Melawan Efek Resesi dengan Ekonomi Kreatif Berbasis Digital

HMGP Citrakara Mandala UGM
Citrakara Mandala
Published in
5 min readOct 3, 2020

Penulis: Raden Bimasakti A, Ahmad Ilham Romadhoni
Divisi Riset dan Keilmuan HMGP UGM 2020
Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada

Ilustrasi krisis di tengah Pandemi. Source: ShutterStock

Pandemi wabah COVID-19 telah membuat dunia terguncang. Berdasarkan data dari WHO, terhitung per 15 Agustus 2020 sebanyak 21.026.758 jiwa telah terinfeksi dan 755.786 jiwa telah terbunuh oleh adanya pandemi ini serta terus meningkat hingga saat ini. Peningkatan kasus tersebut tentu menjadi sinyalemen bahwa pandemi ini belum berakhir.

Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah di masing-masing negara guna meminimalisir potensi penyebaran virus. Di antaranya yakni lockdown wilayah, pembatasan kontak fisik, dan penerapan protokol kesehatan di seluruh wilayah. Sebagian akibat dari adanya kebijakan tersebut, pola kehidupan kehilangan definisi normalnya. Dengan minimnya kontak secara langsung oleh manusia, fenomena yang biasa terjadi tidak bisa berjalan sebaik sebelum adanya pandemi, khususnya sektor ekonomi. Tak hanya perekonomian beberapa individu yang terdampak, melainkan perekonomian dalam skala nasional, bahkan dunia. Aktivitas-aktivitas ekonomi yang mengalami perlambatan dalam perputarannya menyebabkan keseimbangan pasar terganggu yang kemudian menjadikan efek domino berupa menurunnya pertumbuhan ekonomi suatu negara, peningkatan inflasi nasional, serta fenomena resesi ekonomi.

Resesi?

Miraza (2019) mengemukakan bahwa resesi ekonomi pada suatu negara dapat dilihat dari melemahnya sektor ekonomi riil suatu negara yakni sektor yang berkaitan dengan kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi. Ekonom Julius Shiskin (1974) mendefinisikan suatu negara masuk resesi adalah negara yang mengalami pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) negatif selama dua kuartal berturut-turut. Fenomena ini mulai terjadi secara global sebagai dampak dari adanya pandemi COVID-19. Hal tersebut dibuktikan dengan laporan Global Economic Prospects oleh Bank Dunia. Laporan yang rilis pada bulan Juni 2020 menjelaskan dampak COVID-19 terhadap perekonomian di seluruh dunia. Bank Dunia memprediksikan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,2% berdasarkan PDB global.

Bagaimana dengan Indonesia?

Seperti halnya negara-negara lain, Indonesia pun mulai mendekati jurang resesi. Pada bulan Juli 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pertumbuhan Indonesia pada kuartal II 2020 sebesar -5,32% yoy. Angka tersebut memburuk dari kuartal sebelumnya yaitu sebesar 2,97% yoy. Dalam sejarah, kontraksi ini merupakan yang terburuk semenjak kuartal-I 1999, yaitu sebesar -6,13% yoy.

Grafik Pertumbuhan PDB 2018–2020. Source: BPS

Sedangkan pertumbuhan menurut sektor lapangan pekerjaan, hampir semua sektor mengalami penurunan angka pertumbuhan, kecuali sektor informasi dan komunikasi. Berdasarkan 16 sektor yang mengalami penurunan angka pertumbuhan, 9 sektor diantaranya mengalami penurunan angka hingga di bawah nol. Sektor transportasi dan pergudangan mengalami kontraksi terburuk yaitu sebesar 30,84% kemudian disusul oleh sektor akomodasi dan makan minum sebesar 22,02%. Namun, di sisi lain terdapat anomali pada sektor informasi dan komunikasi. Tercatat bahwa sektor informasi dan komunikasi mengalami pertumbuhan sebesar 10,88%. Meningkatnya intensitas aktivitas daring pada masa pandemi merupakan faktor utama tingginya pertumbuhan pada sektor tersebut.

Grafik Struktur dan Pertumbuhan PDB menurut Lapangan Usaha. Source: BPS

Dampak yang dihasilkan dari resesi ini tentu sangat lah besar terhadap kehidupan masyarakat. Lapangan pekerjaan yang menurun, produksi yang menurun, dan pengangguran yang melambung tinggi merupakan dampak dari resesi. Hal tersebut tentu membuat daya beli dan kemampuan investasi masyarakat menurun. Daya beli dan investasi yang menurun membuat roda perekonomian menjadi melambat. Roda perekonomian yang melambat tentu mengakibatkan pembangunan negara menjadi terhambat.

