Sampai Kapan (Paradigma Kebencanaan di) Indonesia Begini-Begini Saja?

HMGP Citrakara Mandala UGM
Citrakara Mandala
Published in
6 min readApr 22, 2024

Penulis: Hafid Syaikhur Rais
| Divisi Riset dan Keilmuan
Kabinet Prakarsa Nirmana HMGP UGM 2024

Erupsi Gunung Ruang (Sumber: Center for Volcanology and Geological Hazard Mitigation/AFP via Getty Images)

Banjir Demak, erupsi Gunungapi Ruang, tanah longsor Tana Toraja, serta peristiwa bencana lain mewarnai linimasa pemberitaan nasional Indonesia. Data BNPB per 19 Maret 2023 menunjukkan adanya kejadian bencana di Indonesia sebanyak 485 kejadian yang didominasi oleh kejadian tanah longsor sebanyak 176 kejadian, disusul bencana banjir sebanyak 146 kejadian dan puting beliung sebanyak 105 kejadian. Untuk catatan bencana lain terdapat 11 peristiwa abrasi, 11 peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 6 peristiwa gempa bumi serta 1 peristiwa gunung meletus. Dampak bencana dari beragam kejadian bencana tersebut menyebabkan kerusakan pada 19.248 rumah dan 243 fasilitas umum/sosial, 87 orang meninggal dunia, dan sembilan orang hilang. Bencana di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi (Sucipto, 2024). Maulana (2024) dalam berita yang ditulisnya, menyebutkan data kejadian bencana dari BNPB pada 2023 terjadi 5.400 bencana di berbagai daerah di Indonesia. Jumlah tersebut meningkat banyak dibandingkan dengan jumlah kejadian bencana pada 2022 sebanyak 3.544 kali.

Peristiwa kebencanaan bukanlah hal yang asing bagi bangsa Indonesia. Realitas posisi geografis, iklim, serta karakteristik hidrologi dan oseanografi di Indonesia menjadikan wilayah ini memiliki proses alami yang sangat kompleks dan unik (Ma’arif & Hizbaron, 2015) ditambah dengan faktor nonalami terutama aktivitas manusia menjadikan Indonesia harus terus berhadapan dengan ancaman bencana alam. Oleh sebab itu, peningkatan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana menjadi penting untuk menurunkan risiko bencana (Rosyida, et al., 2019) salah satunya melalui manajemen penanggulangan bencana. Manajemen penanggulangan bencana dapat didefinisikan sebagai segala upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang dilakukan pada tahapan sebelum, saat, dan setelah bencana. Proses manajemen bencana dibagi menjadi tiga tahapan meliputi Manajemen Risiko Bencana (prabencana), Manajemen Kedaruratan (tanggap darurat), dan Manajemen Pemulihan (pasca bencana).

Manajemen risiko berencana adalah pengaturan atau manajemen bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang bertujuan untuk mengurangi risiko bencana sebelum terjadinya yang dapat dilakukan melalui upaya pencegahan bencana, mitigasi, dan kesiagaan. Kemudian, manajemen kedaruratan didefinisikan sebagai pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta penanganan pengungsi saat terjadinya bencana. Berbeda halnya dengan manajemen pemulihan yang berarti pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana dan sarana secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya bencana dengan melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Pada kenyataannya, perencanaan penanggulangan bencana di Indonesia cukup lemah karena pemahaman para birokrat daerah yang memandang bahwa institusi yang menangani kebencanaan hanya bekerja pada saat terjadi bencana. Persepsi tersebut dapat menimbulkan kegagalan dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan akibat informasi dan perencanaan mengikuti paradigma yang tidak sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman. Pemahaman paradigma penanganan bencana di Indonesia nyatanya masih bersifat reaktif dan bukan proaktif sehingga tidak dapat mengatasi masalah mendasar penanggulangan bencana serta perencanaan tidak dapat memberikan kesempatan untuk masyarakat meningkatkan kapasitas dan potensinya secara penuh (Abdi, 2015). Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Raditya Jati, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan, dalam video “Gempa, Banjir, Longsor, dan lain lain . Kenapa Indonesia Darurat Mitigasi Bencana | Narasi Newsroom” bahwa banyak kejadian bencana yang terjadi di Indonesia menimbulkan banyak korban menyebabkan kita lebih sibuk untuk merespons kejadian bencana, sibuk untuk melakukan penyelamatan, dan sibuk untuk memenuhi kebutuhan para penyintas atau pengungsi yang sebenarnya bisa dilakukan mitigasi. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Tujuan diadakannya mitigasi bencana, yakni (1) Mengurangi dampak yang ditimbulkan, khususnya bagi penduduk; (2) Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan; dan (3) Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak/risiko bencana sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman.

