Elektrifikasi Jalur Kuda Besi di Bumi Mataram

Raden Bimasakti A
Citrakara Mandala
Published in
3 min readSep 11, 2020
Pembangunan Tiang Pancang LAA Proyek KRL Yogyakarta-Solo Bulan April 2020
Photo by Dzulfikar Zukair on Skyscrapercity.com

Penglaju Yogyakarta-Solo akan mendapatkan hadiah besar pada akhir tahun 2020. Pasalnya, jalur rel KA (Kereta Api) Yogyakarta-Solo telah dilakukan proses elektrifikasi. Kereta Prambanan Ekspres (Prameks) yang telah menemani kawan penglaju Yogyakarta-Solo akan diganti dengan Kereta Rel Listrik (KRL). Dilansir dari Kompas.com (28/06), jalur rel KA Yogyakarta-Solo akan menjadi daerah ketiga yang telah terelektrifikasi, setelah Jabodetabek dan Banten. Hingga saat ini, elektrifikasi jalur KA Yogyakarta-Solo berada pada tahap pemasangan tiang-tiang jaringan listrik aliran atas.

Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, Zulfikri, mengatakan bahwa pada awal Oktober KRL sudah bisa melayani perjalanan Yogyakarta-Klaten dan pada akhir tahun sudah sampai di Kota Surakarta (Solo). Elektrifikasi jalur kereta api Yogyakarta-Solo ini tentunya memiliki dampak yang signifikan terhadap pembangunan kedua kota tersebut. Kota Yogyakarta dan Surakarta seolah-olah akan mendekat secara ruang dan waktu. Fenomena ini disebut dengan Time- Space Compression.

Fenomena Time-Space Compression mungkin terlihat mustahil bagi masyarakat awam. Masyarakat memandang bahwa dimensi ruang dan waktu merupakan hal yang tidak dapat dikontrol manusia dan bersifat alami. Harvey (1990) menyatakan bahwa ruang dan waktu merupakan fakta objektif yang diterima semua individu maupun kelompok. Jadi secara logika, mengompres dimensi ruang dan waktu merupakan hal yang mustahil.

Namun, ilmu geografi memandang dengan cara lain. Seorang geograf bernama Barney Warf (2011) mengemukakan bahwa ruang dan waktu dipandang hanya sebuah konstruksi sosial yang dibangun masyarakat oleh interaksi sosial. Jadi, pandangan terhadap dimensi ruang dan waktu merupakan hal yang subjektif misalnya saat seseorang bersedih, waktu akan terasa lebih lama. Pada era globalisasi, fenomena Time-Space Compression dapat dibantu dengan adanya teknologi informasi dan transportasi. Teknologi ini dapat memanipulasi dimensi ruang dan waktu sehingga menjadi lebih cepat dan efisien.

Pada kasus elektrifikasi jalur KA Yogyakarta-Solo ini, Time-Space Compression yang terjadi adalah perubahan terkait dua faktor. Pertama, perubahan terkait kapasitas penumpang. KRL memiliki keunggulan terkait kapasitas penumpang yang lebih banyak dalam satu perjalanan. Dilansir dari iNewsYogya.id (05/04/2018), Humas PT KAI Daop 6, Eko Budiyanto menjelaskan bahwa dalam sekali perjalanan, satu rangkaian KRL dapat mengangkut sekitar 1200 penumpang. Hal tersebut tentu berbeda dengan satu rangkaian KRD Prameks yang hanya mengangkut 500–800 penumpang dalam sekali perjalanan. Meningkatnya kapasitas penumpang mengakibatkan mobilitas para penglaju yang merupakan penduduk usia produktif menjadi semakin meningkat.

Kedua, perubahan terkait waktu, baik waktu tempuh maupun ketepatan waktu. KRL memiliki keunggulan dalam akselerasi yang cepat dan merata karena posisi motor penggerak KRL berada di seluruh gerbong. Hal tersebut tentu berbeda dengan KRD yang memiliki akselerasi yang lambat karena posisi motor penggerak hanya berada di lokomotif. Akselerasi cepat dan merata pada KRL memiliki pengaruh terhadap ketepatan waktu dan waktu tempuh yang semakin tinggi.

Faktor-faktor tersebut tentu berdampak besar terhadap pembangunan pada Kota Yogyakarta maupun Surakarta. Keduanya memiliki hubungan berbanding lurus sehingga menghasilkan efek pengganda bagi pembangunan. Aliran para penglaju yang semakin besar dan cepat akan berdampak terhadap peningkatan produktivitas yang mampu menggerakkan roda ekonomi pada kedua daerah tersebut. Pembangunan pada kedua daerah tersebut akan menjadi semakin masif. Bak teori gravitasi, pembangunan Kota Yogyakarta maupun Surakarta yang semakin masif akan mampu menciptakan daya tarik yang mampu menarik satu sama lain. Daya tarik yang semakin besar tersebut akan membuat seolah-olah kedua daerah (Yogyakarta dan Surakarta) mendekat secara pembangunan.

Walaupun begitu, kondisi sekarang yang masih dilanda pandemi COVID-19 ini membuat hal tersebut menjadi cukup sulit untuk terjadi. Transportasi umum terutama kereta terkadang menjadi biang keladi dari penyebaran COVID-19. Oleh karena itu, penerapan protokol kesehatan yang ketat perlu diterapkan agar penyebaran menjadi tidak semakin parah. Tentu hal tersebut akan berdampak terhadap berkurangnya mobilitas penduduk yang mengakibatkan lambatnya pembangunan dan berujung pada jurang resesi. Tentunya harapan tertinggi penulis adalah semoga pandemi ini cepat berlalu dan kegiatan dapat berjalan seperti sedia kala.

Referensi

Harvey, D. (1990). “Between Space and Time: Reflections on The Geographical Imagination”, Annals of the Association of American Geographers, Vol. 80, pp. 418–434

Idris, Muhammad. 28/06/2020. “Digantikan KRL, KA Prameks Jogja-Solo Bakal Pensiun di Akhir 2020”. Money. Kompas.com diakses dari https://money.kompas.com/read/2020/06/28/150700726/digantikan-krl-ka-prameks-jogja-solo-bakal-pensiun-di-akhir-2020

Kuntadi. 05/04/2018. “Atasi Keluhan Penumpang, KAI Akan Ganti Kereta Diesel dengan KRL”. Yogya. iNewsYogya.id diakses dari https://yogya.inews.id/berita/atasi-keluhan-penumpang-kai-akan-ganti-kereta-diesel-dengan-krl

Warf, Barney. (2011). “Teaching Time–Space Compression”, Journal of Geography in Higher Education, Vol. 35, Nos. 2, pp.143–161

--

--