Hulu Sungai dan Hegemon: Kisruh Hidropolitik di Sungai Nil

Sungai Nil dikenal selama berabad-abad sebagai sumber penghidupan berbagai peradaban besar dunia. Ekosistem liar Afrika pula terjaga oleh keberadaan sungai ini. Namun belakangan, peran ekologis Sungai Nil terusik oleh konflik hidropolitik berkepanjangan.

Alfin Febrian Basundoro
Citrakara Mandala
7 min readAug 14, 2020

--

Sungai Nil, salah satu sungai terpanjang di dunia

Sungai Nil yang merupakan salah satu sungai terpanjang di dunia telah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat di sekitarnya selama berabad-abad. Sungai Nil adalah saksi sejarah; di mana berbagai peradaban besar di kawasan tersebut hidup dan tumbuh karena kesuburan tanah yang terbentuk di sepanjang alirannya. Tak terhitung pula luas vegetasi yang bergantung pada aliran Sungai Nil, terkhusus ekosistem semak belukar dan sabana di Afrika Timur. Namun dalam beberapa dasawarsa belakangan, Sungai Nil menjadi objek sengketa politik berkepanjangan antara kawasan hulu dan hilir. Hingga kini, kisruh tersebut masih berlangsung dan menjadi isu geopolitik tersendiri di kawasan Afrika (Oloo, 2010, hlm. 96).

Hulu Sungai Nil terletak di dua lokasi berbeda: Nil Biru berhulu di Danau Tana, di tengah pegunungan Ethiopia (Machado, 2009). Sementara hulu lainnya (Nil Putih) — yang merupakan titik paling selatan sungai ini — terletak di pegunungan antara Rwanda dan Burundi. Kedua cabang sungai tersebut bertemu di Khartoum, Sudan sebelum akhirnya melintasi ribuan kilometer lagi dan mencapai mulutnya — Laut Mediterania — di Mesir. Daerah aliran sungai (DAS) sungai ini memiliki luas lebih dari tiga juta kilometer persegi yang dikenal sebagai Cekungan Nil, di mana terdapat sebelas negara yang menjadi cakupan cekungan ini. Populasi yang menghuni DAS tersebut telah mencapai 487 juta pada 2016 (Nile Basin Initiative, 2017, hlm. 53).

Peta aliran Sungai Nil

Problematika Hidropolitik

Akar permasalahan geopolitik di Sungai Nil adalah pada perselisihan mengenai pemanfaatan sungai tersebut antara negara hulu Nil Biru (Ethiopia) dan hilir (Mesir). Keduanya merasa memiliki hak untuk semaksimal mungkin memanfaatkan sungai tersebut demi kepentingan nasional masing-masing. Selama ini, Mesir melakukan monopoli atas Sungai Nil dengan sejumlah legitimasi berupa perjanjian dan kesepakatan sejak 1929 (Mbaku, 2020). Memang, Sungai Nil telah menjadi “tulang punggung” bagi keberlangsungan negara tersebut, di mana lebih dari 90 persen kebutuhan air nasional Mesir berasal dari sungai tersebut. Hampir seluruh populasi Mesir menghuni tepian Sungai Nil mengingat wilayah Mesir didominasi oleh Gurun Sahara. Pun, pertanian gandum yang notabene merupakan pangan pokok rakyat Mesir jelas membutuhkan keberadaan aliran Sungai Nil. Masalahnya, Ethiopia yang merupakan negara hulu tidak mengakui kesepakatan tersebut dan tidak ada satu pun perjanjian tersebut yang mengatur mengenai pembagian sumber daya air sungai tersebut.

Ethiopia sendiri membutuhkan arus Sungai Nil guna menggerakkan pusat tenaga listrik. CIA World Factbook pada 2019 mencatat bahwa negara tersebut merupakan salah satu negara paling haus listrik di Afrika, dengan konsumsi tenaga mencapai 9,06 miliar KWh. Dengan ekonomi Ethiopia yang sedang berkembang pesat — efek dari investasi asing besar-besaran sejak 2010-an — mengakibatkan konsumsi energi listrik di negara tersebut terus melonjak. Apalagi, populasi Ethiopia merupakan yang terbesar kedua di Afrika. Untuk memenuhi kebutuhan listrik yang merangkak naik, Pemerintah Ethiopia membangun puluhan pusat tenaga listrik, di mana tujuh di antaranya terletak di kawasan DAS hulu Sungai Nil.

