Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Pembangunan Berkelanjutan

Cerita Publik
cerita-publik
Published in
6 min readMay 28, 2019

Latar Belakang Pelaksanaan KLHS

Konsep Pembangunan Berkelanjutan saat ini menjadi perhatian utama dalam berbagai proses perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan. Setidaknya, terdapat tiga pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dalam kerangka pembangunan, ketiga pilar ini dilengkapi pula oleh pilar hukum dan tata kelola kelembagaan. Terkait lingkungan, pemanfaatan lingkungan yang berkelanjutan — sejalan dengan amanat konstitusi yang tertera pada Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat [1]. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan menuntut adanya upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh oleh semua pemangku kepentingan. Oleh karena itu, melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk menjamin telah dijadikannya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai dasar dalam perencanaan dan penyusunan kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP) [2].

Definisi KLHS dan Perbedaannya dengan AMDAL

Dalam UUPPLH, KLHS didefinisikan sebagai analisis sistematis, menyeluruh, dan partisipatif yang bertujuan menjamin bahwa prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam proses pembangunan daerah dan penyusunan KRP [2], di antaranya KLHS pada umumnya dilakukan untuk penyusunan dan/atau peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Pembangunan (RPJM dan RPJP) Daerah.

Pada dasarnya, KLHS — yang istilahnya dalam bahasa Inggris adalah Strategic Environmental Assessment (SEA)– bukanlah konsep baru dalam pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sebelum didorongnya pelaksanaan KLHS, bentuk kajian terhadap lingkungan (Environmental Assessment) yang lebih dikenal dan digunakan adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau dalam bahasa Inggris Environmental Impact Assessment (EIA).

AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan [2]. KLHS mulai diwajibkan salah satunya untuk merespon kebutuhan analisis lingkungan yang lebih global dan mempertimbangkan efek kumulatif dalam penyusunan KRP. Partidário (1999) merumuskan kekurangan AMDAL, sebagai instrumen pengkajian lingkungan, antara lain [3]:

  1. Waktu pengambilan keputusan. AMDAL berlangsung pada tahap yang dapat dikatakan sudah terlambat untuk mempertimbangkan dampak kebijakan dan merencanakan keputusan. AMDAL terjadi tanpa adanya penilaian dampak sistematis yang hasilnya dapat mempengaruhi perencanaan dan desain proyek/kegiatan.
  2. Sifat keputusan. AMDAL merupakan instrumen yang bersifat lebih teknis. Sementara itu, dalam pembangunan nasional diperlukan alat penilaian dampak yang pada dasarnya dapat diadaptasi untuk tingkat pengambilan keputusan yang lebih strategis dan bertahap.
  3. Tingkat informasi. Pada tingkat kebijakan dan perencanaan seringkali ada keterbatasan dalam ketersediaan informasi. AMDAL membutuhkan tingkat informasi dan kepastian yang lebih mendetail, sehingga seringkali menyulitkan pemerintah daerah dalam melaksanakan analisis dan implementasinya.

Pada Seminar Internasional SEA tahun 1998 dirumuskan bahwa tujuan dan sasaran SEA, di antaranya [4]:

  1. KLHS membantu mencapai perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan melalui peringatan dini efek kumulatif KRP.
  2. KLHS berperan memperkuat AMDAL dengan mengurangi waktu dan upaya yang diperlukan untuk melakukan tinjauan pada skala proyek/kegiatan; serta menyediakan identifikasi pendahulu mengenai ruang lingkup dampak potensial dan kebutuhan informasi.
  3. KLHS mampu mengintegrasikan aspek lingkungan ke dalam pengambilan keputusan khusus yang bersifat sektoral.

Mekanisme Pelaksanaan Penyusunan KLHS

Tahapan atau tata cara penyusunan KLHS untuk RTRW maupun RPJMD, oleh Pemerintah Daerah di Indonesia, telah diatur di dalam:

  1. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 69 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian lingkungan Hidup Strategis.
  2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 07 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaksanaan dalam Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Penyusunan KLHS untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Berdasarkan Permenlhk Nomor 69 Tahun 2017, Pasal 7–8, penetapan KRP yang wajib dilaksanakan KHLS dilakukan dengan cara penapisan, yang melalui tahapan (1) identifikasi lingkup wilayah pengaruh KRP berdasarkan cakupan ekosistem dan ekoregionnya, (2)menguji muatan KRP terhadap kriteria dampak dan/atau risiko lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, yang meliputi (namun tidak terbatas pada) perubahan iklim; keanekaragaman hayati; intensitas dan cakupan wilayah bencana; sumber daya alam; fungsi kawasan hutan dan/atau lahan; penduduk miskin dan keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia [5].

Pembuatan dan pelaksanaan KLHS untuk RTRW dilakukan melalui mekanisme:

  1. Persiapan Sumber Daya Pembuatan dan Pelaksanaan KLHS, mencakup tim/kelompok kerja KLHS dari dinas-dinas terkait, terutama lingkungan hidup; serta data dan informasi yang mendukung analisis KLHS.
  2. Pengkajian Pengaruh KRP terhadap Kondisi Lingkungan Hidup, yang meliputi identifikasi dan perumusan isu pembangunan berkelanjutan serta identifikasi dan analisis pengaruh/risiko muatan KRP yang berpotensi menimbulkan pengaruh terhadap kondisi lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Dalam tahapan ini dilakukan identifikasi dan analisis kerangka kebijakan yang relevan dengan kebijakan penataan ruang serta identifikasi dan perumusan faktor penting pembuatan keputusan (Critical Decision Factors — CDF). Tahapan ini pada akhirnya akan menghasilkan isu strategis dan isu prioritas.
  3. Perumusan Alternatif Penyempurnaan KRP.
  4. Penyusunan Rekomendasi (Perbaikan) untuk Pengambilan Keputusan KRP.
  5. Penjaminan Kualitas, Pendokumentasian, dan Validasi KLHS.

Penyusunan KLHS untuk Rencana Pembangunan Daerah (RPD)

Mengacu pada Permendagri Nomor 7 Tahun 2018, Pasal 3, tahapan penyusunan KLHS untuk RPJMD secara umum meliputi pembuatan dan pelaksanaan, penjaminan kualitas dan pendokumentasian, dan validasi KLHS [6].

  1. Pembentukan Tim/Kelompok Kerja Pembuat KLHS. Tim ini terdiri dari anggota yang memenuhi standar kompetensi berupa kriteria ketepatan keahlian pada isu yang dikaji dan pengalaman di bidang pembuatan dan pelaksanaan KLHS atau kajian sejenis.
  2. Pengkajian Pembangunan Berkelanjutan/Perumusan Isu Strategis. Kajian ini meliputi tahap analisis data, konsultasi publik, dan penetapan isu. Identifikasi isu strategis dilakukan dengan melihat kondisi saat ini dan pencapaiannya terhadap target. Analisis isu biasanya ditinjau dari (namun tidak terbatas) kondisi lingkungan hidup (kajian 6 muatan KLHS, lihat Pasal 13 PP 46/2016), isu strategis RPJMD (dapat berupa rancangan awal/dokumen teknokratik), visi misi kepala daerah, dan capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals.
  3. Perumusan Skenario dan Rekomendasi Pembangunan Berkelanjutan. Tahap ini untuk merumuskan alternatif atau proyeksi kondisi capaian di beberapa tahun mendatang serta memberikan rekomendasi kebijakan dan arahan program yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan isu/permasalahan yang ada. Pada tahapan ini juga dilakukan konsultasi publik.
  4. Penjaminan Kualitas, Pendokumentasian, dan Validasi. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memastikan telah tepatnya proses pembuatan maupun isi KLHS RPJMD, serta telah diintegrasikannya rekomendasi KLHS ke dalam RPJMD.

Dalam rangkaian penyusunan KLHS, baik untuk (namun tidak terbatas pada) RTRW maupun RPJMD, terdapat kegiatan Konsultasi Publik/Uji Publik yang dilakukan khususnya pada tahap perumusan isu strategis dan perumusan skenario dan rekomendasi. Konsultasi/Uji publik ini dilakukan untuk memastikan bahwa dalam penyusunan KLHS sudah melibatkan pemangku kepentingan dalam pembangunan daerah (asas partisipatif).

Referensi:

[1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[2] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

[3] Partidário, M. R. (1999). Strategic Environmental Assessment — principles and potential, ch 4, in Petts, Judith (Ed.), Handbook on Environmental Impact Assessment, 60–73. Blackwell, London.

[4] Sadler, B. (1998). Report on the International Seminar on SEA. Lincoln: UK-DETR.

[5] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 69 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian lingkungan Hidup Strategis.

[6] Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 07 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaksanaan dalam Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

--

--

Cerita Publik
cerita-publik

An accessible and easy-to-digest digital content about public sector.