Anomali Yogyakarta: Kebahagiaan dalam Prasejahtera

HMGP Citrakara Mandala UGM
Citrakara Mandala
Published in
6 min readJun 22, 2024

Penulis: Khalisa Ardhi Dhayinta, Novia Layla Handi, Aflah Aulya Rachmi
| Divisi Riset dan Keilmuan
Kabinet Prakarsa Nirmana HMGP UGM 2024

Seorang wanita sedang mempersiapkan gerobak angkringan di atas trotoar jalan.
Gambar 1 Penjual Angkringan (Dipotret oleh Farhan Abas dalam Unsplash)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kebutuhan dasar yang menjadi hak seseorang atau sekelompok orang meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik.

Pembangunan dalam segala aspek di Indonesia masih menghadapi masalah besarnya angka kemiskinan. Kemiskinan ditandai dengan rendahnya pendapatan, sehingga seseorang atau sekelompok individu tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Masalah pendapatan yang rendah dan kemiskinan merupakan masalah utama dalam pembangunan ekonomi negara berkembang secara umum (Arsyad, 2010). Kemiskinan juga merujuk pada sebuah hubungan sebab akibat antara angka kemiskinan yang tinggi dengan rendahnya pendapatan per kapita yang disebabkan oleh investasi per kapita yang juga rendah. Permintaan domestik per kapita memiliki korelasi dengan tingkat investasi per kapita sedangkan tingkat kemiskinan yang menyebabkan rendahnya permintaan. Komponen-komponen yang telah disebutkan selayaknya lingkaran kemiskinan (vicious cycle of poverty) (Nurkse dalam Kuncoro, 2010).

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu provinsi dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia. Kebijakan pemerintah Provinsi DIY dalam mengatasi angka kemiskinan sudah melalui koordinasi yang cukup baik dengan pemerintah pusat. Beberapa program yang digalakkan pemerintah pusat dan DIY di antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Beras Sejahtera, serta bantuan hunian sederhana dengan nama “Rumah Tidak Layak Huni” (Rutilahu). Selain itu, terdapat dua program lain, yakni Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang juga diterapkan di seluruh indonesia (Kementerian Sosial, 2016).

Pengaruh tingkat pengangguran terbuka terhadap kemiskinan di DIY

Kemiskinan di DIY dapat ditinjau melalui tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang menjadi salah satu komponen pengaruh (Barika, 2013). Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka berpengaruh langsung dan signifikan terhadap angka kemiskinan. Menurut Barika (2013), penduduk yang tidak mempunyai pekerjaan atau pengangguran berdampak pada ketidakmampuan dalam membiayai kebutuhan hidup dirinya dan keluarga sehingga tergolong dalam keluarga miskin. Namun, terdapat analisis pula bahwa tingkat pengangguran terbuka tidak berpengaruh terhadap kemiskinan. Secara empiris, pengangguran tidak berpengaruh terhadap kemiskinan dikarenakan pendapatan keluarga yang cukup tinggi diindikasi mampu menopang biaya hidup anggota keluarga yang masih menganggur atau yang belum bekerja.

Pengaruh indeks pembangunan manusia terhadap kemiskinan di DIY

Variabel indeks pembangunan manusia berpengaruh negatif signifikan terhadap angka kemiskinan di DIY. Hal ini sesuai dengan analisis bahwa Indeks Pembangunan Manusia berpengaruh negatif signifikan terhadap angka kemiskinan. Tingginya angka IPM mengindikasikan kelompok masyarakat yang berdikari; memiliki keterampilan serta terpenuhinya kebutuhan akan pendidikan, kesejahteraan ekonomi, kesehatan jasmani maupun rohani. Masyarakat tentunya lebih mampu berinovasi dan berdaya saing karena kebutuhan dasarnya telah tertunjang sehingga diharapkan produktivitas akan meningkat dan pada akhirnya akan menurunkan angka kemiskinan. Zuhdiyaty (2017) mengemukakan bahwa IPM berpengaruh negatif signifikan terhadap kemiskinan dan selaras dengan pernyatan Arsyad (2010), yaitu salah satu strategi pengentasan kemiskinan adalah dengan pembangunan sumber daya manusia. Apabila nilai IPM meningkat, kualitas dan kemampuan sumber daya manusia juga akan meningkat. Hal tersebut berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas serta kesejahteraan masyarakat, dengan demikian angka kemiskinan akan berkurang.