Keuntungan Strategis dan Status Hegemon Ethiopia

Sejatinya, dengan penguasaan Ethiopia atas hulu Nil, posisi politik Ethiopia sangat signifikan. Dibanding Mesir yang memanfaatkan basis legal-formal sebagai sarana untuk memonopoli Sungai Nil, Ethiopia memiliki nilai strategis yang lebih tinggi daripada Mesir secara fisik. Dengan absennya kesepakatan mengenai pembagian sumber daya air, praktis Ethiopia dapat secara bebas memanfaatkan — sekaligus mengontrol — arus Sungai Nil yang amat berharga tersebut. Ditambah, Ethiopia pula didukung oleh sejumlah negara besar — berkat iklim ekonominya dalam beberapa waktu belakangan — dalam hal investasi jangka panjang.

Salah satu proyek besar yang sedang dibangun Ethiopia di Sungai Nil adalah Grand Ethiopian Reconnaissance Dam (GERD) yang dimulai sejak 2011. Pembangkit listrik yang digadang menjadi salah satu yang terbesar di Afrika tersebut diyakini mampu menerangi lebih dari dua juta kepala keluarga di sisi barat Ethiopia dengan suplai energi listrik dengan kapasitas produksi energi mencapai 6.000 Megawatt (The Economist, 2020). Rencananya, pada akhir 2020, bendungan kolosal tersebut rampung dan siap untuk diisi air dengan perkiraan durasi pengisian antara lima hingga 15 tahun. Selain memberikan keuntungan energi listrik secara domestik, GERD pula akan memungkinkan Ethiopia untuk mengekspor tenaga listrik ke negara-negara tetangganya, seperti Sudan, Djibouti, Eritrea, dan Kenya jika terjadi surplus tenaga listrik. Kondisi demikian pula secara laten akan menegaskan status Ethiopia sebagai hegemon regional di Afrika Timur dan meningkatkan kemampuan Ethiopia untuk memproyeksikan kekuatannya secara regional (Beyene, 2017).

GERD yang digadang menjadi pembangkit listrik terbesar di Afrika

Selain itu, keuntungan Ethiopia dari GERD adalah pengembangan kawasan industri di wilayah barat negara tersebut. Tenaga listrik yang dihasilkan akan meningkatkan peluang pembentukan pusat ekonomi baru, terutama di Negara Bagian Benishangul-Gumuz, Gambela, dan Wilayah Selatan. Tentunya, ribuan pekerjaan nonagrikultur akan terbentuk dan mendorong Ethiopia untuk melakukan diversifikasi perekonomian, mengingat selama ini Ethiopia sangat bergantung pada sektor agrikultur, terutama kopi, produk peternakan, dan sayuran (CIA World Factbook, 2020). Ditambah, ditemukannya cadangan minyak di Gambela pula menjadi katalis pertumbuhan ekonomi Ethiopia.

“Tidak akan ada pihak yang mampu menghentikan pembangunan proyek ini (GERD), sekalipun kita harus berperang untuk mempertahankannya, kita telah bersiap untuk segala hal.”
— Abiy Ahmed, Perdana Menteri Ethiopia, 2019

Sikap Mesir dan Konflik Subsekuen

Segala “aji mumpung” bagi Ethiopia di atas jelas membuat Mesir berang. Posisi negara tersebut sebagai “pemilik de jure” Sungai Nil dapat dipastikan kandas. Mesir menilai bahwa dengan GERD dan segala keuntungan Ethiopia sebagai negara hulu, Ethiopia dapat mendominasi kontrol atas Sungai Nil dan dapat mengancam keberlangsungan Mesir di masa depan (Swain, 2020). Di antaranya, suplai air Sungai Nil ke kota-kota besar Mesir akan berkurang, dengan perkiraan suplai per kapita hanya 570 meter kubik per tahun (Piesse, 2019).

Selain itu, suplai air pada lahan pertanian Mesir dinilai sejumlah pengambil kebijakan negara tersebut akan berkurang, di mana waduk-waduk yang didirikan Ethiopia akan menghambat aliran air Sungai Nil ke Bendungan Aswan yang selama ini menjadi pusat irigasi nasional Mesir. Apalagi, tidak ada lagi sumber air tawar di Mesir selain Sungai Nil dan Mesir merupakan negara yang rawan akan krisis iklim, di mana ancaman kekeringan akibat El Nino dan desertifikasi terus menghantui (Piesse, 2019). Argumen-argumen inilah yang agaknya menjadi landasan keinginan Mesir untuk memonopoli Sungai Nil — pada awalnya.

