KEBODOHAN, PENYESALAN, TANGISAN

Indonesia

Ryan
Cerita Melewati Batas
8 min readFeb 22, 2014

--

Suara mobil terdengar memasuki garasi rumah. Ryan segera keluar dari mobil dan menuju pintu depan. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir dari keningnya, jantungnya berdegup kencang, badannya terasa berat dan tangannya masih saja bergetar tidak berhenti sehingga untuk memasukkan kunci kelubang pintu saja terasa sulit.
Setelah beberapa lama pintu berhasil dibuka. Ryan pergi kedapur, membasahi kepalanya dengan air di wastafel begitu lama seperti banyak kotoran menempel di kepalanya dan dia berusaha membersihkannya sebersih mungkin. Ryan berhenti, tangannya bertumpu pada westafel. Terlihat butir-butir air jatuh dari atas kepalanya, nafasnya tersengal-sengal. Pikirannya masih kacau, kejadian yang Ryan alami saat pulang tadi masih terbayang dengan jelas meski Ryan membasahai kepalanya dengan air sebanyak apapun bayangan kejadian tadi tidak akan luntur dan mengalir jatuh bersama air- itu.
Tenggorokan Ryan begitu kering bahkan tidak ada sedikit pun air liur yang bisa ditelannya. Segelas air mungkin bisa membantunya. Dituangnya air kedalam gelas. Tangannya masih saja bergetar membuat gelas dan tempat air ditangannya ikut begetar dan menimbulkan suara yang tidak beraturan. Sedikit demi sedikit air itu masuk kedalam tenggorokannya dan sebagian jatuh kebawah membasahi baju dan lantai karena gelas yang bergetar di tangannya.
Ryan berbaring di sofa, lengan kanannya ditaruh diatas matanya, mecoba menutup matanya dan menenangkan diri. Wajah pucatnya mulai memudar, nafasnya mulai kembali teratur tapi jantungnya masih berdegup kencang. Ryan mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu.
*****
“Woi, masih kerja aja!” seru Andro sambil menepuk pundakku dari belakang.
“Ah elo Ndro, bikin kaget aja”
“Hahaha, udah waktunya pulang ini”
“Bentar lagi Ndro, tinggal dikit ini, lagian ini hari terakhir gua kerja disini” kataku sambil terus menekan tombol keyboard.
“Hah, jadi bener lo dipromosiin ke kantor pusat ?”
“Iya, Ndro”
“jadi kapan lo berangkat ke Jakarta ?”
“Pesawat gua berangkat malam ini jam setengah sepuluh”
“berarti besok nggak bakal ketemu lo lagi,” keluh Andro “gimana kalau kita buat acara perpisahan ?!” serunya.
“Hah perpisahan ? nggak usah deh, gua selalu lupa waktu kalo pergi dengan kalian nanti malah ketinggalan pesawat, nggak jadi pergi gua”
“Yaelah, bentar aja, gua jamin nggak bakal telat lo berangkat,” Andro berusaha meyakinkanku “Oke ya ?” paksanya.
“Iya deh, buat sahabat apa yang nggak gua lakuin” jawabku lesu.
“Sip, gua kasih tau anak-anak dulu” Andro segera pergi meninggalkanku, aku yakin dia pasti pergi berkeliling kantor dan mengajak semua orang untuk ikut dengan acara yang dibuatnya.
Aku masih melanjutkan sisa pekerjaanku dan tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Handphoneku bergetar, kulihat ada panggilan dari Andro.
“Halo yan !” Serunya “Dimana lo ? gua sama anak-anak udah di parkiran nungguin lo, buruan turun.”
“Oh, oke” kututup telepon.
Kumatikan komputer dan membereskan barang-barangku yang tersisa di meja untuk dimasukkan dalam kardus. Aku turun menggunakan lift dan segera menuju parkiran. Benar saja, sesampainya di parkiran kulihat Andro dan teman-teman yang lain sudah menunggu. Aku pun berjalan mendekati mereka,
“Cuma kita-kita aja Ndro ?” tanyaku heran “Kayak homo kita”
“Hahaha tenang aja, ada dua orang lagi tapi lagi ke toilet”
“Siapa ? biasanya juga cuma Dewi yang mau ikut kita”
“Karin” jawab Andro sambil menyalakan rokoknya.
“Hah serius lo!” aku kaget, “Kok bisa lo ngajak dia ?”
“Dewi yang ngajak, gua bilang aja ini acara perpisahan buat lo dan gua suruh dia ngasih hadiah kenangan buat lo,” Andro menghisap rokoknya dan mengeluarkan asap putih tebal dari mulutnya “Eh dia malah ngajak Karin.”
Aku hanya diam mendengar penjelasan Andro dan membalasnya dengan tatapan yang seolah berkata “Oooh gitu...” padahal dalam hati aku sangat senang.
“Tuh anaknya” Andro memberi isyarat mata menunjuk dua wanita yang mendekati kami.
“Hai, Ryan” sapa Dewi.
“Hai, Dewi,” aku tersenyum “Hai Karin”
Karin hanya membalas senyumanku.
“Jadi mau kemana kita malam ini ?” tanya Dewi
“Nggak tahu, kan si Andro yang punya rencana, gua ikut aja” jawabku.
“Udah tenang aja, ikut gua aja” sela Andro sambil memberi isyarat semua untuk naik ke mobilnya “Oh iya yan, si Karin naik mobil lo ya, mobil gua cuma cukup buat lima orang, mana pantat si Dewi gede jadi tambah sempit mobil gua”
“Dih gedean juga perut lo Ndro” balas Dewi.
“Hah, Karin sama gua berdua ? nggak salah !” balas ku, dalam hati.
“Hahaha, nggak apa-apa kan Rin ?” Tanya Andro.
“Oh, yaudah nggak apa-apa” jawab karin dengan suara lembut dan senyum manisnya.
Andro dan yang lain masuk kedalam mobil. Aku dan karin berjalan menuju ke mobilku yang diparkir tidak jauh dari mobil Andro. Aku membukakan pintu dan mempersilakan Karin untuk masuk mobil dahulu, saat aku berjalan menuju pintu kemudi sebuah SMS masuk dari Andro.
“Anggap aja itu hadiah dari gua :D” isi SMS Andro. Aku tersenyum membacanya, sahabatku ini memang tahu cara membuat aku senang.
Aku memang suka dengan Karin (semua orang di kantor juga suka) tapi mungkin aku adalah orang pertama yang bisa duduk bersebelahan dengannya, di Mobil. Selama perjalanan aku diam saja. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan untuk membuka pembicaraan dan tanpa kuduga Karin yang memulai pembicaraan. Aku hanya menjawab seadanya pertanyaan yang diberikan Karin yang mungkin membuat dia kesal dan diam. Akhirnya sepanjang perjalanan aku dan Karin hanya terdiam, bukannya aku tidak ingin mengobrol tapi aku tidak tahu harus memulai apa karena aku terlalu gugup berada disebelahnya.
***
Bodohnya aku ! kenapa aku malah memikirkan Karin. Seharusnya aku memikirkan orang yang baru saja kulukai. Apakah dia baik-baik saja ? bagaimana jika tidak ? Oh tidak ! Polisi akan mencariku jika orang itu mati tapi mungkin aku yang akan mati jika aku menolong orang itu.
Ryan masih berbabring di sofanya. Menutup matanya sekuat mungkin mencoba menahan air matanya untuk keluar saat mengingat orang yang baru saja dilukainya. Terdengar suara geraman dari mulutnya mencoba keluar dan berteriak tapi Ryan menutup mulutnya dengan merapatkan bibir dan gigi-giginya tapi itu semua hanya sementara.
Tangis pecah dalam ruangan itu, air mata yang terbendung keluar dengan bebasnya, mulutnya tidak mampu lagi menahan suara tangis penyesalan atas tindakan bodohnya dan kejahatannya. Ryan terduduk tertunduk tangannya saling menggenggam begitu erat seperti ada hal buruk yang disinpan didalamnya dan tidak ingin dikeluarkan.