Sangat disayangkan bahwa Indonesia, khususnya pemerintah pusat dan daerah, masih belum mampu secara serius dalam memenuhi tuntutan peningkatan permintaan terhadap sumber daya dan pelayanan yang dibutuhkan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, mitigasi, dan respons pemulihan bencana. Hal tersebut, salah satunya, diakibatkan oleh masih terbatasnya anggaran belanja pemerintah dan sumber-sumber pembiayaan lain yang dapat dipakai untuk membiayai aktivitas-aktivitas manajemen risiko bencana (Friawan, 2022). Selain itu, masih dalam penuturan Raditya Jati, belum semua kabupaten/kota mampu untuk melakukan kajian risiko bencana. Hal ini belum ditambah dengan peta zona ruang rawan bencana yang sudah diterbitkan, diabaikan dalam melakukan perencanaan tata ruang wilayah. Laporan Investigasi Kompas menunjukkan bahwa penyusunan peta zona ruang rawan bencana untuk Palu dan sekitarnya di Sulawesi Tengah, mengabaikan potensi kerawanan gempa hasil survei BMKG (Susilo et al., 2020). Padahal, peta tersebut menjadi acuan revisi rencana tata ruang wilayah Palu. Hal ini tentunya menjadi suatu peringatan bagi pemerintah baik di tingkat nasional, provinsi, ataupun di tingkat daerah untuk mempertimbangkan kajian risiko bencana dalam proses perencanaan pembangunan.

Upaya menghadapi kebencanaan bukan saja merupakan tanggung jawab penuh pemerintah — meskipun seharusnya pemerintah memiliki andil besar — melainkan juga tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Sudah sepatutnya masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah dengan risiko bencana yang tinggi memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup tentang kebencanaan, seperti apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana, bagaimana membangun permukiman yang aman meskipun berada di lokasi rawan bencana, atau bagaimana pemanfaatan lahan harus digunakan agar tidak menimbulkan bencana?. Selain itu, pemahaman-pemahaman bahwa bencana adalah “ajang penghakiman” dan “turunnya azab” Yang Maha Kuasa akibat dosa dan kesalahan manusia yang terjadi di dunia (Wulansari, 2019) perlu untuk dihilangkan dan menyadari bahwa bencana merupakan hasil kompleks dari faktor alami dan faktor manusia yang dapat dihindari atau setidaknya mengurangi kerugian yang ditimbulkan dari kejadian tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan Hargono et al. (2023) berkaitan dengan hubungan kesadaran bencana terhadap kesiapsiagaan bencana yang menunjukkan bahwa masyarakat dengan tingkat kesadaran terhadap bencana yang lebih rendah memiliki risiko 1.49 kali lebih tinggi untuk memiliki kesiapsiagaan bencana lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki kesiapsiagaan bencana lebih tinggi. Berkaca dari hal tersebut, Hargono et al. (2023) menekankan pentingnya upaya peningkatan kesadaran dan kesiapsiagaan bencana perlu dilakukan. Pengetahuan dan pemahaman tentang bencana, serta hubungan dan komunikasi yang efektif dengan masyarakat lokal sangatlah penting.

Oleh karena itu, dalam menyikapi kompleksitas bencana di Indonesia diperlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan masyarakat menjadi esensial dalam menghadapi bencana. Langkah konkret sangat dibutuhkan untuk memperkuat sinergi antar pihak terkait, meningkatkan koordinasi, dan memperluas partisipasi masyarakat dalam upaya mitigasi dan penanggulangan bencana.

Referensi

Abdi, D. (2015). Perencanaan Penanggulangan Bencana melalui Pendekatan Manajemen Risiko. Reformasi, 5(1), 13–30.

Friawan, D. (2022). Membangun Sistem Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Hargono, A., Artanti, K. D., Astutik, E., Widodo, P. P., Trisnawati, A. N., Wardani, D. K., & Lioni, E. (2023). Relationship Between Disaster Awareness and Disaster Preparedness: Online Survey of the Community in Indonesia. Journal of Public Health in Africa, 14(9), 2376.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Jakarta

Ma’arif, S., & Hizbaron, D. R. (2015). Strategi Menuju Masyarakat Tangguh Bencana dalam Perspektif Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Maulana, I. (2024, Februari 28). Bencana Terus Meningkat, Bagaimana Upaya Mitigasi dan Adaptasi? Dipetik 19 April 2024, dari Mongabay: Situs Berita Lingkungan: https://www.mongabay.co.id/2024/02/28/bencana-terus-meningkat-bagaimana-upaya-mitigasi-dan-adaptasi/

Rosyida, A., Nurmasari, R., & Suprapto. (2019). Analisis Perbandingan Dampak Kejadian Hidrometeorologi dan Geologi di Indonesia Dilihat dari Jumlah Korban dan Kerusakan (Studi: Data Kejadian Bencana Indonesia 2018). Jurnal Dialog dan Penanggulangan Bencana, 10(1), 12–21.

Sucipto, T. I. (2024, Februari 16). 291 Bencana Terjadi Di Indonesia Sampai Pertengahan Februari 2024. Dipetik 19 April 2024, dari Media Indonesia: https://mediaindonesia.com/humaniora/652005/291-bencana-terjadi-di-indonesia-sampai-pertengahan-februari-2024

Susilo, H., Hianusa, K., Yogatama, B. K., & Jemali, V. (2020, Januari 27). Peta Bencana Palu Abaikan Survei BMKG. Dipetik 20 April 2024 dari Kompas: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/01/27/peta-bencana-palu-abaikan-survei-bmkg

Wulansari, I. (2019, Januari 2020). Memaknai Bencana Alam dengan Perspektif Baru. Dipetik 20 April 2024, dari Mongabay: Situs Berita Lingkungan: https://www.mongabay.co.id/2019/01/02/memaknai-bencana-alam-dengan-perspektif-baru/

--

--