Menimbang Ongkos Sosial Pembangunan Era Jokowi

HMGP Citrakara Mandala UGM
Citrakara Mandala
Published in
8 min readJul 29, 2024

Penulis: Arya Mukti Kusuma Dewa
Editor: Khalisa Ardhi Dhayinta, Aflah Aulya Rachmi [Tim Redaksi Citrakara Mandala]
| Divisi Riset dan Keilmuan
Kabinet Prakarsa Nirmana HMGP UGM 2024

Presiden Joko Widodo akan mengakhiri kepemimpinannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Republik Indonesia tahun ini. Jokowi seringkali dijuluki Bapak Pembangunan layaknya Soeharto dengan segala kebijakan dan program infrastrukturnya. Laporan Capaian Kinerja 2023 yang berjudul “Terus Bertumbuh dan Melaju” mencatatkan berbagai prestasi dalam rentang waktu 2014–2023.

Menurut laporan tersebut, sejak tahun 2014, pemerintah Presiden Jokowi memiliki berbagai pencapaian, seperti pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02% di tahun 2015 yang tertinggi sejak tahun 2005 serta kesuksesan perhelatan ASIAN GAMES pada tahun 2018. Pada periode kedua, setelah memenangkan kontestasi politik 2019, pemerintahan Presiden Jokowi menghadapi tantangan besar, yaitu Pandemi Covid-19 yang disebut-sebut sebagai “game changer” global.

Tampak Atas Rancangan Ibu Kota Nusantara (Sumber: Kompas)

Layaknya kuda lepas dari pingitan, bangsa Indonesia tidak menyerah dalam menghadapi pandemi. Pemerintah berhasil menjaga ekonomi Indonesia dari jurang inflasi, seperti yang dialami negara lain pascapandemi. Prestasi dalam mengatasi dampak ekonomi karena pandemi, diperhias dengan capaian pembangunan Kawasan Strategis Nasional (KSN) Mandalika dan pagelaran MotoGP. Ambisi pembangunan tidak berhenti, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung diresmikan pada tahun 2023 yang didahului oleh proklamir Presiden Jokowi yang akan memindahkan ibu kota negara dan memulai pembangunan megaproyek IKN (Ibu Kota Nusantara). Ambisi pembangunan Jokowi tercermin dari hasil pendapatan investasi mencapai Rp826,3 triliun di tahun 2020 melebihi janji pemerintah hingga tahun 2022 pun masih melampaui targetnya yakni Rp1.207 triliun.

“Meski banyak negara yang menentang dengan cara ini, Indonesia tidak akan menghentikan kebijakan hilirisasi. Sebab kita yakin, akan menjadi lompatan besar kemajuan negara.”

(dikutip dari dokumen Capaian Kinerja Pemerintah 2023: Terus Bertumbuh dan Melaju)

Agenda pembangunan Presiden Jokowi memang terasa mengasyikkan serta menjanjikan kemajuan ekonomi dan modernisasi. Namun, pembangunan ini harus dibayar dengan harga yang lebih dari sekadar pertimbangan finansial. Meskipun pemerintah telah berhasil menarik investasi asing dan domestik untuk membiayai inisiatif-inisiatif ini, pemerintah sering mengabaikan penerimaan, keterlibatan, dan kebutuhan masyarakat lokal. Kelalaian ini telah mengakibatkan ongkos sosial yang harus dibayar, seperti yang terlihat pada peningkatan konflik agraria dan demonstrasi yang meluas. Isu-isu ini mengindikasikan kesenjangan antara kelayakan ekonomi dan keharmonisan sosial dalam mendorong pembangunan nasional.

Upaya mencapai keberlanjutan, kondisi tidak adanya pertukaran antara tujuan ekonomi, sosial, dan ekologi, sangat jarang terjadi; politik cenderung melakukan pertukaran yang menguntungkan ekonomi dengan mengorbankan masalah sosial dan ekologi (Lorek & Spangenberg, 2014). Kondisi tersebut terjadi karena kebingungan tentang bagaimana cara mengukur pembangunan. Potter (2018) menjelaskan terdapat pergeseran paradigma dalam mengukur pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi (1950–1970) dan IPM (1970–2000). Oleh karena itu, terbentuk konsep Pembangunan Berkelanjutan sebagai pendekatan holistik yang memastikan kebutuhan saat ini terpenuhi tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pendekatan ini mencakup dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi (WCED, 1987; Gupta & Vegelin, 2016).

