Sustainable Development Goals: Life Below Water — Kelestarian Ekosistem Perairan Untuk Kehidupan Yang Berkelanjutan

HMGP Citrakara Mandala UGM
Citrakara Mandala
Published in
17 min readMar 22, 2023

Periphery Grup A | Sayembara Artikel Regional Development in Action HMGP 2022

Tujuan ke-14 SDGs. Sumber: Stephanie Designs.

Pendahuluan

Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan suatu rancangan pembangunan berkelanjutan yang telah direncanakan sebagai bentuk penyempurnaan dari Millenium Development Goals (MDGs) yang telah berakhir pada tahun 2015. SDGs ini telah disepakati oleh para pemimpin dunia termasuk Indonesia guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030. SDGs lahir pada tanggal 25 September 2015, di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dimana para pemimpin dunia secara resmi mengesahkan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) sebagai kesepakatan pembangunan global.

Tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup, serta pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi lainnya. Jika dijabarkan lebih lanjut, 17 tujuan SDGs meliputi penurunan angka kemiskinan, mengatasi kelaparan, kesehatan masyarakat, pendidikan bermutu, kesetaraan gender, sanitasi air mudah dijangkau, energi terjangkau, pekerjaan layak, infrastruktur, mengurangi ketimpangan, kota berkelanjutan, konsumsi dan produksi berkelanjutan, penanganan perubahan iklim, penjagaan ekosistem laut, penjagaan ekosistem darat, perdamaian dan kemitraan.

Photo by Naja Bertolt Jensen on Unsplash

Pembahasan

Salah satu dari ketujuh belas poin yang dijelaskan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) adalah poin ke empat belas yang memiliki fokus tujuan pada ekosistem laut atau life below water. SDGs poin 14 ini menjelaskan tentang pelestarian dan pemanfaatan lautan, laut, dan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan¹. Lebih spesifik lagi, poin ini menyangkut bagaimana menyeimbangkan penggunaan sumberdaya air secara merata dengan menjaga kualitas air dan memastikan ekosistem yang sehat dan beragam². Beberapa tujuan dari SDGs poin 14³ yaitu; Mencegah dan secara signifikan mengurangi segala macam pencemaran laut, khususnya dari aktivitas darat, termasuk puing-puing laut dan polusi nutrisi. Mengelola dan melindungi ekosistem laut dan pesisir secara berkelanjutan untuk menghindari kerugian yang signifikan, termasuk dengan memperkuat daya tahan mereka, dan mengambil tindakan restorasi untuk mencapai lautan yang sehat dan produktif. Meminimalkan dan mengatasi dampak pengasaman laut, termasuk melalui peningkatan ilmiah.

Secara efektif mengatur penghentian pemancingan berlebihan, ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur praktik penangkapan ikan dan destruktif serta menerapkan rencana pengelolaan berbasis ilmu pengetahuan, dalam rangka memulihkan stok ikan dalam waktu sesingkat mungkin. Melestarikan setidaknya 10% wilayah pesisir dan laut, konsisten dengan nasional dan hukum internasional dan berdasarkan informasi ilmiah terbaik yang tersedia. Melarang bentuk subsidi perikanan tertentu yang berkontribusi terhadap kelebihan kapasitas penangkapan ikan secara berlebihan, menghilangkan subsidi yang berkontribusi terhadap penangkapan ikan ilegal. Meningkatkan keuntungan ekonomi bagi negara-negara berkembang di Pulau Kecil dan paling sedikit berkembang negara-negara dari penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan, termasuk melalui pengelolaan berkelanjutan perikanan, akuakultur, dan pariwisata. Meningkatkan pengetahuan ilmiah, mengembangkan kapasitas penelitian dan mentransfer teknologi kelautan. Menyediakan akses bagi nelayan pengrajin skala kecil ke sumber daya laut dan pasar. Serta meningkatkan konservasi dan penggunaan berkelanjutan lautan dan sumber dayanya dengan menerapkan hukum internasional sebagaimana tercermin dalam UNCLOS, yang menyediakan kerangka hukum untuk konservasi dan penggunaan berkelanjutan lautan dan sumber dayanya.

Photo by Brandon on Unsplash

Permasalahan

Poin ke empat belas sustainable development goals, life below water membahas mengenai bagaimana kita mengelola dan menjaga laut secara berkelanjutan⁴. Laut menyusun lebih dari 70 persen permukaan bumi, sehingga sangat mempengaruhi bagaimana proses-proses ekosistem yang berjalan. Proses ekosistem tersebut meliputi aliran energi, siklus hidrologi, siklus nutrien, dan dinamika komunitas⁵. Aliran energi merupakan proses perpindahan energi dari matahari ke tumbuhan melalui fotosintesis, energi kemudian berpindah ke hewan melalui predasi. Laut memiliki beragam organisme autotrof atau yang dapat menghasilkan makananya sendiri melalui fotosintesis yang hidup di dalamnya seperti alga, phytoplankton, dan tumbuhan laut mencangkup kelp, rumput laut, dan lamun. Siklus hidrologi adalah serangkaian proses evaporasi, kondensasi, presipitasi, dan infiltrasi yang mengubah wujud air dan mengalihkan ke tempat lain. Laut menjadi tempat sebagian besar evaporasi dilangsungkan dan menjadi tujuan akhir pergerakan aliran permukaan melalui sungai. Siklus nutrien adalah transfer nutrisi seperti nitrogen, fosfor, dan sulfur yang penting terhadap jalanan metabolisme organisme melalui proses dekomposisi dan konsumsi. Siklus ini berkaitan dengan aliran energi yang juga berhubungan dengan rantai makanan. Di ekosistem laut, biomassa dan proses rantai makanan terkonsentrasi di zona neritik atau bagian laut atas yang masih terpapar sinar matahari. Zona Neritik ini akan mempengaruhi kondisi dan kehidupan di zona laut yang memiliki kedalaman lebih dalam yakni Zona Pelagic melalui marine snow⁶. Dinamika komunitas mengacu pada perubahan struktur komunitas dan komposisi dari makhluk hidup, yang tinggal di lingkungan tertentu dan akan mengubah lingkungannya meski pada lingkup yang kecil. Seiring berjalannya waktu dan perubahan lingkungan yang terjadi, jenis tumbuhan, hewan dan mikrobiologi yang menempati daerah tersebut juga akan berubah.

Laut merupakan objek yang kompleks, sehingga jika terdapat suatu disturbansi maka akan berdampak kepada hal lain dalam rentang durasi dan lokasi tertentu. Dinamisme yang ada tidak sebatas pada proses alam. Faktor manusia yang berkembang dalam jumlah besar pada waktu yang singkat di masa modern, mengubah lingkungan sekitar dalam skala dan tempo yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berikut merupakan permasalahan terbesar terhadap kehidupan laut:

Penangkapan Ikan Berlebihan
Penangkapan ikan secara berlebihan menyebabkan populasi ikan tidak dapat kembali kepada jumlah populasi semula. Kebijakan, pinjaman, dan subsidi dilakukan oleh pemerintah terhadap penangkapan dan budidaya ikan untuk industri berskala besar di mulai pada pertengahan abad 20 hingga sekarang; guna memenuhi kebutuhan, ketersediaan, dan keterjangkauan makanan laut yang tinggi protein terhadap masyarakat luas. Komersialisasi yang berdasar pada pencarian keuntungan, menggunakan teknologi dan metode berupa longline fishing, drift netting, trawling, gillnets, dan blast fishing dalam ekstraksi organisme laut⁷.

