Desa Waskita Bawana: Penguatan State of Mind dalam Implementasi SDGs Desa Melalui Pendekatan Kearifan Lokal

Seminar SDG's Series
Citrakara Mandala
Published in
4 min readFeb 14, 2021

--

Rubrik Bincang SDGs Seri #61 | Oleh Galang AT

Sumber: Dokumentasi Pribadi

لاَ حِمَى إِلاَّ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ

Tidak ada hima’ kecuali milik Allah dan rasul-nya.” (HR Bukhari №2197)

Walau cukup panjang sejarah dan asal mula dari istilah Hima’, dalam konteks hadis di atas Hima’ merujuk pada suatu kawasan yang khusus dilindungi oleh pemerintah atas dasar syariat guna melestarikan ekosistem. Nabi pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungi lembah, padang rumput dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Nabi melarang masyarakat mengolah tanah tersebut karena lahan itu untuk kemaslahatan umum dan kepentingan pelestariannya.

Lantas apa pentingnya bahasan hima’ dalam artikel yang ditulis di sini? Sekurangnya, fakta tentang Hima’ menunjukkan eksistensi ajaran mengenai pelestarian lingkungan dalam Islam secara fisik (Fachrudin, 2005). Lebih dari itu, sebenarnya konsep konservasi alam merambah pula pada state of mind dan tidak hanya ada pada Agama Islam. Banyak contoh lain yang tentunya penulis tidak bisa sebutkan satu persatu. Sebagai gambaran, dalam semesta sufistik tasawuf dikenal tingkatan ngelmu makrifat (Gnostic Knowledge). Serat Wirid Hidayat Jati karya Raden Ngabehi Ronggowarsito yang merupakan Kitab Babon Kejawen mengenal istilah Waskita sebagai tingkatan ilmu manusia yang setingkat dengan makrifat. Sejatinya kedua istilah tersebut menggambarkan tingkatan Manusia utama (Janma Pinilih) yang merupakan sosok budi luhur yang menerapkan nilai nilai utama budi luhur dalam hidup sehari hari. Inti dari tingkatan keilmuan tadi tidak lain tidak bukan ialah adagium Hamemayu Hayuning Bawana. Bagi pembaca yang belum mengenal adagium tersebut kurang lebih bermakna mempercantik bumi yang sudah cantik. Suatu tanggung jawab moral yang tinggi karena bukan hanya menjaga alam namun harus mempercantiknya.

Negara Mawa Tata Desa Mawa Cara

Carut marutnya bumi akibat pembangunan yang kerap serampangan dan abai terhadap lingkungan saat ini menggerakan ide kembali mengenai keseimbangan alam dan manusia. Ide mengenai keseimbangan manusia dan alam dalam adagium Hamemayu Hayuning Bawana dewasa ini melalui kesepakatan global diwujudkan dalam suatu tujuan pembangunan bersama yang dikenal sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs). Banyak ahli mengkonfirmasi keidentikan adagium Hamemayu Hayuning Bawana dengan SDGs. Lebih terkini lagi, saat ini program SDGs diusahakan merambah menuju desa desa di seluruh Indonesia melalui kebijakan SDGs Desa.

Kebijakan SDGs Desa yang dicanangkan oleh Kemendesa PDTT tahun lalu menjadi gebrakan baru mengingat lebih dari 70% wilayah Indonesia merupakan desa. Terdapat arah dan semangat baru untuk mewujudkan kondisi pembangunan yang berkelanjutan. Penerapan SDGs hingga tingkatan desa menjadi yang pertama dilakukan di seluruh dunia.

Berdasarkan Permendesa PDTT Nomor 13 Tahun 2020 tentang prioritas penggunaan dana desa 2021, pemanfaatan dana desa wajib menautkan tentang 18 tujuan SDGs Desa. Secara lengkap ada di gambar di bawah

Gambar 1. Poin poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tingkat desa. / Sumber: Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD)

Desa Waskita Bawana

Desa seperti yang kerap disebutkan diartikan sebagai induk/ibu dari kota. Ada apa di desa? Desa menyimpan berbagai value kearifan lokal yang dijaga, ibunya kota. Desa adalah destinasi final sebagai sebuah pencapaian pembangunan. Dalam hal arah pembangunan, desa tidak butuh dan tidak perlu diubah menjadi seperti kota. Konsep ideal pembangunan desa ini sesuai dengan SDGs Desa. Ada satu hal yang istimewa dari SDGs desa yakni yang terletak pada butir ke-18. Dimana pembangunan desa harus berlandaskan pada kebudayaan lokal atau kearifan lokal yang ada di desa. Membangun suatu state of mind yang hidup di warga perdesaan dengan menghidupkan nilai lokal seperti pada awal tulisan ini menjadi tantangan baru ke depan. Bagimanapun konsep pembangunan yang ada baik secara global maupun nasional dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat desa. Terbentuknya state of mind pula merupakan hal mutlak yang mampu dan dapat turut serta memudahkan proses apersepsi, implementasi, dan pengorganisasian program dari pusat ke desa.

Aktor dalam pembangunan yang kerap terlupa layaknya pemimpin agama/spiritual yang kerap memiliki pengaruh yang cukup besar di wilayah perdesaan perlu digandeng bersama. Ragam pranata sosial perlu disadari oleh pemerintah desa sebagai mitra dalam mewujudkan SDGs Desa. Pada akhirnya tiada pembangunan yang berhasil tanpa membangun keseluruhan jiwa dan raga dari suatu wilayah seperti yang termaktub dalam lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya “Bangunlah Jiwanya Bangunlah Raganya”. Selama 7 tahun pelaksanaan UU Desa, dana desa sudah banyak digunakan untuk pembangunan fisik sarana prasarana di desa. Sekaranglah mulai saatnya membangun “jiwanya”. Kelak, nilai-nilai janma pinilih akan timbul oleh pembangunan yang bijak. Desa yang Bijak alam, bijak manusia, bijak ekonomi, lebih lebih bijak bumi atau Desa Waskita Bawana.

Rubrik Bincang SDGs

Rubrik ini merupakan artikel Seminar SDG's Series Departemen Geografi Pembangunan UGM bekerjasama dengan HMGP Citrakara Mandala UGM . Terbit secara berkala setiap satu bulan sekali.

--

--

Seminar SDG's Series
Citrakara Mandala

Departemen Geografi Pembangunan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada