Geoekonomi Pasca-Hidrokarbon: Pengembangan Energi Terbarukan di Timur Tengah

Sektor minyak dan gas telah lama menjadi andalan Timur Tengah sebagai “bahan bakar” geoekonominya dan menjadi komoditas perdagangan utamanya. Namun, sektor ini terancam tidak lagi relevan, seiring dengan tren energi terbarukan global. Mampukah Timur Tengah mengembangkan diri?

Alfin Febrian Basundoro
Citrakara Mandala
8 min readNov 16, 2020

--

Mesir dan Arab Saudi Merencanakan Pembangunan “Ladang Angin” Terbesar di Timur Tengah (Sumber: https://idtxs3.imgix.net/si/40000/28/14.jpg?w=1200&h=627&fit=crop&crop=faces,entropy&q=50)

Timur Tengah identik dengan pembangunan ekonomi berbasis hidrokarbon, terutama dalam setengah abad terakhir. Ekstraksi dan pengolahan aneka produk hidrokarbon — terkhusus minyak bumi dan gas alam (migas) — merupakan sektor yang sangat menguntungkan bagi sebagian besar negara di kawasan ini. Menurut dokumen resmi OPEC (2018), dari keseluruhan negara dan dependensi di Timur Tengah, ada delapan negara yang mengandalkan migas sebagai basis ekonominya, dengan cadangan minyak di kawasan ini mencapai 48 persen dari cadangan migas global. Kedelapan negara tersebut — Arab Saudi, Bahrain, Iran, Irak, Kuwait, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab — memanfaatkan migas sebagai “uang keras” dalam perekonomian masing-masing, dengan peran sektor ini yang berkisar antara 70–90 persen.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan migas global, praktis beberapa negara Timur Tengah yang identik sebagai “negara Teluk” karena letaknya yang berbatasan dengan Teluk Persia tersebut mengalami kemajuan pesat dalam ekonominya, terutama sejak 1990-an hingga 2010-an. Dengan petrodolar, aneka proyek infrastruktur masif didirikan di negara-negara tersebut, menjadikan pesisir Teluk Persia sebagai wilayah terbangun paling maju di dunia (Alharthi, 2019). Sebut saja, kota-kota semacam Dubai, Abu Dhabi, Doha, dan Kuwait City yang memiliki standar kehidupan masyarakat setara dengan kota-kota di Eropa Barat. Tidak hanya diekspor, minyak dan gas menjadi sumber utama energi domestik di kawasan Teluk Persia ini.

Hingga kini, migas masih mendominasi sektor energi di Timur Tengah hingga 95% (Sumber: https://www.worldoil.com/news/2019/4/11/saudi-aramco-seeks-to-double-its-refining-network-to-10-mmbopd-by-2030)

Migas: Kutukan bagi Geoekonomi yang Berkelanjutan?

Meski demikian, tentu saja minyak dan gas bukanlah sumber daya alam yang memiliki nilai keberlanjutan tinggi. Kendati memiliki cadangan terbesar di dunia, tentunya migas akan habis pada waktunya, apalagi jika kebutuhan migas global meningkat, sehingga tidak dapat terus-menerus menjadi komoditas utama negara-negara Timur Tengah. Selain itu, industri migas memiliki nilai ekonomi yang sangat fluktuatif — amat bergantung kepada skema penawaran dan permintaan global, stabilitas politik, dan peran OPEC sebagai organisasi “kartel” minyak — yang praktis menyebabkan negara-negara Timur Tengah sulit untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang positif sepanjang tahun (Hvidt, 2013). Tren terbarunya, sebagaimana argumen Kingsly dan Kouam (2020) adalah bahwa pandemi COVID-19 menyebabkan disrupsi masif pada harga bahan bakar global, dengan kontraksi hingga 3,8 persen. Pun, negara-negara penghasil migas tersebut dipandang sebagian pihak sulit keluar dari “jebakan negara dunia ketiga” karena masih mengandalkan komoditas ekstraktif, alih-alih mengembangkan sektor manufaktur berteknologi tinggi atau ekonomi tersier — perbankan, komersial, dan finansial (Hvidt, 2013 dalam O’Sullivan dkk., 2015).