  • Longline fishing adalah pancing tunggal yang sangat panjang (dapat
    membentang hingga 100 kilometer) dengan ribuan kail kecil terpasang,
    masing-masing memiliki kail berumpan yang digunakan untuk memancing dan menangkap ikan target. Longline dapat digunakan di dekat permukaan laut atau dasar laut, tergantung pada ikan yang menjadi sasaran. Meskipun demikian, spesies non-target seperti anjing laut, lumba-lumba, hiu, pari, penyu, dan burung laut dapat dengan mudah tersangkut di kail atau terjerat di tali, walaupun tidak mengambil umpan. Hewan-hewan non target ini disebut dengan bycatch yang kemudian dibuang dalam keadaan terluka, sekarat, atau mati. Sehingga penangkapan dengan cara ini tidak hanya mengancam spesies target, tapi juga semua spesies di areal tangkap.
Ilustrasi Longline Fishing. Sumber: NOAA fisheries.
  • Drift Netting adalah proses penangkapan ikan dengan jaring dengan tinggi 30 meter dan panjang bisa mencapai 20 kilometer dengan pemberat sebagai penahan di dasar laut dan pelampung di permukaan. Bersifat tidak selektif dan menghasilkan tangkapan sampingan/bycatch yang sangat tinggi. Alat yang digunakan dalam metode ini besar dan berat, seringkali jaring terputus, hilang, dan ditinggalkan; menyebabkan ghost fishing atau memerangkap dan menyebabkan kematian kepada organisme laut meskipun tidak dilakukan penangkapan ikan. Di samping itu penelantaran jaring ini menghasilkan 10 persen dari sampah plastik laut⁸.
Ilustrasi Drift Netting. Sumber: Oceana Europe.
  • Trawling atau pukat merupakan metode penangkapan yang menyasar kerang, udang, rockfish, flounder, dan cod fish dengan menyeret jaring di dasar laut. Aktivitas ini menghasilkan 90% bycatch dan sangat merusak dasar laut secara permanen mulai dari membuat air laut keruh di ekosistem yang stabil, mematahkan terumbu karang, mencabut padang lamun, menghancurkan habitat organisme yang merupakan tempat
    perlindungan dan mencari makan, dan mengganggu proses ekosistem yang ada.
Ilustrasi Trawling. Sumber: Stuff.co.nz.
  • Gillnets adalah jenis penangkapan ikan dengan menggunakan jaring yang sulit dibedakan dengan kondisi laut yang menjerat ikan di bagian insang. Ukuran lubang jaring disesuaikan dengan besaran target. Meskipun terlihat telah solutif, ukuran jaring yang secara keseluruhan masih besar menjadi permasalahan kepada biota yang lebih besar, terutama mamalia laut yang tenggelam dan tak dapat menghirup udara. Jaring yang tipis dan tajam dapat menyayat organisme tangkapan, menyebabkan infeksi, dan kehilangan bagian tubuh terutama sirip dan ekor.
Ilustrasi Gillnets. Sumber: Oceana USA.
  • Blast Fishing menggunakan peledak seperti dinamit untuk menangkap ikan dengan usaha dan waktu yang singkat. Kebanyakan metode ini dilakukan di wilayah tropis oleh masyarakat nelayan cukup terisolasi. Hasil tangkapan yang didapatkan tidak banyak karena mengambil ikan yang mati mengambang, sedangkan sebagian besar ikan yang terbunuh tenggelam karena kerusakan fungsi organ. Gelombang kejut yang dihasilkan dari Penggunaan bahan peledak dapat menyebabkan luka kepada manusia dan kerusakan permanen terumbu karang permanen yang berimbas pada kerusakan keseluruhan ekosistem dalam jangka panjang⁹.
Ilustrasi Blast Fishing. Sumber: Kupas Merdeka.

Berdasarkan data dari UN Food and Agriculture (FAO), 58 persen dari komoditas perikanan yang ada saat ini termasuk kedalam kategori sepenuhnya ditangkap/fullyfished di atas tingkat berkelanjutan. Di samping itu, 24 persen ikan yang beredar di pasar tidak memiliki data asal yang pasti dan hanya 17 persen ikan ditangkap secara berkelanjutan¹⁰. Perusahaan besar dalam sektor ekonomi eksploitasi ikan dalam jumlah besar, menyebabkan populasi ikan berkurang secara signifikan dan tidak bisa kembali pada jumlah semua atau berada di bawah replacement rate. Di samping itu, menggeser peran nelayan lokal sebagai sumber utama pasokan ikan, menyebabkan kemiskinan secara struktural dimulai dari sedikitnya pasokan ikan, matinya kampung nelayan karena kompetisi harga, dan kerusakan ekosistem tempat tinggal dan pesisir.

