Perubahan Paradigma Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur Pascabencana Gempabumi Cianjur menuju Infrastruktur Tahan Lama, Berkualitas dan Berkelanjutan

HMGP Citrakara Mandala UGM
Citrakara Mandala
Published in
5 min readMar 22, 2023

Nodal Grup A | Sayembara Artikel Regional Development in Action HMGP 2022

Gempabumi bermagnitudo 5,6 SR mengguncang Kabupaten Cianjur pada hari Senin, 21 November 2022 pukul 13.21 WIB. Berdasarkan data BNPB, gempa ini mengakibatkan kerusakan infrastruktur seperti rumah rusak sejumlah 22.198 unit. Kerusakan infrastruktur yang cukup banyak ini disebabkan oleh sifat gempabumi di Cianjur ini sebagai akibat episentrum gempa yang dangkal dan kuat. Perlu diketahui bahwa gempa dengan skala 4–5 SR saja dapat mengakibatkan kerusakan yang cukup signifikan jika episentrum terjadinya bencana termasuk dalam kategori dangkal. Pakar kebencanaan dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meliano, dalam laporan BBC News Indonesia yang ditulis Muhammad Irham (2022) menyatakan bahwa gempabumi di Cianjur merupakan gempa dengan siklus 20 tahunan. Namun, literasi masyarakat mengenai bencana yang cukup rendah mengakibatkan tewasnya ratusan jiwa dan kerusakan yang masif. Salah satu alasan mengapa kerusakan yang diakibatkan oleh Gempabumi Cianjur ini adalah struktur bangunan yang tidak tahan gempa meski daerah ini merupakan daerah rawan bencana gempa dengan potensi tinggi karena aktivitas Sesar penyebab gempabumi ini, yakni Sesar Cimandiri yang cukup aktif mengingat kedekatannya dengan sumber energi gempa subduksi (Effendi, 2022). Hal ini tentu menjadi alarm tersendiri utamanya bagi pemerintah dalam merekontruksi wilayah terdampak bencana sebagai bagian dari manajemen pascabencana untuk lebih memperhatikan strukur bangunan yang akan dibangun karena daerah ini mungkin akan mengalami gempabumi kembali di masa mendatang. Selain itu, ini juga menjadi pengingat bagi pemerintah dalam membangun infrastruktur di Kabupaten Cianjur mengingat pemerintah memasukkan Kabupaten Cianjur ke dalam kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur.

Gempa Cianjur. Sumber: Republika.

Berdasarkan Perpres no 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur, Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur yang mencakup seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, serta sebagian wilayah Kabupaten Cianjur merupakan Kawasan Perkotaan yang ditujukan sebagai pusat kegiatan perekonomian berskala internasional, nasional, maupun regional yang terintegrasi antara satu kawasan dengan kawasan lainnya, berbasis daya dukung lingkungan dan memiliki keterpaduan dalam pengelolaan kawasan. Sebagai pusat perekonomian tentu saja infrastruktur yang ada harus berkualitas, berkelanjutan, dan tahan lama. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan Sustainable Development Goals 2030, tujuan 9 yaitu membangun infrastruktur yang tahan lama, mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan dan membantu perkembangan inovasi dengan salah satu targetnya adalah membangun infrastruktur yang berkualitas, dapat diandalkan, berkelanjutan dan tahan lama, termasuk infrastruktur regional dan antar batas, untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia, dengan berfokus pada akses yang terjangkau dan sama rata bagi semua. Berkaitan dengan hal tersebut, maka untuk menunjang wilayah ini sebagai pusat perekonomian, infrastruktur untuk Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur ini haruslah memperhatikan aspek ketahanan gempa. Apalagi jika ditelisik lebih jauh, Kawasan Inti dari kawasan perkotaan ini yakni Provinsi DKI Jakarta juga merupakan kawasan yang terancam bencana gempa bumi. Hal ini tidak terlepas dari sejarah masa lalu dimana pernah terjadi gempa besar pada tahun 1780 dan 1834 yang disebabkan oleh Sesar Baribis yang membentang melewati beberapa kecamatan di Provinsi DKI Jakarta yaitu Kecamatan Cipayung, Kecamatan Ciracas, Kecamatan Pasar Rebo, dan Kecamatan Jagakarsa (Hanifan, 2017). Perlu adanya usaha untuk meminimalisir dampak yang diakibatkan jika suatu waktu terjadi gempabumi di Jakarta sehingga memberikan efek domino khususnya ke daerah di sekitarnya −dalam hal ini Jabodetabek-Punjur− dan ke perekonomian di Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, harus dilakukan peningkatan kualitas, keberlanjutan, dan ketahanan infrastruktur yang lebih tahan gempa sebagai bagian dari introspeksi pascabencana gempabumi di Cianjur sebagai upaya mitigasi bencana di Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur.