Dinamika Harga Minyak dalam Dua Dasawarsa Terakhir (Sumber: https://static01.nyt.com/images/2020/04/20/business/price-of-oil-1587426584009/price-of-oil-1587426584009-superJumbo.png)

Tidak hanya soal ekonomi, aspek industri migas — mulai dari ekstraksi, hilirisasi, hingga konsumsi — berkontribusi bagi kerusakan lingkungan di Timur Tengah, terkhusus kawasan Teluk Persia. Asap kilang minyak hingga limbah pengolahan migas yang tidak terolah dengan baik menjadi pemandangan yang jamak ditemukan di kawasan ini. Maka, wajar tatkala Al Saidi (2019) dalam jurnalnya menyatakan bahwa diperkirakan terjadi peningkatan suhu rata-rata kawasan Timur Tengah antara 3 hingga 5 derajat Celsius dalam lima tahun ke depan. Ia juga menyebutkan kota-kota besar di Teluk Persia sebagai “urban heat island”, yang berarti menjadi jebakan bagi suhu udara panas. Padahal, Timur Tengah sendiri terkenal menjadi salah satu kawasan terpanas di muka bumi. Tidak hanya itu, jelas bahwa cadangan air bersih di kawasan ini — yang memang amat langka — akan menjadi semakin sulit dimanfaatkan secara optimal akibat isu ini. Ancamannya serius, bahwa Timur Tengah berpeluang tidak dapat lagi mendukung kehidupan manusia pada setengah abad mendatang.

Investasi Energi Terbarukan di Timur Tengah

Alhasil, investasi energi terbarukan menjadi pilihan krusial bagi Timur Tengah. Jarang diketahui bahwa potensi energi terbarukan Timur Tengah sangat besar — tertutupi oleh masifnya pengaruh industri migas. Bahkan, Bayomi dan Fernandez (2019) menyatakan bahwa hanya 5 persen dari sektor energi di Timur Tengah yang memanfaatkan energi terbarukan, menjadikannya sebagai kawasan dengan sektor energi paling homogen dan “hidrokarbon-sentris”. Sumber energi yang dapat dikembangkan di kawasan ini di antaranya sinar matahari — seiring dengan durasi penyinaran gurun pasir yang panjang, angin, pasang-surut air laut, dan panas bumi. Beruntung, sejumlah negara telah berfokus pada pengembangan energi terbarukan dalam visi pembangunan ekonominya. Isu ini bukan menjadi isu baru di negara-negara yang lebih kaya, semisal Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar, di mana riset dan pengembangan energi terbarukan telah lama dilakukan. Di sisi lain, negara-negara yang masih berjuang untuk mengembangkan ekonominya, seperti Mesir, Lebanon, dan Irak agak terlambat dalam mengembangkan sektor ini. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Timur Tengah sedang berprogres dalam sektor ini.

Perbandingan Produksi Energi di Timur Tengah pada 1990 dan 2014 (Sumber: Bayomi, N., & Fernández, J. (2019). Towards Sustainable Energy Trends in the Middle East: A Study of Four Major Emitters)

Arab Saudi menjadi contoh negara “kaya” yang berinvestasi secara komprehensif dalam energi terbarukan, terutama setelah pencanangan Visi 2030 pada 2016, meskipun sejak 2012, Pemerintah Saudi dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB telah berkomitmen untuk melakukan diversifikasi energi. Sebagai salah satu negara dengan emisi karbon tertinggi di Timur Tengah, tentunya energi terbarukan harus menjadi pilihan Saudi guna mengurangi dampak lingkungan. Pembangkit listrik bertenaga surya menjadi pilihan utama Saudi, dengan target kapasitas 41.000 Megawatt pada 2032 (Boisgibault & Kabbani, 2020). Pada 2018, Saudi sendiri telah memiliki pembangkit listrik tenaga surya dengan kapasitas hingga 84 Megawatt. Selain tenaga surya, sumber energi lain yang berpeluang dimanfaatkan Saudi adalah angin, dengan rencana akan melakukan pengembangan . Total investasi energi terbarukan Saudi mencapai US$200 miliar pada 2018 (Reuters, 2018).