Polusi Suara
Aktivitas manusia yang dilakukan di pesisir dan di atas laut membuat suara yang mengganggu kemampuan biota lautan untuk mendengar suara alam di laut. Organisme laut seperti ikan dan mamalia beradaptasi dan berkembang di laut dengan kemampuan deteksi suara yang dibentuk oleh alam untuk mencari target mangsa, menghindari predator, komunikasi, dan mengetahui kondisi lingkungan sekeliling. Peningkatan kegiatan manusia pasca industrialisasi dan globalisasi terkait kebutuhan manusia yang makin kompleks, memberikan kekacauan terhadap suara alam ini dan berdampak langsung terhadap kemampuan biota laut. Aktivitas tersebut berupa eksplorasi pemetaan minyak dan gas, sonar untuk keperluan militer dan penangkapan ikan, pariwisata, serta yang paling utama adalah transportasi laut melalui pergerakan kapal¹¹. Peta di bawah ini menunjukkan hubungan positif antara kegiatan transportasi perkapalan dengan kebisingan laut.

Peta Jalur Pelayaran (Kiri) dan Peta Kebisingan (Kanan) di Laut Baltik. Sumber: European MSP Platform/Finland’s Environmental Administration.

Polusi Plastik
Plastik atau polyethylene merupakan produk hasil turunan dari minyak bumi yang tersusun oleh polimer karbon dan hidrogen. Plastik memiliki kegunaan yang beragam, mulai dari kemasan makanan, utilitas, konstruksi properti, elektronik, kendaraan, hingga pertanian. Berbagai macam kegunaan itulah yang menyebabkan besarnya produksi plastik yang mencapai lebih dari 300 juta ton, yang mana setengahnya adalah plastik sekali pakai¹². Di samping itu, plastik adalah produk yang tidak mudah terurai sehingga berdampak kepada kerusakan lingkungan, rendahnya ketahanan pangan, dan tingginya risiko kematian makhluk hidup. Sampah plastik biasanya dikumpulkan ke dalam tempat pembuangan sampah untuk dikubur, dibakar, maupun didaur ulang. Akan tetapi banyak dari masyarakat memiliki kesulitan akses terhadap pengolahan sampah atau berupa kesadaran terhadap lingkungan yang kurang, sehingga sampah-sampah plastik dibuang ke tempat terbuka atau open dumping yang secara langsung berakibat buruk kepada sekitar, seperti bau tak sedap, pengurangan estetika, dan polusi air bersih. Dalam jangka panjang, sampah-sampah yang terkumpul akan tertutup tanah atau hanyut terkena hujan dan aliran sungai yang bermuara ke lautan.

Ilustrasi Ocean Plastic Pollution. Sumber: BBC.

Sampah plastik mendominasi 80 persen sampah yang ada di laut, yang terbagi kedalam sampah pesisir/shoreline, sampah permukaan/sea surface, sampah sedimen/seafloor. Sampah di laut tidak hanya diam di tempat, melainkan mengikuti proses marine berupa pergerakan arus dan gelombang. Sampah akan
berkelompok pada laut yang tenang di sekitaran pesisir atau di tengah laut yang dikelilingi arus melingkar atau gyre, pacific garbage patch merupakan kumpulan sampah di laut yang berada di gyre pasifik utara. Dikarenakan jumlah sampah yang besar dan karakteristik plastik yang bervariasi, biota laut dapat salah mengidentifikasi sampah sebagai makanan sehingga sampah plastik akan terakumulasi di organisme. Selain itu, plastik yang terpapar sinar matahari dan air secara terus-menerus akan mengalami kerusakan dan menjadi partikel kecil berukuran kurang dari 5 mm yang disebut dengan microplastic¹³. Microplastic dapat masuk ke tubuh makhluk hidup (bahkan ke organisme bersel satu) melalui pernapasan dan konsumsi yang dapat mengakibatkan keracunan, kanker, dan kematian. Microplastic ditemui dimana mana termasuk pada makanan laut melalui sistem rantai makanan, kosmetik, tanah, udara, dan air minum, sehingga pada akhirnya juga mengancam kesehatan manusia.

