Sepakbola dalam Pusaran Pembangunan

Septian Galuh
Citrakara Mandala
Published in
6 min readSep 5, 2020

Berbicara mengenai negara asal sepakbola akan membawa kita pada diskursus yang tidak ada habisnya. Banyak yang mengira sepakbola berasal dari Inggris. Inggris memang merupakan negara yang berperan penting dalam perkembangan sepakbola, lebih tepatnya sebagai tempat muncul dan matangnya terminologi sepakbola modern seperti yang kita saksikan sekarang ini. Beberapa penemuan terbaru menyebutkan bahwa sebagai olahraga yang utuh, jejak perkembangan sepakbola berasal dari daratan China pada abad ke-3 SM. Presiden ke-8 FIFA, Sepp Blatter dalam Beijing Football Expo 2004 pernah menyampaikan ungkapan terima kasihnya kepada masyarakat China karena budaya lampaunya telah menjadi embrio dari perkembangan sepakbola modern saat ini. Temuan yang lain datang dari Mary Miller, seorang profesor sejarah dan seni dari Yale University. Menurut Miller, ide dari sepakbola diciptakan di Mesoamerika sejak tiga ribu tahun yang lalu. Adapun Bill Murray, seorang sejarawan olahraga asal Australia, mengulas dalam bukunya The World’s Game: A History of Soccer bahwa sepakbola telah dimainkan oleh orang-orang Mesir Kuno sejak awal Masehi.

Terlepas dari sejarah sepakbola yang begitu kompleks. Olahraga paling digemari di dunia ini memiliki tautan yang cukup erat dengan pembangunan suatu wilayah. Seiring perkembangannya, sepakbola tidak lagi sekadar adu taktik permainan antara dua kesebelasan di lapangan hijau selama 90 menit. Sepakbola telah mewujud sebagai sebuah komoditas dalam konstelasi perekonomian global. Selayaknya komoditas yang lain, sepakbola dikelola sedemikian rupa dalam sistem yang dapat disebut sebagai industri sepakbola. Menyadur Ryan Gozali, CEO Liga Mahasiswa, pada paparannya kepada PanditFootball dalam lokakarya manajemen olahraga yang diselenggarakan oleh Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), setidaknya ada enam entitas utama yang terlibat dalam industri sepakbola. Enam entitas itu ialah klub, pemain, fans, penyelenggara kompetisi (termasuk federasi dan pembuat kebijakan), media, dan brand/perusahaan.

Model Industri Olahraga Ryan Gozali (Source: panditfootball.com)

Berdasarkan model di atas, dapat kita amati bahwa fans dan brand merupakan sumber dari aliran dana dalam industri sepakbola. Namun, sejatinya fans dan brand tidak hanya berperan sebagai “donatur” untuk menggerakkan industri sepakbola. Hubungan antara fans dan klub dalam sepakbola adalah hubungan mutualisme. Sederhananya, fans akan mendapatkan hiburan dari “investasi” yang diberikannya kepada klub melalui pembelian tiket, mechandise, atau berlangganan layanan streaming siaran pertandingan. Lebih lanjut, industri sepakbola yang sehat mampu memberikan multiplier effect terhadap industri-industri lainnya yang mendukung operasional industri sepakbola. Hal tersebut pada gilirannya juga menambah lapangan pekerjaan yang dapat dimanfaatkan oleh fans sebagai sumber pendapatan. Adapun brand akan mendapatkan peluang pemasaran yang lebih luas kepada para penggemar sepakbola, utamanya fans dari klub yang menjadi ladang investasi.

PwC, sebuah lembaga konsultan bisnis internasional, pernah melakukan riset tentang kontribusi La Liga musim 2016/2017 terhadap perekonomian Spanyol. Berdasarkan riset tersebut, PwC menemukan bahwa La Liga telah menyumbang EUR 15,69 miliar atau sekitar IDR 274 triliun kepada Produk Domestik Bruto (PDB) Spanyol untuk musim 2016/2017. Angka tersebut setara dengan 1,37% terhadap total PDB Spanyol. Lebih lanjut, La Liga pada musim 2016/2017 juga telah menciptakan 184.626 lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak langsung. Nilai tersebut setara dengan 0,98% dari total tenaga kerja di Spanyol. Gelaran La Liga di Spanyol pada musim 2016/2017 juga memberikan sumbangan penerimaan kas negara sebesar EUR 4,09 miliar atau sekitar IDR 71,5 triliun. Riset yang dilakukan oleh PwC tersebut memberikan sinyal bahwa sepakbola sebagai sebuah industri mampu memberikan kontribusi yang tidak dapat dipandang sebelah mata terhadap pembangunan wilayah.

Pada penelitian yang lain, R. Aza, et al. (2007) pernah meneliti dampak ekonomi dari klub sepakbola Real Oviedo dan Real Sporting Gijon terhadap perekonomian regional Asturias, Spanyol pada tahun 1995 dan 2000. Indikator yang digunakan untuk menganalisis total dampak ekonomi dari aktivitas kedua klub tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu secara langsung, tidak langsung, serta yang diinduksi dari aktivitas klub. Lebih lanjut, dampak dari aktivitas turisme yang dilatarbelakangi oleh kunjungan fans dalam laga tandang juga dianalisis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa aktivitas kedua klub hanya memberikan sumbangan yang kecil terhadap kondisi perekonomian regional Asturias. Tercatat pada tahun 1995 dan 2000, aktivitas Real Oviedo dan Real Sporting Gijon hanya menciptakan 426 dan 446 lapangan pekerjaan atau sekitar 0,12% dari total tenaga kerja di wilayah Asturias serta memberikan EUR 24.846 dan EUR 31.075 (0,26% dan 0,29%) kepada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Asturias. Hasil penelitian juga menyatakan bahwa dampak ekonomi yang dihasilkan dari aktivitas klub dan turisme fans berkembang dalam skema yang berbeda-beda. Pada hal ini, kejayaan klub dan level kompetisi dimana klub tersebut bersaing ikut menjadi penentu besarnya dampak ekonomi yang dapat diberikan kepada wilayah bermarkasnya suatu klub. Kontribusi ekonomi dari aktivitas turisme fans cenderung menurun seiring dengan menurunnya daya tarik dari klub.

Potret Pertandingan Derbi antara Oviedo (Biru) dan Gijon (Merah) (Source: tercerequipo.com)

Pandemi Covid-19 yang sempat memberhentikan gelaran kompetisi sepakbola di dunia tentu memiliki dampak ekonomi yang cukup signifikan. Beberapa klub bahkan mengeluarkan kebijakan pemotongan gaji pemain, tak terkecuali di Indonesia. Menurut Mohamad Dian Revindo, Kepala Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM Universitas Indonesia, mandeknya kompetisi domestik Indonesia sejak pertengahan Maret 2020 diperkirakan menyebabkan kerugian sekitar 2,7 hingga 3 triliun rupiah. Data tersebut menguatkan bahwa peran industri sepakbola dalam pembangunan tidak boleh dianggap remeh. Status Indonesia sebagai negara dengan populasi penggemar sepakbola tertinggi ke-2 di dunia, sebagaimana dikutip dari hasil penelitian Nielsen Sport, seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk mendorong geliat industri sepakbola yang sehat di Indonesia.

Sayangnya, jumlah penggemar sepakbola yang tinggi di tanah air tersebut tidak sebanding dengan tingkat daya beli penggemar sepakbolanya. Penggemar sepakbola tanah air masih memiliki kecenderungan untuk mengakses layanan streaming bajakan daripada berlangganan. Maraknya penjual merchandise klub bajakan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan industri sepakbola lokal belum mampu memaksimalkan potensinya. Kondisi yang demikian pada gilirannya menyebabkan mutualisme yang seharusnya dapat berjalan antara fans dengan klub lokal menjadi terhambat. Industri sepakbola di Indonesia tidak memiliki catatan pemasukan yang stabil dari fans-nya, imbasnya klub dan kompetisi di Indonesia tidak memiliki daya jual yang cukup kuat kepada calon sponsor. Pada akhirnya, sponsor yang merasa sangat dibutuhkan oleh klub dan kompetisi memiliki daya tawar yang lebih tinggi untuk memberikan nilai sponsor yang tidak terlalu besar. Istilahnya, diberi pun sudah syukur.

Catatan yang perlu digarisbawahi adalah fans dalam industri sepakbola bukanlah konsumen. Terminologi konsumen dalam KBBI berarti pemakai barang atau jasa hasil produksi, dalam terminologi tersebut hubungan konsumen dan produsen dianggap selesai begitu transaksi disepakati. Sementara hubungan fans dan klub tidaklah demikian. Akan ada timbal balik yang diterima oleh fans dari klub dan entitas lainnya dalam industri sepakbola, dengan catatan industri tersebut berjalan dengan sehat. Oleh sebab itu, kemajuan industri sepakbola di suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh fans. Tidak adil rasanya, menghakimi bahwa fans dengan daya beli yang rendah sebagai faktor utama belum majunya industri sepakbola tanah air.

Industri sepakbola melibatkan banyak pihak dan untuk mewujudkan perindustrian sepakbola yang sehat, tentu dibutuhkan sinergi dan iklim yang sehat pula dari pihak-pihak terlibat di dalamnya.

Awal tahun 2019 kemarin, industri sepakbola di Indonesia seperti mendapatkan angin segar dengan munculnya draft Inpres No. 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional. Inpres tersebut menginstruksikan 12 kementerian, kapolri, dan seluruh gubernur serta bupati/walikota untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing kementerian/lembaga untuk melakukan peningkatan prestasi sepak bola nasional dan internasional. Namun, lagi-lagi pandemi menjadi rintangan dalam realisasi rencana tersebut.

Akan seperti apa wajah industri sepakbola Indonesia ke depan? Menarik untuk kita cermati bersama-sama.

Referensi:

--

--