Dalam pembangunan, tanah merupakan sumber daya krusial. Terkait agraria atau tanah, pemerintah era Jokowi menekankan pada aspek legalitas dan land tenurial, oleh karenanya banyak pemberitaan “bagi-bagi” sertifikat tanah oleh presiden ketika kunjungan. Melalui Reforma Agraria yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 dan No. 62 Tahun 2023, pemerintah melegalisasi jutaan hektar tanah, dilaksanakan dengan tujuan untuk memecahkan kebuntuan penyelesaian konflik agraria yang mengendap berpuluh tahun.

Di sisi lain, pemerintah sering berkonflik terkait akuisisi lahan. Perihal akuisisi lahan dan pembangunan, perlu ditarik lebih jauh hingga era pemerintahan SBY yang mengesahkan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Meskipun peraturan ini memberi peluang untuk menggugat keputusan ganti rugi, proses ini memiliki kelemahan. Pertama, mengharuskan pemilik tanah, yang propertinya diambil alih secara paksa, untuk mengajukan gugatan. Hal ini membebani keuangan karena biaya hukum dan tantangan untuk membuktikan bahwa kompensasi yang diberikan oleh pemrakarsa proyek tidak mencerminkan nilai properti yang sebenarnya. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa gugatan ganti rugi sering kali ditolak karena penggugat gagal membuktikan nilai sebenarnya dari tanah mereka (Azis, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa UU No. 2 Tahun 2012 tidak memiliki checks and balances yang memadai dalam menentukan kepentingan umum dan secara tidak proporsional menguntungkan para elit politik dan bisnis untuk mengincar profit (Meckelburg & Wardana, 2024).

Presiden Jokowi menggunakan kerangka hukum ini untuk mewujudkan visi Nawa Cita-nya melalui penyelenggaraan Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini kemudian berujung pada konflik Wadas dan Labuan Bajo. Konflik Wadas adalah sebuah penolakan penambangan batu andesit di Desa Wadas, Purworejo yang diperlukan untuk membangun proyek Bendungan Bener. Bendungan Bener menjadi salah satu penopang Yogyakarta International Airport (YIA) dan KSPN Borobudur. Puspa et al. (2022) menjelaskan proyek penambangan batu andesit di Desa Wadas melibatkan pengeboran, pengerukan, dan peledakan dengan 5.300 ton dinamit hingga kedalaman 40 meter, yang dapat menghancurkan bentang alam dan akan memaksa penduduk untuk hidup dengan kerusakan ekosistem.

Jika penambangan terus berlanjut, hal ini dapat menyebabkan tanah longsor dan kekeringan, mengancam kesejahteraan penduduk desa karena mata pencahariannya bergantung pada hasil perkebunan dan pertanian. Meskipun penambangan tersebut bertujuan untuk mendukung proyek strategis nasional, potensi kerusakan lingkungan yang mengancam hak warga atas lingkungan tidak dapat diabaikan begitu saja. Selain itu, isu pelanggaran HAM juga dilemparkan kepada pemerintah yang menangkap warga Wadas dan pengerahan aparat selama survei tanah. Represi oleh aparat dalam proyek bendungan mengingatkan pada kasus pelanggaran HAM lain di era Orde Baru, tepatnya di Bendungan Kedung Ombo, Boyolali.

Konflik dengan komunitas lokal untuk pembangunan juga terjadi di KSPN Labuan Bajo, terutama proyek “Jurassic Park” Pulau Komodo. Komunitas lokal di dalam taman nasional direlokasi dari Loh Liang ke Desa Komodo, jauh dari tempat mereka mencari ikan dan bertani. Lahan tradisional mereka diubah menjadi kantor taman nasional, pusat pengunjung, dan pintu masuk wisatawan (Dale & Afioma, 2020). Komunitas ini menghadapi penindasan dengan kekerasan oleh pejabat negara dan penjaga Taman Nasional Komodo, yang seolah-olah untuk melindungi status Warisan Dunia. Rencana pembangunan jalan baru untuk akses ke lokasi juga mengalami penolakan. Klaim bahwa pembangunan jalan adalah untuk kepentingan umum, sehingga tunduk pada Undang-Undang Pengadaan Lahan, telah digunakan untuk mempercepat proyek tersebut. Masyarakat Racang Buka, Lancang, dan Nggorang menolak menyerahkan tanah mereka untuk pembangunan jalan dan menentang pembangunan lokasi pariwisata di Hutan Bowosie karena kekhawatiran akan dampaknya terhadap pasokan air (Nggarang, 2022).

Ongkos pembangunan lain yang dibayar Presiden Jokowi tercermin pula dari sentimen negatif mengenai kualitas demokrasi Indonesia. Power (2018) menyebutkan tiga hal yang menunjukkan kemunduran demokrasi di bawah Jokowi, yaitu pengarusutamaan dan legitimasi yang terus berlanjut atas Islam politik yang konservatif dan anti-pluralistik, manipulasi partisan terhadap lembaga-lembaga kunci negara, dan semakin terbukanya penindasan dan pelemahan oposisi politik, mengurangi pilihan demokratis dan melemahkan pertanggungjawaban pemerintah. Koalisi yang gemuk, kuatnya posisi pemerintahan, dan pelemahan oposisi menghasilkan checks and balances yang berantakan.

Beberapa undang-undang kontroversial disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat menuai kritik dari masyarakat. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru mengancam hak-hak sipil dan politik dengan dalih menjaga ketertiban umum (Winata et al., 2020). Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi direvisi, sehingga melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Irawati, 2020). Peraturan pertambangan baru diperkenalkan, yang memprioritaskan aktivitas bisnis di sektor sumber daya alam Indonesia tanpa mempertimbangkan dampak sosio-ekologis secara memadai (Amatullah et al., 2020). Pada masa jabatannya yang kedua, Presiden Jokowi juga mengesahkan UU Cipta Kerja melalui Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Oktober 2020.

Di sisi lain, gugus tugas RUU Ciptaker menuai kritik karena dominasi kelompok yang terkait dengan bisnis dan pemerintah, tanpa ada perwakilan dari kelompok buruh (Arifin et al., 2022). UU yang seharusnya menciptakan pekerjaan malah mengabaikan pekerja. Para pemerhati lingkungan juga khawatir bahwa undang-undang tersebut membatasi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan lingkungan, terutama peran para ahli ekologi dalam menilai implikasi lingkungan (Sembiring et al., 2020).

Penguasaan presiden terhadap alat-alat negara seperti aparat terlihat pada reponsnya saat demonstrasi UU Cipta Kerja. Penggunaan aparat polisi untuk mengumpulkan informasi intelijen untuk mengidentifikasi perbedaan pendapat di kelompok buruh dan masyarakat umum, menekankan cara Jokowi dalam menghadapi pertentangan. Pemerintah melalui aparat menggunakan kekerasan, gas air mata, dan meriam air untuk membubarkan kerumunan massa, yang berujung pada penangkapan ratusan demonstran.

Menjelang akhir jabatannya, bahasan IKN sebagai warisan Jokowi sangat tidak asing. Ibu kota baru dianggap sebagai warisan Presiden Jokowi terbesar, yang bertujuan untuk mengangkatnya ke status yang sama dengan para pendahulunya (Yuliana & Atikurrahman, 2022). Dalam konsep kekuasaan Jawa, lokasi geografis pusat ibu kota memiliki lebih dari sekadar keuntungan praktis untuk pembangunan daerah dan efektivitas politik dan pemerintahan, seperti yang sering disoroti oleh para ahli geografi dan ilmuwan sosial (Rossman, 2018). Pemindahan ibu kota merupakan megaproyek jangka panjang yang tidak dapat diselesaikan dalam masa kepresidenan Jokowi saja. Kondisi ini mendesak Jokowi untuk melakukan “cawe-cawe”, yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran etika demokrasi selama pemilu 2024.

Seiring dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo, warisan proyek-proyek infrastruktur ambisius dan inisiatif pertumbuhan ekonomi menempatkan Indonesia pada posisi yang baik untuk kemajuan jangka panjang, namun menghadirkan tantangan dalam hal inklusi sosial dan kelestarian lingkungan. Keberhasilan inisiatif ini di masa depan bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menyeimbangkan ambisi ekonomi dengan hak-hak dan kesejahteraan warganya. Pemerintahan berikutnya harus memprioritaskan pembangunan yang inklusif, memperkuat peraturan lingkungan hidup, menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. Komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan dapat memastikan keseimbangan yang harmonis antara pertumbuhan ekonomi, kesetaraan sosial, dan pelestarian lingkungan. Dengan belajar dari pengalaman masa lalu, Indonesia dapat melanjutkan perjalanannya untuk menjadi negara yang makmur dan adil, mewujudkan “Kesejahteraan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Referensi

Amatullah, N., Setyadani, N. A., & Ramadhanty, S. (2020). The Extension of the Special Business Mining License (IUPK) under The Law №3 of 2020 of the Coal and Mineral Mining: Pro or Cons?. LEGAL BRIEF, 10(1), 39–49. http://legal.isha.or.id/index.php/legal/article/view/29

Arifin, M. Z., Nugroho, W. B., Cortés, A. M. N., & Purnama, P. (2022). The ratification of omnibus law: a sign of democratic deconsolidation in Indonesia. JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo), 6(1), 13–28. https://doi.org/10.21580/jsw.2022.6.1.9666

Azis, M. (2016). Indonesia Should Make Land Acquisition More Transparent and Participatory. The Conversation, 15 December. https://theconversation.com/indonesia-should-make-land-acquisitions-more-transparent-and-participatory-67565

Dale, C. J. P., & Afioma, G. (2020). Puzzling Confluence of Conservation and Ecotourism in Komodo National Park, Indonesia. Japan-ASEAN Transdisciplinary Studies Working Paper Series (TDWPS), 10, 1–18. https://doi.org/10.14989/tdwps_10

Gupta, J., & Vegelin, C. (2016). Sustainable development goals and inclusive development. International Environmental Agreements, 16(3), 433–448. https://doi.org/10.1007/s10784-016-9323-z

Irawati, A. C. (2020). Pros and cons of the Corruption Eradication Commission in the perspective of law politics. Proceedings of the International Conference on Law, Economics and Health (ICLEH 2020). https://doi.org/10.2991/aebmr.k.200513.008

Lorek, S., & Spangenberg, J. H. (2014). Sustainable consumption within a sustainable economy — beyond green growth and green economies. Journal of Cleaner Production, 63, 33–44. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2013.08.045

Meckelburg, R., & Wardana, A. (2024). The political economy of land acquisition for development in the public interest: The case of Indonesia. Land Use Policy, 137, 107017. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2023.107017

Nggarang, Y. (2022). Bowosie: Bisnis Orang Pusat di Labuan Bajo. Floresa. https://www.floresa.co/2022/04/22/bowosie-bisnis-orang-pusat-di-labuan-bajo

Pemerintah Indonesia. (2023). Capaian Kinerja Pemerintah 2023: Terus Bertumbuh dan Melaju. Diakses dari: https://capaiankinerja.presidenri.go.id/

Potter, R., Binns, T., Elliott, J., Nel, E., & Smith, D. W. (2018). Geographies of Development: An Introduction to Development Studies, 4th Edition. Routledge. https://eprints.brighton.ac.uk/17828/

Power, T. P. (2018). Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s democratic decline. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(3), 307–338. https://doi.org/10.1080/00074918.2018.1549918

Puspa, F. N., Dayani, G. W., & Nurhayati, N. (2022, September). Juridical Review of The Wadas Village Dispute Based on The Law on Environmental Conservation and Management. In Proceeding International Conference Restructuring and Transforming Law (pp. 314–323).

Rossman, V. (2018). Capital Cities: Varieties and patterns of development and relocation. https://doi.org/10.4324/9781315735061

Saiful, A., & Sholecha, E. M. A. (2022, December). Violence in Wadas. In 1st International Seminar on Sharia, Law and Muslim Society (ISSLAMS 2022) (pp. 320–329). Atlantis Press.

Sembiring, R., Fatimah, I., & Widyaningsih, G. A. (2020). Indonesia’s Omnibus Bill on Job Creation: a Setback for Environmental Law?. Chinese Journal of Environmental Law, 4(1), 97–109. https://doi.org/10.1163/24686042-12340051

WCED. (1987). Our Common Future. World Commission on Environment and Development. Oxford: Oxford University Press.

Winata, M. R., Sinaga, E. M. C., Sabila, S., & Yulistyaputri, R. (2020). CRIMINAL LEGAL POLICY AND UNCONSTITUTIONALITY ON CONTEMPT OF RULER OR PUBLIC BODY. Jurnal Hukum dan Peradilan, 9(1), 71. https://doi.org/10.25216/jhp.9.1.2020.71-98

Yuliana, N., & Atikurrahman, M. (2022). Ibu Kota Negara yang (tak) Dirindukan: Kendi Nusantara, Jawaisme Jokowi, dan Semiologi Barthesian. Jurnal Ilmiah FONEMA: Jurnal Edukasi Bahasa dan Sastra Indonesia, 5(2), 104–128.

--

--