Bencana Laut Aral dan Pentingnya Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan

Bencana yang terjadi pada Laut Aral menjadi bukti bahwa setiap tindakan manusia selalu berdampak bagi alam — positif maupun negatif. Untuk itu, pembangunan berkelanjutan menjadi solusi nyata dan absolut guna mengurangi dampak tindakan manusia atas alam sekaligus menjamin keberlangsungan kehidupan manusia.

Alfin Febrian Basundoro
Citrakara Mandala
7 min readJul 30, 2020

--

Sisi Timur Laut Aral yang Mengering (Sumber: https://www.insurancejournal.com/app/uploads/2019/11/aral-sea-dying.jpg)

Laut Aral di Asia Tengah merupakan salah satu danau endoreik yang tenar di dunia. Pernah menjadi danau terbesar keempat di dunia dengan luas mencapai lebih dari 65.000 kilometer persegi pada 1960-an, Laut Aral akhirnya menyusut drastis hingga lebih dari 90 persen ukuran semula pada dasawarsa belakangan. Volume danau tersebut tersisa sepertiga dari semula. Saat ini, sebagian besar wilayah Laut Aral menyisakan pasir dan lahan tandus yang amat luas dan tidak produktif. Pemukiman pesisir yang dahulu mewarnai tepian danau ini menjadi kota mati, ditunjukkan dengan banyaknya onggokan kapal dan perlengkapan nelayan yang lama ditinggalkan. Bagaimana peristiwa ini dapat terjadi?

Secara hidrologis — sebagaimana yang telah disebutkan, Laut Aral adalah perairan darat endoreik. Maknanya, Laut Aral tidak memiliki muara atau jalur air keluar. Akibatnya, air Laut Aral hanya berkurang melalui penguapan. Lokasi geografis Laut Aral terletak pada kawasan arid dengan curah hujan rendah mengakibatkan air danau ini asin. Ditambah lagi, sumber air danau ini hanya berasal dari dua sungai — Syr Darya dan Amu Darya. Dua sungai tersebut berhulu di Pegunungan Pamir, membentuk cekungan yang subur dan menjadi sumber penghidupan bagi jutaan manusia (Shahgedanova, 2003). Selama bertahun-tahun, ekosistem tersebut berada dalam kondisi seimbang — suplai air dari kedua sungai tidak pernah berkurang, sementara evaporasi yang terjadi di Laut Aral sebagai mulut dari kedua sungai tidak sampai menciptakan kekeringan.

Sungai Amu Darya dan Syr Darya, sumber air Laut Aral (Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/73/Aral_Sea_watershed.png/1024px-Aral_Sea_watershed.png)

Nama Laut Aral dikenal dari dua sisi yang bertolak belakang. Jean-François Cretaux dkk. (2013) menyatakan bahwa danau ini telah menjadi sumber air yang penting bagi sejumlah peradaban di Asia Tengah selama ribuan tahun. Kota-kota bersejarah seperti Ferghana, Karakalpakstan, dan Bukhara bergantung pada air danau ini Jalur Sutra — penghubung perdagangan antara Dunia Barat (Eropa) dan Timur (Asia) — bergantung pula dengan keberadaan Laut Aral, begitu pula dengan hidupan liar yang menghuni danau ini. Kendati spesies ikan yang menghuni Laut Aral tak sebanyak danau besar lain di dunia — efek dari ketiadaan aliran keluar dari danau dan minimnya jalur air masuk (inflow), sektor perikanan komersial tetap menjadi tulang punggung ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya, menunjukkan keberlimpahan ikan di danau ini, setidaknya hingga 1970-an (Aladin dkk., 2019).

Di sisi lain, Laut Aral kini adalah salah satu bencana ekologis, hidrologis, dan geopolitik terburuk dalam sejarah. Keruntuhan ekosistem menjadi frasa yang tepat untuk mendeskripsikan Laut Aral secara umum. Bencana ini disebabkan karena sejumlah faktor besar: pertama, pembangunan irigasi dan lahan pertanian yang berlebihan dan tidak memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan. Kedua, adalah pencemaran air akibat proyek percobaan senjata biologis yang dilakukan oleh Uni Soviet pada era Perang Dingin serta penggunaan pestisida pertanian, dan ketiga, apa yang disebut sebagai “induk dari segala kerusakan ekologis kontemporer” — pemanasan global.