***
“Kamu mau pesan apa Rin” tanyaku kepada Karin sambil melihat-lihat menu, saat kami sudah berada di sebuah restoran bersama teman-teman yang lain.
Kali ini aku memberanikan diri, aku akan mencoba untuk lebih dekat dengan Karin. Aku tidak ingin kesempatan malam ini kulewatkan dan akan kusesali besok pagi.
“Aku pesan ini saja” jawab Karin sambil menunjuk gambar steak yang ada dimenu.
Makan malam ini terasa seperti hanya kami berdua, aku dan Karin duduk bersebelahan. Teman kantorku yang ikut sepertinya sudah merencenakan semua ini, membuat aku duduk di ujung meja disamping Karin. Selesai makan kami semua berbincang-bincang membahas tentang kepindahanku dan masa lalu yang pernah kurasakan bersama mereka saat di kantor. Membuatku mengenang kembali saat-saat indah yang telah kudapat bersama mereka dan yang akan hilang. Tawa lepas kami meramaikan restoran tidak ada habisnya dan rasanya tidak ingin kuakhiri.
Untuk sesaat kami semua terdiam, habis cerita dan mencari cerita baru dan Kuiisi kekosongan waktu itu untuk memeriksa Handphone.
7 Missed Call
5 New Message
Aku terkejut melihat pemberitahuan pada Handphoneku, penasaran aku buka semua pemberitahuan. Kulihat ada panggilan tidak terjawab dari Ayah lalu kubuka pesan masuk dan Ayah juga pengirimnya. Kubuka sms tersebut satu persatu,
“Kamu dimana ? sudah jam berapa ini ? kamu jadi pergi kan.” Aku baru ingat dengan rencana keberangkatanku, segera kulihat jam tanganku menunjukkan pukul sembilan malam dan pesawat berangkat pukul setengah sepuluh. Aku akan terlambat pikirku. ***
“Ayah !,” Ryan teringat sesuatu “Aku harus cerita sama Ayah”
“Tidak ini masalahku! Aku akan mengurusnya sendiri” Ryan mencoba untuk tidak terus menyesal dan mulai berpikir bagaimana cara untuk menyelesaikan masalahnya.
“tapi apa yang harus kulakukan ?” Ryan memegangi kepalanya begitu kuat, menahannya agar tidak meledak dan menaburkan isi kepalanya yang berisi jawaban-jawaban tidak berguna dan hanya membuat dia semakin terpojok dalam situasi ini.
“Aaarrrrgggghhhh !!!” Ryan menggaruk-garuk kepalanya.
“Tidak bisa! Aku harus bicarakan ini dengan ayah, dia pasti punya jawaban yang lebih baik”
***
“Ryan mau k mana ?” tanya Karin saat melihatku sudah mulai membereskan barang.
“Aku harus mengejar pesawat, kalau tidak aku akan ketinggalan”
“Mau kemana lo yan ?” seru Andro yang melihatku.
“Gua mau balik, beresin barang lanjut berangkat”
“Baru jam berapa ini Yan”
“Coba lo liat jam, udah jam berapa, bakal telat gua kalo gini” jawabku ketus.
Andro melihat jam tangannya, “Eh, sorry yan, gua lupa lo berangkat jam setengah sepuluh,”
“Karin sorry ya nggak bisa antar kamu pulang” kataku
Karin tersenyum “Nggak apa-apa yan, buruan nanti telat beneran.”
Aku segera pergi meninggalkan mereka, menyalakan mobilku dan melaju.
***
“Ayah! Ayah!” Ryan sibuk mencari ayahnya untuk membantunya menyelesaikan masalahnya.
“Ayah ! Ayah dimana ?” tapi dia tidak bisa menemukannya.
***
Dalam perjalanan pulang Aku berusaha menelpon ayahku untuk meminta tolong agar bisa menyiapkan barang-barang yang akan kubawa, “Ayah dimana ! Ayo angkat teleponnya !” tapi tidak ada jawaban.