Eutrofikasi
Fenomena kenaikan jumlah alga yang mengakibatkan penurunan kadar oksigen lalu menyebabkan kematian kematian masal organisme perairan¹⁴. Terdapat lima tahap dalam eutrofikasi; Pertama, kenaikan jumlah nutrien (nutrient loading) di badan air yang berasal dari kegiatan pertanian yang dilakukan secara ekstensif, berupa pemberian pupuk berlebihan serta kotoran peternakan dan budidaya ikan yang akan terlarut oleh hujan atau sengaja di buang ke sungai/run-off. Kedua, phytoplankton dan cyanobacteria yang berbahaya jika dikonsumsi, berkembang dengan pesat (algae bloom) karena meningkatnya ketersediaan nutrien yang dicirikan dengan air berwarna hijau pekat. Ketiga, algae bloom menutupi permukaan air sehingga penetrasi cahaya matahari berkurang dan terjadi penurunan nutrien, menyebabkan kematian tanaman (death of plant). Keempat, kematian tanaman dan algae menyebabkan dekomposisi yang membutuhkan banyak oksigen dalam proses pembusukannya, terjadi penurunan kadar oksigen secara signifikan (hypoxia). Kelima, oksigen terus menipis sehingga berada di titik dimana kapasitas lingkungan tidak lagi dapat mendukung kehidupan dalam sementara waktu (suffocation and death of ecosystem), terjadi kematian masal organisme perairan seperti ikan, krustasea, dan mamalia laut.

Eutrofikasi Teluk Meksiko 2021. SUmber: NOAA.

Eutrofikasi merupakan proses alam yang terjadi secara berkala. Namun dengan kegiatan manusia dalam bidang agrikultur dalam skala besar untuk memenuhi permintaan pangan, fenomena ini menjadi lebih sering dijumpai dalam jangkauan lokasi yang dan dampak yang lebih masif dengan durasi lebih panjang. Contohnya adalah Eutrofikasi Teluk Meksiko pada tahun 2021¹⁵ yang diakibatkan oleh pertanian di Daerah Aliran Sungai Mississippi yang menjadi kawasan pertanian penting bagi makanan pokok (breadbasket area) yang dilakukan secara ekstensif sepanjang tahun melalui pengaturan sistem irigasi dan pemberian pupuk berlebihan untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal dan global.

Fenomena Algae Bloom. Sumber: Lyda Harris.

Reklamasi dan Perubahan Penggunaan Lahan Pesisir
Kawasan pesisir merupakan area daratan yang masih dipengaruhi karakteristiknya oleh fenomena laut. Pesisir biasanya berbentuk dataran rendah dengan beberapa aliran sungai yang berhadapan langsung dengan tepi pantai. Pesisir menjadi kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati karena merupakan daerah peralihan antara darat dan laut. Selain itu, 40 persen atau sekitar 2,4 miliar populasi manusia juga tinggal dalam jarak 100 kilometer dari tepi pantai¹⁶. Manusia memiliki pergerakan yang cepat, perkembangan ekonomi dan masyarakat, dan perubahan penggunaan lahan non pertanian (urbanisasi) membutuhkan ruang yang cukup besar. Kekurangan lahan budidaya non produktif, proteksi kawasan lindung, dan menghindari konflik antara manusia dan lahan, perluasan ke arah laut atau reklamasi menjadi jawaban yang efektif terhadap permasalahan yang dilalui. Meskipun kegiatan konstruksi lahan pesisir dilakukan dalam jangka pendek dan skala kecil, akan tetapi dapat mengakibatkan gangguan terhadap keseluruhan sistem ekosistem, mempengaruhi stabilitas, keanekaragaman, dan keberlangsungan proses-proses geomorfologi pesisir¹⁷.