Sumber: tirto.id

Dalam rangka mewujudkan infrastruktur yang tahan lama, berkualitas, dan berkelanjutan perlu adanya perubahan paradigma menjadi “membangun yang lebih baik dan aman” sesuai dengan instruksi Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, dalam sambutannya yang dibacakan Direktur Jenderal Cipta Karya Diana Kusumastuti (dalam Tri, 2021). Tujuannya adalah untuk membangun infrastruktur yang lebih baik dalam hal kapasitas dan kapabilitas penanganan bencana dengan mengetahui risiko kerusakan bangunan akibat bencana sebelum bencana itu terjadi. Atau dengan kata lain pembangunan infrastruktur haruslah dilakukan sebagai tindakan preventif mengurangi risiko bencana, bukan sebagai respons untuk mengganti kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya bencana. Untuk mencapai tujuan tersebut maka infrastruktur yang ada utamanya bangunan gedung haruslah memperhatikan konsep ketahanan terhadap bencana −dalam hal ini: bencana gempabumi− yang memperhitungkan kemampuan pengurangan risiko (risk reduction), kerentanan (vulnerability), pemulihan (recovery), dan resiliensi (recilience); serta waktu merespons bencana gempa mulai dari yang normal operating condition, short time: emergency response time, dan long term: reconstruction system response time (post-disaster condition) (Gutama dan Rahayu, 2021). Standarisasi serta peningkatan pemahaman dan kemampuan kompetensi ahli teknik sipil dalam perencanaan pembangunan struktur bangunan, baik yang merupakan bangunan gedung maupun bangunan non-gedung, haruslah memiliki ketahanan terhadap bencana gempa untuk pembangunan infrastruktur ke depannya khususnya pada daerah yang rawan terhadap bencana gempabumi. Sejalan dengan hal ini, tentu dibutuhkan peta rawan gempa yang lebih up to date berdasarkan pada penelitian-penelitian terbaru beserta pengkodean −berdasarkan standarisasi tersebut− pada tiap wilayah dengan memperhitungkan tingkat kerawanan bencana yang ada. Barangkali selain akan berdampak pada perencanaan pembangunan infrastruktur di masa mendatang yang mungkin saja akan ditekankan pada kualitas struktur bangunan yang tinggi, pemetaan ini juga mungkin akan berdampak pada infrastruktur-infrastruktur yang telah ada sebelumnya dikarenakan kemungkinan akan adanya peningkatan kode standarisasi bangunan yang mengharuskan perbaikan yang tentu saja boros biaya. Perubahan paradigma ini juga seharusnya berlaku terhadap ancaman risiko bencana yang lain. Melalui upaya-upaya tersebut diharapkan infrastruktur yang ada akan dapat bertahan lama dan memberikan keamanan untuk terus dapat menunjang aktivitas ekonomi yang ada utamanya pada Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur.

Selain pada peningkatan ketahanan infrastruktur terhadap bangunan, paradigma “membangun yang lebih baik dan aman” yang disampaikan Pak Basuki Hadimuljono sebagai Menteri PUPR ini juga menyiratkan adanya upaya peningkatan kualitas dan keberlanjutan dari infrastruktur infrastruktur baik yang telah ada maupun infrastruktur-infrastruktur yang akan dibangun di kemudian hari sejalan dengan upaya Indonesia untuk mewujudkan Suistainable Development Goals 2030. Dalam hal ini peningkatan kualitas dan keberlanjutan yang dimaksud adalah mutu infrastruktur yang berkelanjutan melalui efisiensi penggunaan sumber daya dan penggunaan teknologi bersih yang ramah lingkungan. Hal ini cukup penting mengingat pesatnya perkembangan Kota Metropolitan Jabodetabek-Punjur yang belum dibarengi dengan infrastruktur-infrastruktur yang berkelanjutan bahkan cenderung mengarah pengrusakan pada seperti pengalihfungsian lahan tanpa memperhatikan dampaknya yang terjadi di daerah Puncak, Bogor dimana alih fungsi lahan menjadi daerah villa menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya bencana banjir di Provinsi DKI Jakarta.

Sayembara Artikel

Artikel ini mendapatkan kategori terbaik dalam Sayembara Artikel yang diselenggarakan HMGP Citrakara Mandala UGM dalam rangkaian acara Regional Development in Action (Redevition) HMGP 2022.

Referensi

Effendi, A. (2022). Mengenal Sesar Cimandiri Penyebab Gempa Cianjur, Wilayah Mana Saja yang Dilewati?. Cianjur: Mojok.co. Retrieved November 25, 2022, from tautan.

Gutama, D. G., & Rahayu, R. L. (2021). Ketahanan Bangunan Rumah Sakit terhadap Bencana Gempa Bumi di Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Lakar Jurnal Arsitektur, 04(02), 150–159.

Hanifan, A. F. (2017). Ancaman Gempa dari Perut Bumi Jakarta. Jakarta: Tirto.id. Retrieved November 25, 2022, from tautan.

Irham, M. (2022). Gempa Cianjur ‘Berulang Setiap 20 Tahun’, Literasi Rendah Picu Ratusan Korban Jiwa dan Kerusakan Masif. Cianjur: BBC News Indonesia. Retrieved November 25, 2022, from link.

Perpres Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

Tri. (2021, September 8). Sosialisasi SNI 1726:2019, Kementerian PUPR Tingkatkan Pemahaman dan Kompetensi tentang Bangunan Tahan Gempa. Retrieved from Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat: tautan.

--

--