Meskipun Indonesia secara teknis belum terporosok dalam jurang resesi, potensi akan terjadinya resesi masih sangat besar. Ibarat bom waktu, Indonesia tinggal menunggu waktu. Tentu kita tidak menaruh harapan besar pertumbuhan ekonomi positif mengingat pandemi yang masih berlangsung. Namun, mengingat buruknya tanda-tanda resesi, kita sebagai pelaku ekonomi harus berusaha sekuat tenaga untuk meminimalisir dampaknya. Peningkatan sektor ekonomi informasi dan komunikasi tentunya perlu dimanfaatkan sebagai basis untuk mengembangkan ekonomi kreatif berbasis digital. Pemanfaatan ekonomi kreatif berbasis digital merupakan salah satu solusi agar aktivitas ekonomi dapat berjalan dan meminimalisir dampak resesi.

Ekonomi kreatif, bisakah selamatkan Indonesia dari jurang resesi?

Secara sederhana, ekonomi kreatif ialah konsep ekonomi baru yang mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi yang utama. Ide jadi bahan bakar utama dari konsep ekonomi kreatif ini. Menurut Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Indonesia memiliki 16 subsektor yang berkontribusi dalam ekonomi kreatif, meliputi aplikasi dan gim, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fashion, film animasi video, fotografi, kriya, kuliner atau makanan, musik, penerbitan, periklanan, TV dan radio, seni pertunjukkan, dan seni rupa.

Ilustrasi Ekonomi Kreatif. Source: Guneman.co

Dilansir dari Bisnis.com, dua subsektor ekonomi kreatif dengan proporsi terbesar adalah subsektor kuliner dan fashion. Namun, akibat adanya pandemi COVID-19 kedua subsektor andalan tersebut mengalami penurunan. Proyeksi kontraksi ekonomi kreatif ini diperkirakan mulai terlihat dari pertumbuhan pada kuartal I/2020. Pada subsektor pakaian yang menjadi komponen utama fashion mengalami kontraksi sebesar -3,3 persen yoy sedangkan subsektor kuliner melambat menjadi 2,4% yoy.

Meskipun kedua subsektor ekonomi kreatif tersebut mengalami penurunan ataupun kontraksi, tetapi ada subsektor lain yang mungkin pada masa pandemi ini masih mampu tumbuh. Beberapa sektor tersebut adalah subsektor film animasi video, televisi dan radio, periklanan, serta aplikasi dan gim. Subsektor ekonomi kreatif tersebut masih bisa tumbuh di tengah pandemi karena kegiatan terkait dilakukan secara daring dan berbasis digital. Kebijakan pemerintah seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB), lockdown, pembatasan kegiatan fisik, dan lain-lain tidak terlalu berpengaruh terhadap sektor ini. Selain itu, subsektor ekraf digital memiliki kaitan erat pada sektor ekonomi informasi dan komunikasi yaitu infrastruktur internet. Kaitan tersebut memiliki hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme pun terjadi dari pelaku ekonomi sektor informasi dan komunikasi berupa laba dan subsektor ekonomi kreatif digital berupa distribusi informasi ke khalayak luas.

Dengan melihat potensi besar pada sektor ekonomi kreatif digital, pemerintah perlu mendorong pertumbuhan pada sektor tersebut. Pemerintah dapat terlibat dalam ekonomi kreatif melalui pengadaan infrastruktur ekonomi kreatif seperti internet. Internet merupakan salah satu infrastruktur penting agar ekonomi kreatif dapat berjalan dan terdistribusi dengan baik. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan bantuan pelatihan dan modal untuk mendorong produktivitas dari para pelaku ekonomi kreatif. Momen pandemi COVID-19 perlu dimanfaatkan pemerintah sebagai ajang untuk meningkatkan ekonomi kreatif secara maksimal agar pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat terdongkrak serta menjauhkan Indonesia terhadap ancaman resesi ekonomi.

Referensi:

  • Badan Ekonomi Kreatif. (2015). Enam Belas Subsektor Ekonomi Kreatif. Online. Diakses dari https://www.kotakreatif.id/16-subsektor
  • Badan Pusat Statistik. (2020, 5 Agustus). Ekonomi Indonesia Triwulan II 2020 Turun 5,32 Persen. Online. Diakses dari https://www.bps.go.id
  • Bisnis.com. (2020, 29 Mei). Ini Sektor Ekonomi Kreatif yang Untung & Buntung di Tengah Pandemi. Online. Diakses dari https://www.finansial.bisnis.com
  • Miraza, Bachtiar Hassan. (2019). Seputar resesi dan depresi. Jurnal Ekonomi KIAT, vol. 30, no. 2, hal. 11–1
  • Shiskin, Julius. (1974). The Changing Business Cycle. New York: New York Times
  • World Bank. (2020). Global Economic Prospects. Washington DC: The World Bank
  • World Health Organization. (2020, 15 Agustus). WHO Coronavirus Disease (COVID-19) Dashboard. Online. Diakses dari https://covid19.who.int/

--

--