GERD dan Bendungan Aswan, pusat isu hidropolitik Mesir-Ethiopia

Mesir secara tegas menyatakan penolakannya pada proyek tenaga listrik Ethiopia di Sungai Nil, bahkan menurut laporan sejumlah media sebagian petinggi militer Mesir pada 2013 mengusulkan adanya “tindakan tegas secara fisik” terhadap Ethiopia — yang diartikan sebagai tindakan militer (Al Jazeera, 2020). Belakangan, rencana tersebut dikubur dalam-dalam seiring dengan dimulainya sejumlah negosiasi guna membagi kepemilikan atas Sungai Nil seadil mungkin. Hingga kini, negosiasi tersebut masih berjalan dan belum terjadi keputusan absolut untuk mendamaikan kedua pihak.

Negosiasi tentu saja berjalan alot, sekalipun kebanyakan masih bersifat teknis. Misalnya, Mesir menolak rencana Ethiopia untuk mempercepat pengisian waduk GERD hingga lima tahun dan mengusulkan agar waduk tersebut diisi selama 15 tahun — guna mengulur waktu agar Pemerintah Mesir dapat merancang kebijakan pengamanan suplai air tawar. Ethiopia jelas menolak, dengan argumen bahwa kebutuhan tenaga listrik nasional akan terus meningkat. Juga, Ethiopia menilai bahwa pembangunan GERD akan mengurangi aliran sedimen yang mengalir ke negara hilir dan secara tidak langsung, turut menjernihkan air Sungai Nil. Selain itu, GERD pula dipandang akan meningkatkan suplai air untuk Danau Nasser.

Argumen Ethiopia tersebut didukung oleh Sudan yang agaknya menginginkan suplai energi listrik murah dari jaringan tenaga listri Ethiopia barat. Baru-baru ini, negosiasi berjalan di tempat seiring dengan walk out-nya sejumlah delegasi Mesir dalam perundingan. Meski demikian, agaknya konflik antara dua negara belum akan terjadi, sekalipun isu ini belum benar-benar usai.

Referensi

Africa: Ethiopia — The World Factbook — Central Intelligence Agency. (t.t.). Diambil 9 Maret 2019, dari https://www.cia.gov/library/publications/resources/the-world-factbook/geos/et.html

Al Jazeera. (t.t.). Egypt seeks “urgent clarification” over GERD rising water levels. Diambil 12 Agustus 2020, dari https://www.aljazeera.com/news/2020/07/egypt-seeks-urgent-clarification-gerd-rising-water-levels-200716060332700.html

Beyene, M. (2017, Juli 14). How efficient is The Grand Ethiopian Renaissance Dam? Dipresentasikan pada African Union — Hydropower for sustainable development, Addis Ababa. Diambil dari https://www.internationalrivers.org/sites/default/files/attached-files/ethiopiadamefficiency.pdf

Machado, J. (2009, Januari 25). What’s the Blue Nile and the White Nile? — Times of India. Diambil 11 Agustus 2020, dari The Times of India website: https://timesofindia.indiatimes.com/Whats-the-Blue-Nile-and-the-White-Nile/articleshow/4027990.cms

Mbaku, J. M. (2020, Agustus 5). The controversy over the Grand Ethiopian Renaissance Dam. Diambil 11 Agustus 2020, dari Brookings website: https://www.brookings.edu/blog/africa-in-focus/2020/08/05/the-controversy-over-the-grand-ethiopian-renaissance-dam/

Nile Basin Initiative. (2017). The Socio-Economic Profiles of the Nile Basin Countries. Dalam Nile Basin Water Resource Atlas (hlm. 49–74). Entebbe, Uganda.

Oloo, A. (2010). The quest for cooperation in the Nile Water Conflicts: The case of Eritrea. African Sociological Review / Revue Africaine de Sociologie, 11(1). doi: 10.4314/asr.v11i1.51447

Piesse, M. (2019, Juni 13). The Grand Ethiopian Renaissance Dam: Power for Ethiopia, Disaster for Egypt? Diambil 12 Agustus 2020, dari Future Directions International website: http://www.futuredirections.org.au/publication/the-grand-ethiopian-renaissance-dam-power-for-ethiopia-disaster-for-egypt/

Swain. (2020, Agustus 4). Grand Ethiopian Renaissance Dam: Catalyst for basin-wide water cooperation? Diambil 12 Agustus 2020, dari The Africa Report.com website: https://www.theafricareport.com/35797/grand-ethiopian-renaissance-dam-catalyst-for-basin-wide-water-cooperation/

The Economist. (2020, Juli). The bitter dispute over Africa’s largest dam. The Economist. Diambil dari https://www.economist.com/middle-east-and-africa/2020/07/02/the-bitter-dispute-over-africas-largest-dam

--

--