Kesejahteraan adalah ukuran dari masyarakat yang makmur yang dapat dinilai melalui kesehatan, status ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup masyarakat, serta persepsi masyarakat umum bahwa keluarga yang sejahtera dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang pendidikan yang paling tinggi. Kebahagiaan mengacu pada kegembiraan dan ketenangan hidup serta keberuntungan baik secara fisik maupun mental (Banusu, et,.al, 2020). Kebahagiaan tidak hanya dapat diartikan dari segi pemenuhan materi, tetapi juga dari segi kebahagiaan batin yang merupakan cerminan dari kondisi sosial dan psikologis. Kebahagiaan juga merupakan faktor penentu standar perbedaan setiap individu sehingga mereka percaya pada kemampuan mereka sendiri dan membantu orang lain. Di Indonesia, kebahagiaan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kesehatan mental, kesehatan fisik yang dirasakan, pendapatan absolut, pendidikan menengah dan tinggi, keterlibatan dalam kegiatan masyarakat, toleransi, serta memberi dan menerima dukungan dari masyarakat (Rahayu dkk., 2016).

BPS menerbitkan Indeks Kebahagiaan, sebuah indeks komposit yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan statistik kesejahteraan subjektif di Indonesia dengan tiga dimensi, yaitu Kepuasan Hidup (Life Satisfaction), Perasaan (Affect), dan Makna Hidup (Eudaimonia). Kepuasan hidup terbagi menjadi dua, yaitu kepuasan hidup sosial yang terdiri dari keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, ikatan sosial, kondisi lingkungan, dan faktor keamanan serta kepuasan hidup personal yang meliputi pendidikan dan keterampilan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kesehatan, serta kondisi dan fasilitas perumahan. Dimensi perasaan meliputi indikator senang, cemas, dan tidak tertekan. Dimensi makna hidup yang meliputi kemandirian, penerimaan diri, tujuan hidup, interaksi positif dengan orang lain, pengembangan diri, dan penguasaan lingkungan (BPS, 2021).

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Syarif (2023), tingkat kemiskinan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara signifikan lebih tinggi daripada provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa, yakni mencapai 11,49% dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 463.460 jiwa atau dapat dikatakan meningkat hampir 6.000 jiwa. Provinsi DIY merupakan provinsi termiskin di Jawa karena berbagai alasan, salah satunya adalah upah minimum yang rendah, yaitu sebesar Rp1.765.000,00 pada tahun 2021 dan termasuk dalam kategori terendah di Indonesia. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan angka indeks kebahagiaan yang menunjukkan bahwa Provinsi DIY termasuk dalam 10 provinsi paling bahagia di Indonesia. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Sucahyo (2019), beberapa aspek yang diamati dalam penilaian Mengapa DIY Dinobatkan Sebagai Provinsi Paling Bahagia dalam artikel yang ditulis oleh (Sucahyo, 2019) adalah Miskin Tapi Bahagia, Upah Rendah Tapi Menerima, Konsep Sithik Eding, dan Bahagia Boleh, Sejahtera Penting.

Aspek Miskin Tapi Bahagia merujuk pada rendahnya peringkat tenaga kerja dan ekonomi di Provinsi DIY yang berbanding terbalik dengan kualitas hidup penduduknya. Menurut Indeks Kebahagiaan BPS, Provinsi DIY adalah provinsi paling bahagia ketujuh di Indonesia. Provinsi DIY memiliki angka harapan hidup tertinggi, yaitu 74 tahun, yang melebihi rata-rata nasional, yaitu 71 tahun. Aspek Upah Rendah, Tapi Menerima dinilai dari keinginan untuk menuntut gaji yang lebih tinggi bervariasi di antara para pekerja. Komparasi dengan studi kasus di Banten, Jawa Barat, para pekerja yang merasa penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan berupaya untuk menuntut kenaikan gaji, salah satunya dengan demonstrasi. Sementara itu, para pekerja di Provinsi DIY mengatasi kasus yang sama dengan melakukan pekerjaan sampingan atau tinggal bersama orang tua mereka. Padahal, buruh di Provinsi DIY membayar jumlah yang sama untuk gas dan beras dengan buruh di Tangerang. Namun, buruh di Tangerang dapat memperoleh hingga Rp3,9 juta per bulan yang tentunya sangat berbeda dengan Provinsi DIY.

Sementara itu, konsep Sithik Eding merujuk pada keluarga dengan pendapatan terendah, tetapi memiliki umur yang paling bahagia dan panjang. Kondisi tersebut lebih lanjut dapat dijelaskan melalui perspektif budaya. Orang Jawa dikenal sangat menghargai kerja sama dan harmoni dibandingkan nilai-nilai material. Sithik berarti kecil dan eding secara kasar diterjemahkan sebagai berbagi atau bersama-sama. Berbagi lebih penting dalam filosofi ini karena membawa kenyamanan dan mengajarkan bahwa harta benda bukanlah hal yang paling penting dalam hidup. Sikap nrimo atau kecenderungan untuk menerima apapun yang diberikan turut berpengaruh. Hal tersebut disebabkan karena orang Jawa terutama Yogyakarta telah diajarkan mengenai cara hidup nrimo sehingga kepribadian yang terbentuk cenderung lebih tenang seiring bertambahnya usia. Berdasarkan konsep nrimo ing pandum, dapat diketahui bahwa tingginya indeks kebahagiaan di Provinsi DIY dipengaruhi oleh kebudayaan dan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat. Konsep nrimo ing pandum maupun Sithik Eding nyatanya dapat menjadi dasar yang memengaruhi salah satu indikator indeks kebahagiaan, yakni Perasaan dan/atau Makna Hidup.

Referensi

Arsyad, L. (2010). Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit STIE YKPN.

Badan Pusat Statistik. (2021). Indeks Kebahagiaan 2021. Retrieved from https://www.bps.go.id/publication/2021/12/27/ba1b0f03770569b5ac3ef58e/indekskebahagiaan-2021.html

Banusu, Y. O., & Firmanto, A. D. (2020, Desember). Kebahagiaan dalam ruang keseharian manusia. In Forum (Vol. 49, №2, pp. 51–61).

Barika. (2013). Effect Of Economic Growth, Government Spending, Unemployment and Inflation On the Level Of Poverty in Sumatra Province. Jurnal Ekonomi Dan Perencanaan Pembangunan. 5 (1). Hal. 27–36

Kuncoro, Mudrajad. (2010). Masalah, Kebijakan, dan Politik, Ekonomika Pembangunan. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Mulia, R. A., & Saputra, N. (2020). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Kota Padang. Jurnal El-Riyasah, 11(1), 67–83.

Rahayu, T. P., & Harmadi, S. H. B. (2016). The effect of income, health, education, and social capital on happiness in Indonesia. Asian Social Science, 12(7), 75–87.

Sucahyo, N. (2019, Desember 6). Yogyakarta: Miskin, Tapi Bahagia dan Panjang Usia. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/yogyakarta-miskin-tapi-bahagia-dan-panjang-usia/5195426.html

Zuhdiyaty, Noor. (2017). Analisis Faktor — Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di Indonesia Selama Lima Tahun Terakhir (Studi Kasus Pada 33 Provinsi). JIBEKA. 11 (2). Hal. 27–31

--

--