Senjang-Sanjung Smart Agriculture

Meneropong masa depan pertanian Indonesia

Septian Galuh
Citrakara Mandala
9 min readNov 8, 2020

--

United Nations memperkirakan bahwa jumlah penduduk dunia akan berada di angka 9,8 miliar pada tahun 2050 dan 2/3 diantaranya tinggal di perkotaan. Proyeksi tersebut memberikan gambaran terkait besarnya jumlah kebutuhan pangan dunia yang harus dipenuhi kelak secara berkelanjutan. Peningkatan jumlah penduduk tidak hanya berimplikasi pada peningkatan kebutuhan pangan, tetapi juga terhadap kebutuhan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur membutuhkan lahan, begitu pun pembangunan pertanian. Seringkali, pembangunan infrastruktur mengorbankan ketersediaan lahan pertanian yang ada sehingga terjadi peningkatan alih fungsi lahan pertanian. Kondisi yang demikian mengharuskan manusia melakukan sejumlah rekayasa agar dapat menghasilkan komoditas pangan sebanyak mungkin sekalipun dengan luas lahan yang sempit. Berangkat dari keharusan tersebut berkembanglah konsep smart agriculture.

Shi et al. (2019) dalam penemuannya mengemukakan bahwa negara-negara di dunia masih berada pada tahap awal perkembangan smart agriculture. Akan tetapi, fokus dan tingkatan perkembangan pada masing-masing negara juga berbeda. Amerika misalnya, sebagai negara dengan posisi teratas di bidang inovasi teknologi, posisinya dalam diskursus pengembangan smart agriculture di dunia sedikit lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa variasi penerapan smart agriculture di berbagai negara dunia memiliki kaitan yang erat dengan tahap perkembangan teknologi dan masyarakatnya. Lalu, bagaimana dengan kondisi smart agriculture di Indonesia?

Pertanian Sejuta Masalah

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang dipandang memiliki prospek kontribusi yang menjanjikan terhadap pembangunan wilayah di Indonesia. Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Moeldoko, pernah menyebutkan dalam Rural Development and Food Security Forum 2019 di Manila, Filipina — sebagaimana dilansir dari Kontan.co.id — bahwa sektor pertanian merupakan penyumbang GDP terbesar secara makro di kawasan Asia. Sayangnya, fakta yang menyebutkan tentang potensi sektor pertanian terhadap pembangunan tersebut bersifat paradoks ketika dikontekstualisasikan di Indonesia. Sektor pertanian di Indonesia memang menjadi salah satu tumpuan pembangunan nasional, namun dari tahun ke tahun banyak permasalahan pertanian yang tidak kunjung terselesaikan. Permasalahan yang dihadapi oleh para petani di Indonesia sangat beragam mulai dari sulitnya akses terhadap modal, fluktuasi harga, alih fungsi lahan, impor produksi pertanian yang tinggi, infrastruktur pertanian yang kurang memadai, investasi di bidang pertanian yang rendah, hingga rendahnya regenerasi petani. Fenomena tersebut, seolah-olah mengamini paradoks yang terjadi. Pertanian dianggap memiliki potensi yang besar, namun di sisi lain perhatian yang dicurahkan terhadapnya terbilang kecil dan tidak terlalu signifikan.

Salah satu permasalahan pertanian di Indonesia yang tidak kunjung terselesaikan berkaitan dengan lahan. Terbatasnya lahan pertanian produktif di Indonesia disebabkan oleh tingkat konversi lahan yang begitu tinggi. Pemerintah melalui UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan telah berupaya menyediakan payung hukum yang jelas untuk mengatasi regulasi alih fungsi lahan pertanian. Namun, dalam implementasinya di lapangan, tingkat alih fungsi lahan masih begitu tinggi. Dilansir dari data BPS (2018), luas lahan pertanian yang mengalami alih fungsi di Indonesia setiap tahunnya berkisar antara 120.000–200.000 hektar. Hal tersebut menunjukkan bahwa regulasi yang telah disediakan pemerintah melalui UU No. 41 Tahun 2009 belum cukup untuk menekan tingkat alih fungsi lahan pertanian (Media Indonesia, 2019). Menyusutnya jumlah lahan pertanian akibat alih fungsi lahan juga dibarengi dengan menyusutnya kualitas lahan pertanian yang masih tersedia. Berbagai faktor seperti penggunaan pupuk yang berlebihan, pencemaran limbah, serta eksploitasi sumber daya lahan yang berlebihan turut berperan dalam penurunan kualitas lahan pertanian.

Permasalahan lain yang dihadapi oleh sektor pertanian di Indonesia adalah rendahnya aksesibilitas petani terhadap modal (Rahma, 2019). Modal yang rendah akan menghambat petani dalam menjalankan usaha pertaniannya. Modal yang terbatas menyebabkan kuantitas dan kualitas produk pertanian yang dihasilkan petani tidak maksimal. Kondisi budidaya yang tidak selalu berhasil atau gagal panen menjadi salah satu akar masalah dari rendahnya modal usaha pertanian, utamanya bagi petani kecil. Ketika terjadi gagal panen, maka tidak ada biaya simpanan atau uang lebihan yang dapat diputar untuk menjalankan kegiatan pertanian kembali. Akibatnya, petani tidak bisa mencukupi kebutuhan input seperti alsintan dan saprotan untuk menjalankan usaha taninya kembali.

Beberapa lembaga keuangan seperti bank di Indonesia sebenarnya sudah menyediakan kredit usaha yang dapat digunakan sebagai modal untuk menjalankan sektor pertanian. Namun, prosedur yang rumit seringkali menyebabkan petani enggan untuk mengakses pinjaman modal dari bank. Perbankan tidak mau menyalurkan kredit karena petani tidak punya agunan, penghasilan yang tidak tetap sedangkan pembayaran kredit dilakukan setiap bulan, dan tidak adanya sertifikat kepemilikan tanah. Alternatif kredit modal sebenarnya ditawarkan juga oleh lembaga non-bank. Namun, tingkat suku bunga yang tinggi pada gilirannya hanya akan menjebak petani pada permasalahan hutang dan keterbatasan modal di kemudian hari.

Rendahnya tingkat regenerasi petani juga menjadi salah satu permasalahan krusial pada sektor pertanian di Indonesia yang belum mampu diselesaikan hingga sekarang. Berdasarkan laporan dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian, jumlah petani muda (20–39 tahun) di Indonesia pada tahun 2018 hanya berkisar 8% dari total jumlah petani di Indonesia. Nilai tersebut setara dengan 2,7 juta orang (Gayati, 2020). Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi rendahnya regenerasi petani di Indonesia, salah satunya persepsi orangtua terhadap profesi petani. Banyak orangtua yang tidak ingin anaknya menjadi petani. Alasan lainnya adalah kondisi pertanian yang tidak lebih menjanjikan untuk dijadikan sebagai sumber penghidupan jika dibandingkan dengan sektor yang lain. Terjun ke dalam sektor pertanian ibarat perjudian yang tidak pasti dan lebih sering merugi. Menjadi petani dianggap tidak menjamin secara finansial di tengah kondisi kebutuhan hidup yang terus naik harganya. Buktinya, kecil sekali rasio sarjana pertanian dari universitas-universitas di Indonesia yang bekerja di sektor pertanian. Pertanian yang diidentikkan dengan kotor, panas, dan melelahkan seolah-olah memperkuat justifikasi generasi muda untuk tidak menjadikan pertanian sebagai salah satu pilihan profesi di masa depan (Hasan, 2017).

Menyadari kondisi pertanian di Indonesia yang masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan klasik tersebut, rasa-rasanya membayangkan adaptasi dan difusi smart agriculture di Indonesia dalam waktu dekat menjadi suatu hal yang utopis. Teknologi dan rekayasa pertanian yang digunakan di dalam konsep smart agriculture membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apabila berkaca pada konteks pertanian di Indonesia, profesi petani di Indonesia didominasi oleh petani gurem. Petani gurem hanya menggarap lahan pertanian yang luasnya kurang dari satu hektar dan bersifat subsisten. Petani subsisten tidak memiliki sumber daya modal yang cukup untuk mengakses teknologi dan rekayasa pertanian yang dibutuhkan dalam penerapan konsep smart agriculture. Tidak usah jauh-jauh membayangkan hal tersebut, lha wong mengakses modal untuk menjalankan usaha pertaniannya saja para pertani masih sering kesulitan. Belum lagi, tingkat pendidikan sumber daya petani di Indonesia yang sebagian besar masih terbilang rendah. Penerapan teknologi dan rekayasa di bidang pertanian tentu akan menghadapi tantangan yang semakin besar. Diperlukan usaha yang lebih untuk memberikan pelatihan kepada para petani agar bisa mengoperasikan teknologi dan rekayasa pertanian yang akan diterapkan nantinya. Wacana penerapan smart agriculture juga akan membawa kita pada diskursus lain yang tidak kalah penting dalam pembangunan, yaitu nasib buruh tani. Apabila otomatisasi pertanian dalam konsep smart agriculture diterapkan di Indonesia, maka jumlah tenaga yang dibutuhkan untuk menggarap lahan pertanian akan berkurang drastis. Hal tersebut dapat berimplikasi pada hilangnya mata pencaharian buruh tani yang sebelumnya sangat bergantung terhadap lapangan pekerjaan yang disediakan oleh para pemilik lahan pertanian. Oleh sebab itu, pemerintah juga perlu memperhatikan proyeksi dampak yang mungkin ditimbulkan dari wacana penerapan konsep smart agriculture ini.

Pelan Tapi Pasti

Terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi dalam upaya penerapan smart agriculture di Indonesia, wacana ini perlu kita pandang dengan skema optimistis karena pada dasarnya konsep ini juga berorientasi pada upaya penyelesaian masalah-masalah pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani di Indonesia. Penerapan smart agriculture dapat meningkatkan produktivitas pertanian di Indonesia dan menghindarkan petani dari kerugian-kerugian. Hal tersebut telah dibuktikan dari berbagai bentuk best practices yang telah dilakukan oleh para petani modern di berbagai belahan dunia yang bukti-buktinya dapat dengan mudah kita temukan di internet.

Penggunaan sistem informasi terpadu di dalam smart agriculture akan memandu petani dalam menjalankan usaha pertaniannya sehingga petani dapat menentukan kapan waktu terbaik untuk memulai usaha pertaniannya, menentukan kadar air, pupuk, dan pestisida yang optimal bagi tanaman pertanian, mengetahui perkembangan harga pasar, serta potensi-potensi penjualannya. Hal tersebut akan berimplikasi pada biaya produksi pertanian yang dapat ditekan sedangkan hasil produksi tetap dapat dimaksimalkan. Petani akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada biaya input yang diperlukan untuk mengolah lahannya sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan hidup petani. Selain itu, smart agriculture juga merupakan bagian dari solusi pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia. Sistem informasi yang digunakan dapat memberikan informasi presisi kepada petani mengenai takaran yang optimal dari air, pupuk, dan pestisida yang dibutuhkan tanaman sehingga input sumber daya pertanian dapat dialokasikan secara optimal dan tidak terjadi pemborosan. Wacana adaptasi smart agriculture di Indonesia juga dapat diwujudkan sebagai salah satu upaya untuk menarik minat generasi muda terhadap profesi petani. Berbagai bentuk penerapan pertanian berbasis teknologi yang telah dilakukan di berbagai belahan dunia terbukti mampu memberikan jaminan keuntungan finansial bagi petani serta meruntuhkan stigma sektor pertanian yang identik dengan kotor, panas, dan melelahkan sehingga profesi ini dapat mendapatkan kembali marwahnya di pandangan para generasi muda.

Dalam waktu dekat, barangkali memang masih mustahil untuk membayangkan penerapan konsep smart agriculture yang ideal di Indonesia. Ideal dalam hal ini maksudnya adalah penerapan smart agriculture bersifat merata di semua daerah, tepat guna, efisien, dan mampu meningkatkan produktivitas pertanian serta kesejahteraan masyarakat dan petani. Namun, perlahan tapi pasti pemerintah telah menunjukkan komitmennya terhadap wacana penerapan konsep smart agriculture ini. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa penemuan teknologi aplikatif di bidang pertanian yang diinisiasi oleh Kementerian Pertanian bekerja sama dengan berbagai pihak terkait.

Kementerian Pertanian Indonesia telah mengenalkan beberapa bentuk inovasi teknologi pertanian, misalnya Kalender Tanam Terpadu (KATAM), Website SiPetani, dan aplikasi myAgri (Maslichul, 2019). KATAM merupakan aplikasi mobile berbasis android yang dikembangkan oleh Balitbangtan yang menyediakan layanan informasi meliputi prediksi iklim dan musim, masa awal tanam, dosis pupuk, luas tanam potensial, dan lain sebagainya. SiPetani merupakan akronim dari Sistem Informasi Pemantauan Pertanaman Pertanian, website tersebut menyediakan informasi tentang monitoring fase pertanaman padi dan bawang merah, potensi lahan jagung, dan peringatan dini serta penanganan dampak perubahan iklim pada sektor pertanian. Adapun myAgri merupakan aplikasi yang dihasilkan dari kerja sama antara Balai Penelitian Sayuran di Kementerian Pertanian dengan Wageningen University and Research, Belanda. Aplikasi myAgri menyediakan berbagai informasi yang diperlukan oleh petani sayuran untuk mengembangkan bisnisnya mulai dari informasi mengenai varietas sayuran, panduan pengendalian hama dan penyakit, tingkat bahaya pestisida, info cuaca harian, hingga harga komoditas sayuran.

Selain itu, Indonesia juga telah memiliki perusahaan start-up yang bergerak di bidang smart agriculture, yaitu RiTx. RiTx merupakan unit bisnis dari PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB), sebuah perusahaan teknologi pertanian yang berbasis di Yogyakarta. Teknologi pertanian yang dikembangkan oleh RiTX diantaranya adalah Agri Drone Sprayer untuk menyemprot pestisida dan pupuk cair, Drone Surveillance untuk memetakan lahan pertanian, dan Soil and Weather Sensor untuk memantau kelembapan tanah dan cuaca (Murdaningsih, 2018). Keberadaan perusahaan yang bergerak di bidang teknologi dan rekayasa pertanian tersebut tentu menjadi sinyal positif bagi penerapan smart agriculture di Indonesia.

Mulai dari Mana?

Shi et al. (2019) memberikan tiga rekomendasi untuk memulai pengembangan dan penerapan dari smart agriculture. Rekomendasi tersebut didasarkan pada konteks perkembangan smart agriculture yang ada di China. Rekomendasi yang diusulkan oleh Shi et al. (2019) tersebut barangkali juga dapat diadaptasi di Indonesia dengan berbagai penyesuaian terhadap konteks lokalitas wilayah yang ada. Skema pengembangan smart agriculture yang diajukan oleh Shi et al. meliputi:

  • Strategi berbasis proses dengan butir-butir capaian yang ditetapkan secara periodik;
  • Mekanisme berkelanjutan yang dijalankan atas dasar kolaborasi berbagai pihak; dan
  • Partisipasi masyarakat lokal dalam adaptasi dan difusi teknologi dalam pertanian.

Strategi berbasis proses yang dimaksud adalah penyusunan arah kebijakan dan rencana pelaksanaan di bidang pertanian dalam periode waktu tertentu. Dokumen kebijakan tersebut berbentuk master plan pembangunan smart agriculture. Dokumen tersebut juga mewujud sebagai bentuk political will dari pemerintah terhadap penerapan smart agriculture ini. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian dapat membuat program Gerakan Menuju 100 Smart Agriculture sebagaimana yang dilakukan oleh Kemkominfo untuk penerapan smart city.

Mekanisme berkelanjutan menitikberatkan pada aspek kolaborasi antara berbagai elemen pembangunan meliputi pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat. Pemerintah dapat berperan sebagai sektor yang memulai inisiasi proyek impementasi smart agriculture dan mendorong sektor swasta yang memiliki kualifikasi untuk menjalankan proyek tersebut dengan pendekatan yang berorientasi pada keuntungan. Kemitraan dengan akademisi dapat dilakukan dalam bentuk pendanaan penelitian-penelitian di bidang pertanian untuk menemukan teknologi dan rekayasa pertanian baru yang dapat dihilirisasi ke masyarakat. Partisipasi masyarakat lokal dalam adaptasi dan difusi teknologi pertanian juga menjadi komponen penting dalam strategi perwujudan smart agriculture di Indonesia yang tidak boleh dilupakan. Skema pelibatan masyarakat berfungsi untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat terkait permasalahan pertanian di wilayahnya sehingga bentuk-bentuk aplikasi teknologi dan rekayasa pertanian yang diterapkan nantinya bisa tepat guna dan efisien.

Referensi:

Bloomberg QuickTake (2018, Sep 20). The High-Tech Vertical Farmer [Video file]. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=AGcYApKfHuY on 3th November 2020

Chatterjee, A., Debnath, S., & Pal, H. (2020). Implication of Urban Agriculture and Vertical Farming for Future Sustainability. Intech Open. DOI: 10.5772/intechopen.91133

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2015, Jun 8). Understanding Climate-Smart Agriculture [Video file]. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=lUdNMsVDIZ0 on 3th November 2020

Gayati, Mentari Dwi. 13/04/2020. “Jumlah Petani Muda Indonesia Hanya 2,7 Juta Orang”. Antara News diakses dari https://lampung.antaranews.com/berita/409766/jumlah-petani-muda-indonesia-hanya-27-juta-orang on 6th November 2020

Hasan, Akhmad Muawwal. 27/04/2017. “Indonesia Krisis Regenerasi Petani Muda”. Tirto.Id diakses dari https://tirto.id/indonesia-krisis-regenerasi-petani-muda-cnvG on 6th November 2020

Kalantari, F., Tahir, O.M., Joni, R.A. & Fatemi, E. (2018). Opportunities and Challenges in Sustainability of Vertical Farming: A Review. Journal of Landscape Ecology 11 (1), 35–60

Lytos, A., Thomas L., Panagiotis S., Michalis Z., & George L. (2020). Towards Smart Farming: Systems, Frameworks, and Exploitation Of Multiple Sources. Computer Networks, 172, 107147. DOI: https://doi.org/10.1016/j.comnet.2020.107147

Mahadi, Tendi. (12 Maret 2020: 19.40 WIB). “HKTI: Tantangan Pertanian Saat Ini Adalah Masalah Ketersediaan Lahan”. Kontan.co.id. Diakses dari https://industri.kontan.co.id/news/hkti-tantangan-pertanian-saat-ini-adalah-masalah-ketersediaan-lahan?page=2 on 6th November 2020

Rahma, Athika. (20 April 2019: 12.30 WIB). “Petani Masih Sulit Dapat Akses Modal”. Liputan6. Diakses dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/3952761/petani-masih-sulit-dapat-akses-modal on 6th November 2020

Redaksi. (09 November 2019: 15.00 WIB). “Masalah Pertanian Perlu Diselesaikan dari Hulu sampai Hilir”. Media Indonesia.com. Diakses dari https://m.mediaindonesia.com/read/detail/270491-masalah-pertanian-perlu-diselesaikan-dari-hulu-sampai-hilir on 6th November 2020

Shi, L., Shi, G. and Qiu, H. (2019). General review of intelligent agriculture development in China”. China Agricultural Economic Review Vol. 11 №1, pp. 39–51. DOI: https://doi.org.ezproxy.ugm.ac.id/10.1108/CAER-05-2017-0093

--

--