semua ide yang dihasilkan dianggap sebagai asumsi atau hipotesa yang perlu divalidasi atau dibuktikan, sehingga pemahaman terhadap ranah masalah itu sendiri pun termasuk asumsi semata hingga nanti terbukti. Metodologi Lean ini dimulai dari memetakan asumsi menggunakan kanvas yang fokus pada pengguna, dan kemudian menentukan prioritas lalu melakukan validasi permasalahan sesuai dengan skala prioritas yang dibuat, dimulai dari solusi dengan resiko tertinggi yang berpengaruh pada seluruh produk. Proses untuk melakukan validasi asumsi adalah dengan mulai mengembangkan fitur dasar, kemudian melakukan pengujian dari situ —yang dilengkapi dengan metriks-metriks yang harus diukur — dan mempelajari apakah asusmsi atau hipotesa kita masih berlaku.

Lean menggunakan informasi kualitatif sejak awal, namun di akhir siklus memaksa kita untuk menentukan data kualitatif yang bisa ditindaklanjuti agar dapat mengukur seberapa efektif solusi yang dibuat, dan apakah strategi pertumbuhan (growth) yang dibuat sudah sesuai. Di dalam metodologi Lean ada teknik bernama "Get out of the building" yang diartikan sebagai kegiatan untuk berkomunikasi dan mendapatkan umpan balik / feedback langsung dari pengguna yang sesuai target. Namun, teknik ini sebenarnya juga ada di tiga metodologi yang lain, hanya berbeda nama saja.

Design Sprint

Siklus Design Sprint

Akar kemunculan dari metodologi yang diciptakan oleh Google Ventures (GV) ini sebenarnya ada dalam teknik yang dicantumkan dalam buku Lean UX yang disusun oleh Jeff Gothelf. Kekuatan utama yang dimiliki Design Sprint terletak pada teknik berbagi insight, ideasi, pembuatan purwarupa dan pengujian yang dilakukan dalam waktu 5 hari saja. Dalam jangka waktu pendek, ia hanya berfokus pada sebagian kecil solusi yang bisa diciptakan. Namun sejatinya, ia adalah cara terbaik dan tercepat untuk mengetahui apakah kita berada di jalur yang benar atau tidak — sebelum menghabiskan sumber daya yang terlalu besar.

Agile

Siklus Agile

Metodologi ini sebenarnya lebih tepat untuk dijalankan dalam pengembangan produk, dimana ia pun merupakan cara yang tepat untuk menghadapi ketidakpastian. Kita tidak perlu memberikan spesifikasi detail di awal tentang produk yang akan dibuat, karena sebenarnya didalamnya pun masih banyak asumsi dan ketidakpastian. Agile adalah cara terbaik untuk bangun-ukur-pelajari dan memvalidasi asumsi sambil mengembangkan MVP (Minimum Viable Product). Namun setelah itu kita harus mendefinisikan dan membuat prioritas hal-hal yang akan dikerjakan dalam satuan sprint, yaitu per 2 minggu, termasuk rilis fitur dan pengujian dalam sprint yang sama.

Kesimpulan

Mungkin penjelasan ini bukanlah penjelasan yang Anda harapkan. Namun sebenarnya tidak ada aturan yang rinci dan jelas untuk kapan dan darimana memulainya. Dan karena terjadi tumpukan atau overlap yang signifikan antar tiap metodologi, maka wajar jika ada orang yang mengklaim bahwa metodologi [x] lebih baik dari [y].

Bagaimanapun juga, setiap metodologi yang sudah saya bahas diatas adalah tools yang bisa dipakai kapan saja dan masing-masing membawa nilainya sendiri. Terserah pada tim Anda untuk memilih menjalankan metodologi mulai dari yang mana dan kapan harus menggunakan metodologi lain dengan teknik-teknik yang lebih sesuai. Yang terpenting yang perlu diingat adalah,

Jangan pernah terlalu mencintai solusi yang kita ciptakan, dan selalu ingat untuk mendengarkan umpan balik konsumen baik kualitatif maupun kuantitatif.

Spektrum Inovasi

Beberapa buku bagus yang dapat Anda baca: Lean Startup, Creative Confidence, Lean UX, Sprint, dan Running Lean.

Retno Ika Safitri adalah Mitra Pendiri dan Ahli Strategi Produk di Chloe & Matt Indonesia, konsultan desain dan strategi produk yang berpusat di Bali, Indonesia. Ikuti Retno di Instagram @retnoika.s dan laman FB nya.

--

--

Retno Ika Safitri
Bikin Aja Dulu!

Chief of Product in Tanibox. COO of All Trades Digital, Managing Talented Designer at Pixeltroops. Based in Tallinn and Bali.