Photo by Dylan Gialanella on Unsplash

Dampak-dampak reklamasi dan pengubahan pesisir antara lain:

  • Kerusakan lahan basah, rawa, dan hutan mangrove mengakibatkan penurunan jumlah biodiversitas laut dan darat. Penangkapan ikan adalah sektor ekonomi yang dominan di kawasan pesisir. Pengerukan dasar laut dan menimbun pesisir, akan menyebabkan penghilangan habitat, mengganggu alur pergerakan ikan, dan kerusakan sarang. Hal tersebut akan mempengaruhi hasil tangkap dan ekonomi perikanan secara keseluruhan. Overfishing dan reklamasi yang dilakukan di sepanjang garis pantai untuk melindungi lahan pertanian produktif di Cina, menyebabkan penurunan yang drastis terhadap jumlah tangkapan ikan yang diambil di wilayah laut teritorialnya. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir nelayan dan perusahaan penangkap ikan menargetkan eksploitasi laut internasional di sekitaran Amerika Selatan.¹⁸
  • Kualitas air di pesisir sangat dipengaruhi oleh bentuk garis pantai dan kedalaman perairan yang berhubungan dengan gelombang pasang surut dan aliran sungai. Jika aspek-aspek tersebut mengalami perubahan maka proses hidrodinamika air akan mengalami ketidakseimbangan dan terjadi penurunan kualitas air. Contohnya adalah stagnasi air laut di Palm Jumeirah, Dubai yang mengakibatkan tingginya amonia dan terjadi eutrofikasi¹⁹.
  • Peningkatan erosi dan sedimentasi, reklamasi akan mempengaruhi pembentukan sedimentasi dan wilayah erosi dikarenakan adanya pergerakan air laut dan kecepatan arus antara bagian-bagian pesisir yang berkaitan dengan kapasitas transportasi sedimen yang dibawa. Erosi pada bibir pantai bisa jadi akan lebih intensif sehingga membahayakan kawasan terbangun. Sedimentasi di muara sungai juga bisa menutup aliran sungai menyebabkan banjir di wilayah pesisir.

Perubahan Iklim
Laut sangat penting dalam regulasi panas karena kapasitas kalor yang tinggi dibandingkan daratan, panas matahari diterima dan disimpan ketika malam dan dilepaskan ketika malam. Perubahan iklim berupa pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca menyebabkan panas yang dipantulkan dan yang dilepaskan oleh permukaan bumi, tidak secara efektif bisa keluar dari atmosfer, sehingga terjadi pemantulan dan pemanasan kembali²⁰. Peningkatan temperatur dalam beberapa derajat saja sangat mempengaruhi sistem kinerja laut berupa pencairan es, peningkatan muka air laut, gelombang panas dan pengasaman laut, serta penurunan biodiversitas.

Pencairan es yang berada di kawasan kutub dan pegunungan serta peningkatan suhu air, mengakibatkan kenaikan muka air laut dan peningkatan frekuensi bencana hidrologi seperti banjir, erosi, longsor, siklon tropis, kekeringan, dan pergeseran musim. Muka air laut pada tahun 2013–2022 mengalami peningkatan sebesar 4,5mm/tahun, naik dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 1993–2002 yang sebesar 2,1mm/tahun²¹. Fenomena gelombang panas lautan menjadi lebih panjang dengan efek yang lebih intensif. Gelombang panas mengakibatkan degradasi dan pemutihan terumbu karang, hal ini disebabkan oleh karakteristik terumbu karang yang sensitif terhadap lingkungan seperti getaran, suhu, dan polutan. Padahal Terumbu karang adalah area dengan biodiversitas tertinggi di lautan. Kenaikan suhu sebesar 1.5 persen akan mengakibatkan 70–90% koral akan menghilang²². Dalam perubahan iklim, laut dan pesisir berfungsi sebagai blue and brown carbon storage yang mana menyimpan karbon sebagai proses alam. Pengrusakan dan gangguan akan menyebabkan dampak lebih luas terhadap manusia dan ekosistem.