Negara lainnya yang agaknya patut menjadi contoh adalah Irak dan Mesir. Kendati tidak memiliki sistem ekonomi yang semaju negara-negara Teluk Persia, keduanya tidak ketinggalan untuk mengembangkan energi terbarukan. Tentunya, dengan situasi ekonomi yang cukup mengekang kedua negara, praktis kerja sama internasional menjadi pilihan terbaik, apalagi, keduanya memiliki sejarah panjang kerja sama internasional dalam urusan energi. Mesir misalnya, sejak 2006 mulai mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin di sekitar Teluk Suez — lokasi bertemunya massa angin dari Laut Merah dan Laut Mediterania (Mourad, 2013). Negara tersebut bekerja sama dengan sejumlah konsorsium Uni Eropa dengan pendanaan dari Bank Rekonstruksi dan Pembangunan Eropa dalam pengembangan sektor ini. Pada 2020, Mesir berencana untuk meningkatkan konsumsi energi terbarukan hingga 20 persen dari total konsumsi energinya, dengan 12 persen di antaranya berasal dari tenaga angin, sementara sisanya adalah gabungan dari tenaga surya dan hidroelektrik — seiring dengan kurang efektifnya kapasitas pembangkit listrik di Bendungan Tinggi Aswan dan menurunkan ketergantungan Mesir akan Sungai Nil (IRENA, 2018).

Sementara Irak, kesulitan dalam memenuhi permintaan domestik akan energi listrik mendorong pemerintahnya untuk melakukan diversifikasi energi di luar hidrokarbon. Krisis energi parah terjadi pada 2008, di mana dari kebutuhan energi nasional sebesar 12.000 Megawatt hanya terpenuhi lebih kurang separuhnya, menyebabkan terjadinya pemadaman bergilir di hampir setiap kota di Irak (Kazem & Chaichan, 2012). Sejumlah proyek pengembangan energi terbarukan dicanangkan di Irak, di antaranya tujuh titik pembangkit listrik tenaga surya di empat negara bagian — direncanakan beroperasi pada 2021.

Konflik menjadi penghambat utama pengembangan energi terbarukan di Irak (Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/cc/Al-Hashd_Al-Sha%27abi_forces_in_Fallujah_after_defeating_ISIL.jpg)

Namun, berbagai problematika domestik, mulai dari korupsi, inefektivitas pemerintah negara bagian, hingga konflik bersenjata yang terjadi secara berlarut-larut mengaburkan prospek energi listrik terbarukan di Irak. Padahal, pada era Saddam Hussein, Irak menjadi salah satu pelopor pengembangan energi di luar migas di Timur Tengah, dengan pengembangan reaktor nuklir Osirak dengan asistensi Prancis — sebelum kemudian dihancurkan oleh Israel pada 1980-an (Al-Maleki, 2020).

Epilog: Prospek dan Tantangan Pengembangan Energi Terbarukan di Timur Tengah

Dengan semakin meningkatnya tren energi terbarukan di dunia — apalagi sektor ini pula telah terintegrasi dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB — menjadikan setiap negara akan berlomba untuk berfokus mengembangkannya. Apalagi, seiring berjalannya waktu, sektor hidrokarbon bisa jadi semakin tidak prospektif karena dampaknya terhadap lingkungan. Sejumlah nilai positif yang dapat diperoleh oleh negara Timur Tengah terkait pengembangan energi terbarukan di antaranya, pertama, adalah diversifikasi ekonomi agar tidak lagi bergantung kepada komoditas ekstraktif semacam migas, di mana apabila terjadi surplus, energi terbarukan tersebut dapat diekspor. Kedua, adalah peluang permainan kekuatan politik oleh sebagian negara untuk menjalin relasi strategis dengan kekuatan global ketika migas tidak lagi menjadi sumber energi utama — seiring dengan status Timur Tengah sendiri sebagai pusat energi global. Ketiga, sektor ini dapat memenuhi kebutuhan tenaga listrik domestik di setiap negara, seiring dengan maraknya kekurangan suplai listrik hingga mengakibatkan gangguan pada sistem perekonomian nasional.