“Lagi apa ayah ini susah benar ditelepon! Pasti disilent Hp-nya, kebiasaan benar !” gerutu Ryan.
Aku mulai kesal dan membenturkan HP yang kupegang pada setir dan tidak sengaja HP itu jatuh kebawah setir. Aku berusaha mengambilnya dengan meraba-raba bagian bawah mobil dengan tangan kiriku tapi Aku tidak berhasil menemukannya. Kuhidupkan lampu mobil diatas kepalaku lalu menunduk dan mulai mencarinya kembali dengan mataku. Tidak butuh waktu lama, aku berhasil menemukan HP itu dan saat aku bangkit dan mataku kembali ke jalan, tiba-tiba...
***
“TUK!TUK!TUK” terdengar ketukan di pintu depan.
Ryan yang masih mencari Ayahnya mendengar ketukan tersebut dan bergegas menuju pintu depan, siapa tahu itu ayah pikirnya.
Ryan membuka pintu. Terlihat dua orang polisi lalu lintas dengan rompi hijau sedang berdiri dihadapannya.
“Selamat malam Pak, apa benar ini rumah bapak Baskoro ?” tanya polisi itu dengan tegasnya.
“I...iya benar pak ... ada apa ya ?” terdengar suara takut dan cemas dalam kata-kata yang Ryan ucapkan, bukan takut atas kesalahan yang telah dia perbuat tapi takut akan kemungkinan terburuk yang tidak pernah Ryan duga atas kesalahan yang telah dia perbuat.
“Maaf pak, anda siapanya ya ?” polisi itu kembali bertanya.
“Saya anaknya.”
Kedua polisi itu saling menatap muka, ada sesuatu yang ingin mereka sampaikan tapi mereka seperti sulit untuk mengatakannya.
“Kami menemukan ini di dompet Pak Baskoro,” Kedua polisi itu menunjukkan KTP milik Ayahnya Rya”dan kami ingin memberitahukan bahwa Bapak Baskoro baru saja menjadi korban tabrak lari.”
“Huh !!!” apa yang Ryan takutkan sepertinya menjadi kenyataan “Ayah saya.. ti..tidak apa-apa kan pak ?”
“Kami tidak tahu kondisinya sekarang, yang kami tahu ayah anda masih hidup”
“Fiuuuh” sedikit kekhawatiran terlepas dari hati Ryan “Sekarang Ayah saya ada dimana ?”
“Kami bisa mengantarkan anda ke Rumah Sakit setelah anda ikut kami sebentar ke kantor untuk dimintai keterangan”
***
Aku sekarang berada kantor polisi untuk dimintai keterangan. Salah seorang saksi mata yang melihat kejadian itu melihat plat mobilku dan mencatatnya. Aku tidak bisa mengelak lagi bahwa aku adalah pelaku tabrak lari dan orang yang sudah menabrak ayahku sendiri lalu pergi melarikan diri tanpa menolongnya. Kujelaskan semua kejadian itu di kantor polisi dengan penuh penyesalan. Berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk dan aku akan terbangun esok pagi melihat secangkir kopi panas, koran pagi, dan senyum “Selamat pagi” dari ayah, tapi itu tidak mungkin.
Ayah sekarang terbaring di kasur putih, matanya terpejam dan tanpa ekpresi, hanya sebuah alat disampingnya yang memberitahuku bahwa ayah masih hidup. Aku tidak bisa menahan air mataku melihat ayahhku yang kepala, tangan dan kakinya penuh perban akibat perbuatanku. Aku menangis mengingat kebodohanku, seandainya aku tidak lupa diri dan waktu maka ayah tidak perlu bertindak bodoh dengan kebaikan dan perhatiannya kepadaku dan keluar malam itu untuk menemuiku membawakan semua keperluan untuk kepergianku.
Aku menangis, menangis dalam sunyi, membiarkannya tertidur dan bermimpi dengan indah lebih lama lagi agar ayah tidak perlu merasa penderitaan dari perbuatanku. cukup aku, cukup aku saja yang merasakan, untuk saat ini.

--

--