Leadership Dalam Penanganan Kebakaran Hutan Dan Lahan Untuk Bumi Lestari

Seminar SDG's Series
Citrakara Mandala
Published in
5 min readMay 5, 2021

Rubrik Bincang SDGs Seri #64| Oleh: Wida Salsa L

(Sumber: www.pikiran-rakyat.com)

“Membakar hutan adalah salah satu upaya membakar masa depan”

Pepatah tersebut menggambarkan pentingnya hutan bagi kehidupan. Hutan menjadi salah satu objek vital bumi yang wajib dijaga kelestariannya. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kasus kebakaran hutan hampir selalu terjadi setiap tahun di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara dengan kawasan hutan tropis terbesar di dunia, sudah seharusnya memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam upaya pelestarian potensi hutan dan lahan.

Kasus Kebakaran Hutan Dan Lahan (Karhutla) Di Indonesia

Data http://sipongi.menlhk.go.id/ menunjukkan adanya pola penurunan luas lahan hutan terbakar dari tahun 2019–2021 (Gambar 1). Tahun 2019 menjadi puncak kasus karhutla terbesar antara tahun 2016–2021 dengan total luas lahan hutan terbakar mencapai 1.649.258 Ha. Angka ini setara dengan 771 kali luas Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Dari total kasus tersebut, karhutla terbesar terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan. Luas karhutla tahun 2019 pada kedua provinsi tersebut mencapai 300.000 Ha atau setara dengan 140 kali luas Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Tingginya angka luas karhutla di kedua provinsi tersebut tidak lepas dari ketersediaan hutan yang luas dan potensi kebakaran seperti iklim dan trend pembukaan lahan dengan pembakaran yang besar.

Gambar 1: Diagram Luas Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2016–2020
(Sumber: http://sipongi.menlhk.go.id/)

Berdasarkan Grafik Luas Lahan Kebakaran Hutan (Gambar 2) menunjukkan kecenderungan kejadian karhutla tahunan yang paling tinggi pada periode Agustus — September. Hal ini selaras dengan periode puncak musim kemarau yang terjadi di Indonesia. Musim kemarau menjadi salah satu pemicu munculnya titik api yang kemudian berkembang menjadi kebakaran hutan dan lahan.

Gambar 2: Grafik Luas Kebakaran Hutan dan Lahan Tiap Bulan Tahun 2018–2020
(Sumber: http://sipongi.menlhk.go.id/)

Faktor Penyebab

Kebakaran hutan dan lahan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor alami dan faktor kegiatan manusia. Faktor alami berkaitan dengan pengaruh El-Nino sehingga menyebabkan kemarau berkepanjangan. Kemarau ini menyebabkan tanaman menjadi kering dan berpotensi terbakar jika terkena percikan api baik dari percikan batu bara maupun gesekan antar pohon. Disamping faktor alami, manusia juga memiliki pengaruh besar terhadap kebakaran hutan dan lahan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia (Rasyid, 2014). Aktivitas manusia yang menyebabkan karhutla meliputi konversi lahan, pembakaran vegetasi, pembukaan hutan oleh pemegang HPH, sistem perladangan berpindah. Penelitian yang dilakukan Septianingrum (2018) menemukan bahwa faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut berasal dari ulah manusia akibat dorongan kebutuhan ekonomi.

Bahaya Karhutla Berkepanjangan

Kebakaran hutan telah menjadi perhatian global sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kasus karhutla yang berkepanjangan menciptakan berbagai dampak negatif dan kerugian, baik bagi lingkungan maupun bagi masyarakat. Dampak utama adanya karhutla adalah ancaman terhadap penurunan biodiversitas akibat habitat alami yang mengalami kerusakan. Bahkan, dapat menyebabkan kepunahan bagi spesies tertentu yang tidak mampu beradaptasi. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab terjadinya kelangkaan pada berbagai jenis kayu, seperti kayu eboni, kayu ulin, ramin, hingga meranti. Eksistensi flora dan fauna dalam ekosistem hutan membawa peran penting terhadap keseimbangan ekosistem bumi. Peran tersebut digambarkan dengan pepatah “hutan sebagai paru-paru dunia” fungsi hutan dalam pepatah ini sebagai penyedia oksigen di bumi hingga meminimalisir pencemaran udara.