Industri Kapas: Kutukan bagi Laut Aral

Aktivitas manusia sejak 1960-an menjadi ancaman utama bagi keseimbangan tersebut, terutama industrialisasi pertanian kapas yang digalakkan oleh Uni Soviet. Sejatinya, Uni Soviet sejak 1950-an telah menjadikan Mesir — sekutu utamanya kala itu — sebagai mitra penyuplai kebutuhan kapas negara tersebut (Seifulmuliukov, 1965). Seiring keberpihakan Mesir kepada Barat sejak 1970-an, Uni Soviet praktis kehilangan mitra penyuplai kebutuhan kapas. Pemerintah Uni Soviet lantas mengambil kebijakan berdikari dengan menjadikan cekungan Aral sebagai lahan pertanian kapas — didukung dengan pembangunan kanal irigasi yang padat karya. Dengan meningkatnya kebutuhan kapas, praktis kebutuhan air untuk industri kapas tersebut juga melonjak, menyebabkan air sungai Amu dan Syr Darya terkuras. Akibatnya, suplai air untuk Laut Aral mulai berkurang — menjadi faktor pertama penyebab bencana ini — sementara evaporasi danau tersebut tidak berkurang. Hanya dalam dua dasawarsa, luas Laut Aral menyusut hingga menyisakan dua pertiga luas semula.

Kondisi tersebut diperparah dengan komersialisasi pertanian kapas pasca-Keruntuhan Uni Soviet. Micklin (2010) menekankan pada kebutuhan komoditas perekonomian negara-negara Asia Tengah baru merdeka. Pemimpin negara-negara Asia Tengah kala itu masih mewarisi birokrasi dan kebijakan ala Uni Soviet yang bergantung pada perekonomian ekstraktif — mengandalkan komoditas mentah. Apalagi, industri kapas tergolong murah — hanya memerlukan buruh kasar dalam jumlah besar, tanpa mesin-mesin pengolahan canggih. Bagaikan aji mumpung, lahan industri kapas peninggalan Uni Soviet masih tergolong produktif, menyebabkan negara-negara tersebut kemudian mengembangkannya sebagai sumber komoditas ekspor. Persoalannya, komersialisasi tersebut tidak diikuti dengan kebijakan pembangunan berkelanjutan atau perencanaan matang, sehingga terang bahwa penyusutan Laut Aral semakin mengkhawatirkan.

Perkebunan kapas di Uzbekistan (Sumber: https://foreignpolicy.com/wp-content/uploads/2020/03/uzbek-cotton-pickers-1181489053.jpg?w=1500)

Percobaan Senjata, Pencemaran, dan Pemanasan Global

Faktor kedua — berkaitan dengan pencemaran hidrologis di cekungan Aral. Industri kapas — selain membutuhkan suplai air yang masif, juga rawan diserang oleh beragam hama. Bayangkan saja, berapa jumlah pestisida yang diperlukan untuk mempertahankan kapas tersebut dari serangan hama. Pestisida yang berlebihan tersebut lantas mengalir ke kedua sungai sumber air Laut Aral, menyebabkan alirannya turut mencemari danau itu sendiri. Kondisi ini berlangsung selama puluhan tahun. Tak hanya pestisida, proyek percobaan yang dilakukan oleh Uni Soviet pada Perang Dingin berkontribusi besar dalam mengubah Laut Aral menjadi “Chernobyl di Asia Tengah” (Bozheyeva dkk., 1999). Pulau Vozrozhdeniya — kini telah menjadi semenanjung akibat penyusutan Laut Aral — menjadi lokasi utama percobaan senjata tersebut di mana pada 1971, kesalahan teknis pada proyek tersebut berakibat fatal — menyebabkan 50.000 orang terinfeksi virus cacar (Bozheyeva dkk., 1999). Kendati percobaan telah dihentikan dan fasilitas percobaan ditutup akibat runtuhnya Uni Soviet pada 1992, namun lagi-lagi, kurangnya perencanaan dalam penanganan limbah persenjataan tersebut menyebabkan sisa-sisa senjata biologis mematikan mencemari Laut Aral.

Pemanasan global turut ambil bagian dalam memperparah krisis ini. Kenaikan suhu rata-rata global sejak akhir 1990-an mengakibatkan desertifikasi di Asia Tengah terjadi semakin cepat. Gletser di Pegunungan Pamir yang semakin cepat meleleh mengakibatkan berkurangnya suplai air ke hulu sungai yang menjadi sumber air Laut Aral. Kondisi semakin genting ketika Laut Aral bagian timur mengering, menjadi pertanda bahwa muara sungai Amu Darya tidak lagi mengalirkan air ke danau tersebut. Pada 2008, luas Laut Aral hanya mencapai 3.300 kilometer persegi dengan kedalaman maksimal 42 meter. Laut Aral tak lagi merupakan satu badan perairan, namun telah terbagi menjadi sejumlah danau kecil.

Laut Aral, Nasibmu Kini

Apa yang tersisa dari sebagian besar Laut Aral kini hanyalah “lautan” pasir yang membentang. Kondisi permukaan tanah yang kering menyebabkan pertanian tidak berkembang di cekungan Aral. Ditambah lagi, pencemaran air dan tanah akibat pestisida dan limbah senjata biologis menyebabkan tanah tersebut beracun. Badai pasir yang kerap terjadi pada musim kering dapat membawa kontaminan hingga ratusan kilometer jauhnya (Cretaux dkk., 2013). Kota mati dan pemukiman tak terurus menjadi pemandangan normal di tepian danau ini. Aralsk, salah satu kota pelabuhan terbesar dengan penduduk mencapai ratusan ribu pada 1980-an mengalami penyusutan penduduk hingga tersisa 29.987 jiwa pada 2009, menurut lembaga sensus resmi Kazakhstan. Kondisi ini membuat restorasi Laut Aral semakin krusial untuk dilakukan. Namun, isu hidropolitik lagi-lagi mencuat. Salah satunya, akibat dua negara “pemilik” danau ini — Kazakhstan dan Uzbekistan — mempersengketakan pihak mana yang paling berkontribusi paling besar dalam restorasi Laut Aral dan kepemilikan dua sungai yang menjadi sumber danau tersebut.

Meski demikian, nasib Laut Aral menemui titik terang. Proyek restorasi Laut Aral dimulai pada 1994 setelah kelima negara Asia Tengah menyepakati untuk mendanai restorasi dari anggaran nasional. Bank Dunia kemudian memberikan asistensi dana dan perencanaan sepanjang 1990-an hingga 2008 dengan tajuk “Aral Sea Basin Programme” yang terbagi atas beberapa tahap. Selain itu, perencanaan pembangunan ekonomi yang lebih baik juga disepakati oleh Kazakhstan dan Uzbekistan, terutama menyangkut penduduk di sekitar cekungan Aral. Sejumlah solusi, seperti penanaman kapas yang lebih irit air, pengurangan penggunaan pestisida dan pupuk kimia, pembangunan bendungan pengalih aliran air, hingga pembangunan ekonomi nonagrikultur menjadi usulan. Hasilnya mulai terlihat, pada 2011, luas Laut Aral bagian utara meningkat signifikan. Namun di sisi lain, Laut Aral bagian selatan agaknya sulit untuk direstorasi, mengingat aliran sungai Amu Darya tak cukup deras untuk mengairi bagian tersebut — kalah jauh dengan evaporasi yang terjadi (Hern-Chen, 2018).

Pergantian rezim di Asia Tengah pada akhir 2010-an turut memberi andil positif terhadap Laut Aral di masa depan. Pemimpin-pemimpin yang lebih pragmatis seperti Kassym-Jomart Tokayev (Kazakhstan) dan Shavkat Mirziyoyev (Uzbekistan) dipandang akan lebih memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan dalam perencanaan kebijakan nasional mereka. Ditambah, tren kesadaran global akan kelestarian lingkungan sebagai dampak positif dari Sustainable Development Goals (SDGs) dianggap mampu mempengaruhi negara-negara di dunia untuk menyesuaikan kebijakan mereka agar sejalan dengan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.

Referensi

Aladin, N. V., Gontar, V. I., Zhakova, L. V., Plotnikov, I. S., Smurov, A. O., Rzymski, P., & Klimaszyk, P. (2019). The zoocenosis of the Aral Sea: Six decades of fast-paced change. Environmental Science and Pollution Research International, 26(3), 2228–2237. doi: 10.1007/s11356–018–3807-z

Chen, D.-H. (t.t.). The country that brought a sea back to life. Diambil 30 Juli 2020, dari https://www.bbc.com/future/article/20180719-how-kazakhstan-brought-the-aral-sea-back-to-life

Cretaux, J.-F., Letolle, R., & Bergé-Nguyen, M. (2013). History of Aral Sea level variability and current scientific debates. Global and Planetary Change, 110, 99–113. doi: 10.1016/j.gloplacha.2013.05.006

Micklin, P. (2010). The past, present, and future Aral Sea. Lakes & Reservoirs: Science, Policy and Management for Sustainable Use, 15(3), 193–213. doi: 10.1111/j.1440–1770.2010.00437.x

Shahgedanova, L. in C. and D. of P. S. G. D. M., & Shahgedanova, M. (2003). The Physical Geography of Northern Eurasia. Oxford University Press.

The World Bank. (1998). Aral Sea Basin Program (hlm. 55) [Project document].

Artikel ini ditulis oleh Alfin Febrian Basundoro Kontributor Bidang Hubungan Internasional, Medium Citrakara Mandala. Alfin adalah Mahasiswa S1 Program Studi Hubungan Internasional UGM. Saat ini aktif menulis topik kaitannya dengan geopolitik khususnya Geopolitik Timur Tengah.

--

--