Meski demikian, pengembangan energi terbarukan di Timur Tengah bukan tanpa tantangan. Masih menguntungkannya sektor hidrokarbon dan relasi kuat antara pemerintah dengan perusahaan multinasional di sektor migas menjadi salah satu hambatan utamanya. Ditambah, adanya ilusi terkait “cadangan migas” di kawasan ini yang semakin meningkatkan ketergantungan pemerintah terhadap migas. Selain itu, korupsi dan konflik bersenjata tidak dapat dipungkiri, juga menjadi tantangan, seiring dengan prioritas pemerintah yang harus terbagi ke dalam banyak sektor. Konflik bersenjata juga mengakibatkan sulitnya pihak eksternal untuk melakukan investasi pada sektor ini karena risiko keamanan yang amat besar. Padahal, sebagian negara Timur Tengah tidak memiliki cukup dana untuk mengembangkan energi terbarukan. Pengembangan energi terbarukan di Timur Tengah patut ditunggu dan dianalisis lebih lanjut. Apakah sektor ini akan menjadi katalis bagi pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan hidrokarbon, atau hanya menjadi sekadar lip service atau embel-embel belaka agar Timur Tengah tak lagi berjuluk “kawasan paling tidak ramah lingkungan” secara global?

Referensi

Al Banna, F. (2020, September 13). Renewable Energy in the Middle East | EcoMENA. Diambil 13 November 2020, dari https://www.ecomena.org/renewables-middle-east/

Alharthi, M. (2019). Determinants of Economic Development: A Case of Gulf Cooperation Council (GCC) Countries. International Journal of Economics and Finance, 11, 12. doi: 10.5539/ijef.v11n11p12

Al-Maleki, Y. (2020, Februari 20). Overview of Iraq’s Renewable Energy Progress in 2019. Diambil 14 November 2020, dari Iraq Energy Institute website: https://iraqenergy.org/2020/02/20/overview-of-iraqs-renewable-energy-progress-in-2019/

Al-Saidi, M. (2019). Coastal Development and Climate Risk Reduction in the Persian/Arabian Gulf: The Case of Qatar. Dalam P. G. Harris (Ed.), Climate Change and Ocean Governance (1 ed., hlm. 60–74). Cambridge University Press. doi: 10.1017/9781108502238.004

Bayomi, N., & Fernández, J. (2019). Towards Sustainable Energy Trends in the Middle East: A Study of Four Major Emitters. Energies, 12, 1615. doi: 10.3390/en12091615

Boisgibault, L., & Kabbani, F. A. (2020). Energy Transition in Metropolises, Rural Areas, and Deserts. John Wiley & Sons.

Hvidt, M. (2013). Economic diversification in GCC countries: Past record and future trends (№27; hlm. 54). London: London School of Economics.

IRENA. (2018). Renewable Energy Outlook: Egypt (hlm. 120). Abu Dhabi: International Renewable Energy Agency. Diambil dari International Renewable Energy Agency website: https://www.irena.org//media/Files/IRENA/Agency/Publication/2018/Oct/IRENA_Outlook_Egypt_2018_En.pdf

Kazem, H. A., & Chaichan, M. (2012). Status and future prospects of renewable energy in Iraq. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 16, 6007–6012. doi: 10.1016/j.rser.2012.03.058

Kingsly, K., & Kouam, H. (2020). COVID-19 and Oil Prices. SSRN Electronic Journal. doi: 10.2139/ssrn.3555880

Mourad, M., Abdel-Rahman, A. K., & Ali, Prof. Dr. E., Ahmed Hamza H. (2013). Renewable Energy Technologies Utilization in Egyptian Desert Cities.

O’Sullivan, A., Rey, M.-E., & Mendez, J.-G. (2015). Opportunities and Challenges in the MENA Region (hlm. 27). Cairo: OECD. Diambil dari OECD website: https://www.oecd.org/mena/49036903.pdf

Reuters Staff. (2018, Oktober 2). Softbank says it is working with Saudi PIF on solar power project. Reuters. Diambil dari https://www.reuters.com/article/us-saudi-softbank-group-solar-idUSKCN1MC28T

Solar power shines in oil-rich Saudi Arabia. (2013, Juni 15). Christian Science Monitor. Diambil dari https://www.csmonitor.com/Environment/Energy-Voices/2013/0615/Solar-power-shines-in-oil-rich-Saudi-Arabia

--

--