Pilah-Pilih Jalan Berliku untuk Para Penglaju

Raden Bimasakti A
Citrakara Mandala
Published in
4 min readNov 7, 2020
Penglaju Kereta di Jepang. Source: https://www.japan-guide.com

Sebagai seseorang yang suka memperhatikan transportasi umum, saya terkadang merasa heran terhadap jaringan transportasi umum yang ada. Pada benak hati saya yang paling dalam, keheranan tersebut sudah mendarah daging. Keheranan tersebut seperti “Kalau saya andaikan tinggal di daerah Sewon terus mau pergi ke Gamping untuk bekerja, kok aku harus muter ke Kota dulu, ya? Coba kalau ada trayek langsung dari Sewon ke Gamping langsung. Kan lebih enak?”

Perjalanan dari Sewon menuju Gamping dengan transportasi umum. Source: Google Maps

Permasalahan tersebut sebenarnya kembali ke konsep awal dari transportasi umum yaitu rute. Transportasi umum memiliki rute tertentu dalam perjalanannya. Rute tersebut melewati beberapa tempat pemberhentian. McLeod (2017) mengemukakan bahwa transportasi umum berjalan pada sepanjang rute tetap dengan jadwal yang telah diatur sebelumnya.

Pada kasus umum di kota-kota dunia, jaringan transportasi umum biasanya memiliki pola rute memusat. Artinya, setiap kawasan pinggiran memiliki rute yang berkumpul di pusat kota (downtown). Williamson (2020) mengemukakan bahwa konsep tersebut lahir didasarkan atas pemahaman bahwa kawasan pinggiran tersebut merupakan kawasan tempat tinggal penduduk. Mereka akan melakukan komutasi ke pusat kota untuk bekerja dan memperoleh pelayanan. Pemahaman tersebut yang menjadi dasar dari terbentuknya pola transportasi umum yang berbentuk memusat. Salah satu contoh tipe pola memusat adalah jaringan transportasi di kota Denver, Amerika Serikat

Jaringan transportasi umum di Kota Denver, Amerika Serikat. Source: https://denver.streetsblog.org/

Konsep tersebut tidak sepenuhnya salah juga tidak sepenuhnya benar. Konsep pola rute memusat ini sebenarnya berlaku pada kawasan perkotaan yang relatif muda. Kawasan perkotaan tersebut ditandai dengan kawasan pinggiran (periphery) yang relatif kecil dan dependen. Pada kasus tersebut, kawasan pinggiran dianggap belum mampu menjadi kawasan yang mandiri sehingga harus tergantung pada wilayah inti (core) untuk mendapatkan pelayanan atau kemudahan bekerja. Ketergantungan tersebut akan membentuk mobilitas yang berupa mobilitas kawasan inti-pinggiran. Artinya mobilitas tersebut berupa pergerakan para penglaju setiap hari ke pusat kota (downtown) dan kembali lagi ke kawasan pinggiran.

Namun, ketika kawasan perkotaan sudah mencapai tahap “dewasa”, mobilitas penduduk akan mengalami perubahan drastis. Hal tersebut terjadi karena terjadi perubahan terkait distribusi tempat pekerjaan. Pada tahun 2013, The Brookings Intitution merilis penelitian bahwa lokasi tempat pekerjaan semakin lama semakin menjauh. Penelitian tersebut dilakukan pada 100 kota metropolitan di Amerika Serikat dan memperoleh hasil bahwa hanya 23% dari total lapangan pekerjaan berada pada jarak 3 mil dari pusat kota.