Bahaya karhutla juga dirasakan bagi lingkungan dan manusia. Luapan api yang besar memproduksi gas CO2 dan asap yang juga besar. Dampak kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia tahun 2019 bahkan terasa hingga negara tetangga. Asap yang muncul karena pembakaran ini mempengaruhi stabilitas CO2 di atmosfer. Selain itu, asap yang muncul juga menciptakan dampak buruk terhadap kesehatan pernapasan masyarakat. Penelitian yang dilakukan Putri (2017) membuktikan bahwa kejadian kebakaran hutan tahun 2015 yang terjadi di Riau memberi dampak terhadap kondisi kesehatan jasmani seperti penyakit ISPA, alergi, batuk-batuk dan iritasi mata, hingga terganggunya kenyamanan warga.

Urgensi Leadership Dan Sinergitas Aktor Sektoral

Terkait dengan hal tersebut, pemerintah telah merumuskan strategi koordinasi dengan pendekatan birokratis melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Dalam Inpres tersebut, presiden melibatkan 15 Menteri, tiga Menteri Koordinator dan tujuh Lembaga Pemerintah dalam penanganan masalah karhutla. Melalui inpres tersebut, kegiatan peningkatan pengendalian karhutla meliputi pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran atau pemulihan hutan. Dalam implementasinya, penanganan yang dilakukan masih fokus pada pemadaman dan penanganan pasca kebakaran.

Meskipun demikian, penurunan luas lahan hutan pada periode 2019–2021 ini menunjukkan adanya keberhasilan pemerintah dan masyarakat dalam upaya peningkatan pengendalian karhutla untuk menjaga bumi lestari. Pengelolaan dan pelestarian hutan dalam pembangunan berkelanjutan tidak lepas dari peran leadership dan sinergitas pemerintah dengan lembaga masyarakat. Kunci sukses pembangunan pada dasarnya adalah sistem manajerial yang baik, termasuk bagaimana relasi yang terjalin antara pemerintah dan lembaga masyarakat. Koordinasi yang telah dibangun pemerintah dalam inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan merupakan implementasi sinergitas multipihak. Sinergitas multi pihak seharusnya juga dibangun bersama lembaga/komunitas masyarakat.

Upaya membangkitkan kesadaran dan sifat kepemimpinan pada tiap individu masyarakat juga penting dilakukan. Tingginya kasus karhutla yang disebabkan oleh faktor manusia menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan dalam jangka panjang masih sangat minim. Kondisi ini membuktikan bahwa perlu adanya keterlibatan masyarakat dalam penanganan karhutla sehingga dapat meningkatkan rasa kepedulian akan pelestarian hutan untuk bumi lestari.

Rubrik Bincang SDGs

Rubrik ini merupakan artikel Seminar SDGs Series Departemen Geografi Pembangunan UGM bekerjasama dengan HMGP Citrakara Mandala UGM. Terbit secara berkala setiap satu bulan sekali.

Referensi

Putri, R. (2017). Dampak Kabut Asap Pada Kehidupan Masyarakat Di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Jurnal Spasial: Penelitian, Terapan Ilmu Geografi, dan Pendidikan Geografi, 3(1), 131692.

Septianingrum, R. S. (2018). Dampak Kebakaran Hutan di Indonesia Tahun 2015 dalam Kehidupan Masyarakat. Jurnal Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada.

http://sipongi.menlhk.go.id/ diakses pada 29 April 2020.

Putri, R. (2017). Dampak Kabut Asap Pada Kehidupan Masyarakat Di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Jurnal Spasial: Penelitian, Terapan Ilmu Geografi, dan Pendidikan Geografi, 3(1), 131692.

Septianingrum, R. S. (2018). Dampak Kebakaran Hutan di Indonesia Tahun 2015 dalam Kehidupan Masyarakat. Jurnal Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada.

http://sipongi.menlhk.go.id/ diakses pada 29 April 2020.

--

--

Seminar SDG's Series
Citrakara Mandala

Departemen Geografi Pembangunan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada