Mewujudkan Tujuan G20 Net Zero Energy (NZE) Melalui Inovasi SI DOEL (Integrated Dye Sensitized Solar Cell (DSCC) 2 In 1 Technology) Di Daerah 3T

HMGP Citrakara Mandala UGM
Citrakara Mandala
Published in
10 min readMar 17, 2023

--

Amilia Valentina Putri Marta | SMAN 1 Glagah Banyuwangi
Juara 1 Regional Development Scientific Competition BATARA#6 HMGP 2022

G20 (Group of Twenty) adalah kelompok informal dari 19 negara dan Uni Eropa, serta perwakilan dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB). G20 memiliki posisi strategis karena secara kolektif mewakili sekitar 65% penduduk dunia, 79% perdagangan global, dan setidaknya 85% perekonomian dunia. Forum ini diawali dengan pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral pada 1999 silam berkat saran dari menteri keuangan G7 (Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis). Para menteri dan gubernur bank sentral G20 mengadakan pertemuan untuk membahas krisis keuangan global 1997–1999. Kini pertemuan tersebut telah berkembang menjadi agenda puncak tahunan yang melibatkan kepala negara dan pemerintahan dari negara-negara anggota G20 salah satunya Indonesia. Indonesia telah menjadi anggota G20 sejak forum internasional ini terbentuk. Melansir situs Kementerian Keuangan, kala itu Indonesia tengah menghadapi pemulihan pasca krisis moneter 1997–1998 dan dinilai sebagai emerging economy di kawasan Asia. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia hadir dalam G20 mewakili negara berkembang dari kawasan Asia Tenggara dan dunia Islam.

Indonesia saat ini tengah menggelar hajatan penting, yakni Presidensial G20 yang diselenggarakan mulai 1 Desember 2021 hingga KTT G20 di bulan November 2022 yang akan datang. Ini berarti Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan G20 selama setahun penuh. Presidensi G20 Indonesia 2022 saat ini mengambil tema “Recover Together, Recover Stronger”. Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan. Peran Indonesia dalam G20 lainnya adalah mengusulkan sejumlah inisiatif, di antaranya Global Expenditure Support Fund (GESF), Global Infrastructure Connectivity Alliance (GICA), Inclusive Digital Economy Accelerator (IDEA Hub) dan NetZero Energy (NZE).

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada hari, Kamis (10/2), meluncurkan Transisi Energi Net Zero Energy (NZE) pada G20. Forum ini diharapkan menjembatani fokus Indonesia mendorong negara maju dan berkembang pada keanggotaan G20 untuk mempercepat proses transisi energi serta memperkuat sistem energi global yang berkelanjutan energi efisiensi akan memperkuat jalur G20 dan seluruh negeri menuju energi transisi yang adil, terjangkau, dan aman. Selain itu, efisiensi energi juga akan menjadi sektor yang menguntungkan, yang menyediakan pekerjaan yang layak dan berkelanjutan. IEA World Energy Outlook memperkirakan bahwa efisiensi energi berpotensi untuk menyediakan sekitar 3 juta pekerjaan atau sekitar 10% dari seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan energi bersih, hingga tahun 2030. Oleh karena itu, efisiensi energi tidak boleh diabaikan dalam meningkatkan strategi dan tindakan untuk mencapai SDGs dan Net Zero Energy (NZE).

Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan agenda pembangunan berkelanjutan yang menghasilkan 17 tujuan global. Diantara 17 tujuan global tersebut terdapat tujuan yang sangat diprioritaskan di Indonesia yaitu SDGs poin ke 7 terkait akses energi yang terjangkau. Namun, dalam perkembangannya penerapan SDGs poin ke 7 tersebut memiliki hambatan dalam menyelesaikan permasalahan salah satunya adalah krisis energi listrik. Ketersediaan energi listrik sudah menjadi cerminan pembangunan setiap negara. Kekurangan energi listrik dapat mengganggu aktivitas manusia. Namun, negara Indonesia memiliki ribuan pulau yang terbentang sepanjang 5.245 km dari barat ke timur, yang membuat pemerataan energi listrik hanya berpusat di wilayah tertentu. Kondisi topografi Indonesia yang beragam seperti banyaknya gunung dan bukit, menjadikan kesulitan dalam mengakses ketersediaan listrik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T). Berdasarkan statistik ketenagalistrikan (2014) total penjualan tenaga listrik nasional mencapai 221.296 GWh (gigawatt-jam). Penggunaan listrik terbesar pada urusan publik dan sektor perumahan dengan proporsi sebesar 70 persen dan diikuti dengan sisanya digunakan usaha komersial dan dan industri. Kebutuhan energi listrik akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk (BPTP, 2017).

Penyediaan listrik belum menjangkau seluruh daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T) di Indonesia karena berbagai alasan dan kendala. Pembangunan infrastruktur jaringan listrik untuk daerah-daerah terpencil memerlukan investasi yang besar sementara kebutuhan listrik semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dan pertambahan penduduk (Sambodo, 2020). Alokasi dana desa masih rendah, sehingga diharapkan bisa menjadi bagian solusi strategis peningkatan kualitas hidup masyarakat pedesaan termasuk di dalamnya infrastruktur kelistrikan. Sumber energi yang selama ini digunakan sebagian besar berasal dari bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, gas alam dan lainlain (Suharyati, 2019). Bahan bakar fosil merupakan sumber energi yang tidak terbarukan, yang semakin hari semakin menipis ketersediaan nya.

Pembangunan Pembangkitan Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai salah satu solusi masalah dalam krisis energi di daerah 3T. Selain dapat memenuhi kebutuhan energi listrik, juga memiliki berbagai keuntungan sebagai energi bersih, ramah lingkungan, energi terbarukan, dan tidak akan habis. Panel surya memiliki umur investasi jangka panjang, sehingga sangat cocok untuk iklim daerah tropis seperti Indonesia, mudah dipasang dan dirawat, awet, bandel dan tahan cuaca (Agung, 2019). Kendala lain, kebanyakan pemenuhan listrik di daerah 3T menggunakan generator set (Genset) listrik berbahan bakar solar dengan harga mahal. Penggunaan solar dalam menghidupkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) juga menimbulkan efek lain berupa pencemaran udara akibat emisi gas karbon dioksida (CO₂).

Dye Sensitized Solar Cells (DSSC) merupakan sel surya yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik yang ramah lingkungan. Dye digunakan untuk menggantikan material inorganic silikon pada sel surya. Proses fotosintesis terjadi penyerapan energi cahaya dapat mengakibatkan terlepasnya elektron berenergi tinggi dari klorofil, selanjutnya disalurkan dan ditangkap oleh akseptor elektron. Sehingga dye dapat digantikan dengan proses pembentukan klorofil pada tanaman.

Daun pepaya (Carica papaya L.) tanaman herbal yang belum dimanfaatkan secara optimal, selain itu daun pepaya memiliki klorofil yang berpotensi untuk dijadikan pengganti Ruthenium dalam pembuatan dye. Mikroalga (Chorella Sp.) ketersediaan nya mudah ditemukan dan terdapat hampir di seluruh Indonesia. Chorella Sp. berperan untuk dapat menangkap konsentrasi CO₂ bersama cahaya untuk proses fotosintesis sehingga menghasilkan O₂. Penerapan ini merupakan alternatif dalam penyediaan energi listrik di daerah 3T dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yaitu menyediakan energi listrik yang ramah lingkungan dan terjangkau di daerah 3T.

Potensi Daun Pepaya dan Mikroalga Sebagai Pembuatan Dye

Penerapan Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) sebagai sumber energi alternatif dengan material sel surya baru dengan reaksi fotoelektrokimia. Dye digunakan untuk menggantikan material inorganic silikon pada sel surya. Proses fotosintesis yang mengubah energi cahaya menjadi energi kimia merupakan dasar pendekatan kimiawi untuk proses perubahan energi cahaya menjadi energi listrik pada DSSC. Pewarna yang biasa digunakan adalah Ruthenium (Ru) kompleks seperti ini jenis pewarna sintetis hampir mendekati murni sehingga menghasilkan efisiensi 11% (Maulana et al., 2015). Karena pewarna Ruthenium adalah memiliki biaya yang tinggi dan sulit untuk didapatkan, alternatif yang digunakan adalah zat pewarna klorofil diperoleh dari daun pepaya dan mikroalga (Chorella sp.). Dye pada DSSC berperan sebagai penangkap foton yang kemudian terjadi proses eksitasi elektron pada molekul dye sehingga menghasilkan energi listrik. Tingkat absorbsi klorofil sangat bergantung pada konsentrasi klorofil yang dipengaruhi oleh jumlah daun yang digunakan, konsentrasi pelarut dan lama waktu pelepasan klorofil. Eksplorasi kandungan klorofil beberapa tanaman sebagai pembuatan dye disajikan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 1. Kandungan Klorofil pada Tanaman. Sumber: Setiari dan Nurcahyati (2009).

Berdasarkan pada tabel diatas, pepaya memiliki kandungan klorofil yang tinggi yang mencapai 29.5975 mg/l dan Chorella sp. memiliki kandungan klorofil terendah yaitu 8.1605 mg/l. Pembuatan dye pada daun pepaya digunakan untuk potensi klorofil untuk menghasilkan aliran elektron pada DSSC dengan reaksi fotoelektrokimia dan Chorella sp. digunakan untuk fiksasi karbon dioksida (CO₂) yang di konversikan menjadi oksigen (O₂) secara fotobioreaktor. Mekanisme kerja diawali dengan proses fotosintesis pada tanaman yang dilakukan secara reaksi reduksi oksidasi yang dikendalikan oleh energi cahaya yang diserap oleh klorofil, dimana CO₂ dan air dikonversi menjadi karbohidrat (C₆H₁₂O₆) dan O₂. Pada reaksi terang yang menggunakan cahaya matahari akan terjadi proses penyerapan cahaya oleh molekul zat warna dan akan mengalami eksitasi elektron. Oleh karena itu, dye harus mempunyai kandungan klorofil yang tinggi, mempunyai serapan yang kuat di daerah cahaya yang tampak untuk menerima elektron molekuler.

Proses Pembuatan Dye Sensitized Solar Cell (DSSC)

Menurut Rakhman (2014) menyatakan bahwa proses pembuatan Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) menggunakan struktur berlapis, yaitu dengan cara menggabungkan dua kaca TCO dengan lapisan yang berbeda. Kaca Pertama (Fotoelektroda) yaitu terdiri dari lapisan past TiO₂ yang telah direndam dengan larutan klorofil dan larutan elektrolit, sedangkan kaca kedua terdiri dari lapisan karbon sebagai elektroda lawan (counter-electrode).

Gambar 1. Struktur Berlapis DSSC.

Proses pembuatan DSSC diawali dengan pembuatan dye, dengan menggunakan prinsip ekstraksi klorofil dari daun pepaya dan Chorella Sp. dengan menggunakan aquades sebagai pelarut sebanyak 50 ml. Pada pembuatan pasta TiO₂, Polyvinyl Alcohol (PVA) sebagai perekat ditambahkan aquades, selanjutnya campuran diaduk dengan magnetic stirring pada temperatur 80°C selama kurang lebih 30 menit. Hingga larutan mengental dan homogen. Pasta TiO₂ yang telah rata pada permukaan kaca kemudian proses firing dalam tungku listrik selama 30 menit pada temperatur 450°C agar terjadi kontak yang baik antara pasta dengan kaca TCO. Lapisan TiO₂ kemudian direndam dalam larutan dye selama kurang lebih 30 menit, kemudian lapisan TiO₂ akan menjadi berwarna hijau daun. Terakhir pemberian elektrolit dengan cara diteteskan menggunakan pipet sebanyak 0,25 ml. Larutan elektrolit digunakan sebagai transport elektron dari karbon ke dye. Kemudian dilakukan proses perakitan untuk membentuk sel surya. Perakitan dilakukan dengan cara menempelkan kaca TCO fotoelektroda dan kaca TCO counter-elektrode (Maulana, 2015).

Gambar 2. Desain DSSC.

Potensi SI DOEL sebagai Pengembangan Renewble Energy Of Smart Power Cells

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia, menjadi alternatif dalam penyediaan listrik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T). Sistem yang digunakan dengan penerapan Solar Home System (SHS) yang berskala kecil dengan modul surya 50–100 WP (Watt Peak) dan menghasilkan listrik harian sebesar 150–300 Wh dengan sistem aliran listrik DC (Direct Current). Karena sistemnya yang kecil dan dipasang secara desentralisasi (satu rumah satu pembangkit), sehingga tidak memerlukan jaringan distribusi.

Prinsip kerja dari DSSC adalah jika cahaya matahari mengenai panel surya, maka elektron-elektron yang ada pada sel surya akan bergerak, sehingga pada terminal keluaran dari panel surya akan menghasilkan energi listrik. Keluaran dari panel surya ini adalah berupa listrik arus searah (DC) yang besar tegangan keluarnya tergantung dengan jumlah sel surya yang dipasang di dalam panel surya dan banyaknya sinar matahari yang menyinari panel surya tersebut. Sehingga konversi listrik arus serah (DC) untuk mengubah hasil keluaran listrik dari PLTS ini berupa listrik arus bolak-balik (AC) maka dihubungkan dengan inverter DCAC. Selain itu, terdapat breaker panel yang berfungsi untuk mencegah kerusakan terjadi pada sirkuit listrik dikarenakan arus berlebihan. Battery bank untuk menyimpan arus listrik yang dihasilkan panel surya. Smart meter digunakan untuk mengukur pemakaian listrik di rumah.

SI DOEL merupakan akronim dari Integrated Dye Sensitized Solar Cell (DSCC) 2 In 1 Technology dengan kombinasi klorofil daun pepaya dan miroalga sebagai renewble energy of smart power cells. Konsep 2 in 1 disini memiliki arti yaitu memiliki 2 output dalam integrasi 1 teknologi. Output pertama, penerapan SI DOEL akan menghasilkan renewble energy of smart power cells. Selain itu, output yang kedua yaitu kombinasi daun pepaya dan mikroalga sebagai bahan penyusun teknologi SI DOEL bersifat material sustainable dan green environment. SI DOEL merupakan sebuah panel surya organik yang terdiri dari berbagai material penyusun yang dirakit menjadi komponen panel surya.

Gambar 3. Desain SI DOEL.

Keuntungan dari pembuatan SI DOEL berbasis Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) merupakan alternatif dalam pengembangan sel surya dengan pemanfaatan dye dari klorofil daun pepaya (Carica papaya L.) dan mikroalga (Chorella Sp.) yang ramah lingkungan, bebas polusi udara, terjangkau dan mudah digunakan. Sehingga dapat membantu pemerintah dalam mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.

Analisis Kelayakan dan Implementasi SI DOEL

Energi yang dihasilkan oleh SI DOEL bergantung pada luasan dari DSSC, konsentrasi dye klorofil yang digunakan serta cahaya matahari. Berdasarkan Pramono (2013), ekstrak klorofil jathropa memiliki nilai efisiensi tegangan maksimal (Vₘₐₓ) sebesar 146 mV dan 122 mV. Berdasarkan uraian tersebut, maka SI DOEL ini layak jika diimplemtasikan di Indonesia terutama di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T). Hal itu dikarenakan SI DOEL memilki keunggulan yaitu antara lain, terintegrasi tidak menggunakan grid, teknik pengaplikasiannya mudah karena masyarakat awam pun bisa, dan biaya operasional murah serta ramah lingkungan. Selain itu, keunggulan lain adalah perawatannya mudah serta tahan kondisi hujan. Dalam mewujudkan teknologi SI DOEL pada masyarakat Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T) diperlukan sebuah strategi dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga SI DOEL dapat diaplikasikan masyarakat. Pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi teknologi ini pada Tabel 2.

Tabel 2. Pihak-Pihak Terkait dalam Implementasi SI DOEL.

Sehingga dengan adanya multy benefit otput dari inovasi SI DOEL mampu menyelesaikan dua permasalahan sekaligus yaitu permasalahan ketersediaan bahan bakar fosil dan energi listrik pada daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T) serta mampu mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) dan tujuan G20 yaitu dalam hal mewujudkan Net Zero Energy (NZE), pangan, dan menyelesaikan permasahalan global.

Tulisan ini adalah hasil publikasi karya artikel pemenang lomba Regional Development Scientific Competition. Diselenggarakan oleh HMGP dalam Birthday Tahunan Raya ke-6 Tahun 2022 (BATARA #6).

Referensi

Badan Pusat Statistik (BPS). 2017. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2015–2024 Statistik Indonesia. Jakarta.

Agung, F. 2019. Kejar Target Elektrifikasi, Program LTSHE Tahun 2019 Prioritaskan Papua dan NTT. Diakses pada 2 September 2022 dari Berita Industri Kontan: https://industri.kontan.co.id/news/kejar-target-elektrifikasiprogram-ltshe-tahun2019-prioritaskan-papua-dan-ntt

Maulana, E., Pramono, S. H., Fanditya, D. dan Julius, M. 2015. Effect of Chlorophyll Concentration Variations from Extract of Papaya Leaves on Dye-Sensitized Solar Cell. International Journal of Electrical and Computer Engineering. Vol 9 (1): 49–52.

Pramono, S. H., Eka M. dan Teguh, U. 2013. Organic Solar Panel Cell Based On Extraction Of Papaya (Carica papaya) And Jathropha (Ricinus communis) Leaves In DSSC (Dye Sensitized Solar Cell). Proceeding Of International Conference On Education, Technology and Science. Purwokerto: Jawa Tengah. Hal. 248–251. ISBN 978–602- 14930–0–7.

Rakhman, D.F. 2014. Pengaruh Variasi Konsentrasi Klorofil terhadap Daya Keluaran Dye-Sensitized Solar Cell (DSSC). Skripsi Fakultas Teknik. Universitas Brawijaya. Malang.

Sambodo, M. T. 2020. Riset: Masyarakat Indonesia Masih Kekurangan Energi Listrik. Diakses pada 2 September 2022 dari The Conversation: https://theconversation.com/riset-masyarakat-indonesia-masihkekuranganenergi-listrik-dan-energi-bersih-untuk-memasak-135734

Setiari,N. dan Nurchayati, Y. 2009. Eksplorasi Kandungan Klorofil pada beberapa Sayuran Hijau sebagai Alternatif Bahan Dasar Food Supplement. Jurnal Bioma. Vol 11 (1) : 6–10.

Suharyati, dkk. 2019. Outlook Energi Indonesia 2019. Jakarta: Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional.

--

--