Grafik perubahan distribusi geografis tempat pekerjaan. Source: Brookings Institution

Pada era sekarang, tempat pekerjaan yang jauh dari pusat kota merupakan hal umum pada kota metropolitan. Hal tersebut terjadi karena pusat kota sudah tidak mampu menampung tempat lapangan pekerjaan. Williamson (2020) menyebutkan bahwa kondisi tersebut mengubah pola mobilitas dari mobilitas kawasan inti-pinggiran menjadi mobilitas kawasan pinggiran-pinggiran. Namun, perubahan pola mobilitas tersebut tidak diikuti dengan perubahan pola rute transportasi umum. Pola rute transportasi umum yang masih berbentuk memusat tersebut membuat sistem transportasi menjadi tidak efisien. Perjalanan penumpang akan menjadi lebih panjang karena harus melewati pusat kota sebelum menuju ke kawasan suburban tujuan.

Rute perjalanan yang panjang tersebut dapat membuat waktu tempuh perjalanan menjadi lebih lama. Waktu tempuh yang lama membuat pengguna menjadi sering terlambat dan harus berangkat pagi. Hal tersebut tentu akan berdampak pada menurunnya produktivitas yang notabene merupakan aspek dari pembangunan suatu wilayah. Selain produktivitas yang menurun, rute transportasi umum yang tidak efisien membuat masyarakat beralih dari moda transportasi umum ke transportasi pribadi. Penggunaan transportasi pribadi tentunya berdampak terhadap kemacetan parah dan polusi yang tidak terkendali.

Pada era pandemi COVID-19 ini, permasalahan mengenai pola rute transportasi umum perlu menjadi perhatian bersama. Pola rute tersebut memiliki hubungan terkait dengan lama waktu perjalanan. Saat melakukan perjalanan, pengguna transportasi umum tentunya akan bertemu dengan pengguna transportasi umum lain. Semakin lama perjalanan, maka semakin tinggi pula kemungkinan pengguna akan berinteraksi dengan pengguna lain. Interaksi yang tinggi tersebut membuat pengguna menjadi rentan terhadap penularan penyakit COVID-19 dan berpotensi menularkannya kepada orang lain.

Masalah terkait tingkat efisien rute transportasi umum tentunya bukanlah masalah yang bisa dianggap remeh. Masalah tersebut memiliki dampak yang besar terhadap pembangunan. Hurst (1974) mengemukakan bahwa wilayah dapat berkembang jika keenam faktor pembangunan tersedia di dalam wilayah. Keenam faktor tersebut adalah tenaga kerja, modal, pasar, teknologi, sumberdaya alam, dan perlengkapan manufaktur. Faktor tenaga kerja merupakan bahasan penting terkait transportasi umum. Tenaga kerja tersebut akan melakukan mobilitas melalui sistem transportasi umum agar pembangunan di suatu wilayah dapat berjalan. Jika sistem transportasi bermasalah maka pembangunan akan menjadi terhambat.

Transportasi umum merupakan salah satu unsur penting dalam mobilitas manusia. Schofer (2017) mengemukakan bahwa transportasi umum berperan dalam mengumpulkan orang-orang dengan perjalanan yang sama ke dalam satu kendaraan. Dengan mengumpulkan orang-orang tersebut, tentunya masalah polusi dapat ditekan dengan seminimal mungkin. Efek berkurangnya polusi udara dapat terjadi jika pemilihan rutenya mempertimbangkan aspek-aspek terkait. Baik atau tidaknya rute transportasi umum merupakan salah satu kunci agar pelayanan transportasi dapat berjalan dengan baik dan maksimal.

Referensi

Hurst, E.(ed). 1974. Transportation Geography. New York: Mc Graw Hill Bank

McLeod, S., Scheurer, J., & Curtis, C. 2017. Urban public transport: planning principles and emerging practice. Journal of Planning Literature, 32(3), 223–239.

Schofer, Joseph L. 2017. Mass Transit. Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica

Williamson, June (2/10/2020). “Five myths about the suburbs”. Diakses pada 4 November 2020, dari https://www.washingtonpost.com/outlook/five-myths/five-myths-about-the-suburbs/2020/10/02/b5a060fe-0404-11eb-897d-3a6201d6643f_story.html

--

--