Photo by USGS on Unsplash

Solusi

Mengacu pada permasalahan dan dampaknya terkait keberlanjutan ekosistem perairan sebagaimana yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya, dirasa diperlukannya upaya dan peran manusia dalam pengatasan hal tersebut. Manusia sebagai “aktor” yang berperan aktif dalam perusakan ekosistem dan lingkungan, selayaknya menjadi penanggung jawab utama terkait permasalahan tersebut. Solusi-solusi yang strategis amat diperlukan dan dibutuhkan urgensinya supaya kerusakan perairan yang telah terjadi selama ini tidak menjadi kemelut yang berlanjut. Orientasi kegiatan-kegiatan manusia ini sebaiknya kini diubah dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, termasuk ekosistem perairan, khususnya laut, yang kini telah rusak oleh ulah tangan manusia.

Lalu, sejauh mana manusia dapat bertindak dalam upaya perbaikan dan penjaminan keberlanjutan ekosistem perairan? Pertama, manusia dapat mengembangkan usaha akuakultur yang berkelanjutan. Kegiatan tersebut bila diatur dengan benar, dengan menciptakan pengusahaan laut dan pembudidayaan ikan yang mengacu pada keberlanjutan ekosistem, akan berdampak besar melalui minimnya produksi limbah dan mendukung diversifikasi spesies. Memang kebanyakan dari pelaku kegiatan tersebut belum menjangkau pasar komersial yang berskala besar. Namun, pihak-pihak yang berwenang dan memiliki dana dapat membantu mereka dalam usaha pencapaiannya. Manusia dapat pula mengupayakan alternatif bahan lain selain plastik yang terbukti berdampak besar dalam pencemaran perairan. Alternatif tersebut kiranya dapat menggantikan, atau setidaknya mengurangi, penggunaan plastik supaya pencemaran tidak terjadi terus menerus kedepannya. Bahan alternatif pengganti plastik dapat berupa bahan yang tidak sekali pakai/reusable atau yang tidak merusak lingkungan bila terpaksa dibuang atau tidak digunakan. Sembari mencari dan memanfaatkan bahan alternatif, kegiatan tidak terpakainya plastik dapat pula diperhatikan supaya tidak mencemari lingkungan sekitarnya, terkhusus lautan, seperti dengan mengusahakan 3R dalam pemanfaatannya.

Selain plastik, limbah yang mengandung senyawa beracun dapat menjadi perhatian manusia dalam komitmen keberlanjutan perairan. Melalui birokrasi dan pemerintahan, manusia dapat menghasilkan regulasi pengatur terkait tata laku penghasilan polutan/limbah. Regulasi tersebut perlu dibuat seobjektif mungkin dan memperjuangkan kelestarian ekosistem. Peraturan tersebut dapat mengatur terkait pengelolaan pembuangan limbah, pengklasifikasian bahan berbahaya dan beracun yang mengancam dengan jelas, hingga sanksi yang diberikan kepada sektor terkait yang “membandel”. Sebagai individu dan pelaku usaha yang berpotensi menghasilkan polutan, manusia juga perlu dibangun kesadarannya akan bahaya pembuangan limbah yang sembarangan pada lingkungan alam, khususnya perairan. Pembangunan kesadaran tersebut dapat diusahakan melalui ranah pendidikan formal hingga kampanye-kampanye yang persuasif.

Sektor industri terbukti menjadi “donatur” besar dari usaha pencemaran ekosistem lautan. Banyak aspek yang menyumbang peran dari kegiatan pencemaran tersebut. Pembuangan limbah yang sembarangan, tidak adanya pengelolaan lebih lanjut dari polutan berbahaya, hingga suara bising yang dihasilkan adalah contoh nyata aktivitas sektor industri yang sering dijumpai yang rupanya juga merusak ekosistem perairan. Kesadaran pelaku industri perlu senantiasa diusahakan supaya kegiatannya tidak semata mengacu pada usaha profitable, namun juga usaha dalam mendukung kelestarian. Regulasi pemerintah dapat menjadi senjata yang menekan sektor tersebut karena menjadi media penekan yang preventif melalui adanya kepastian hukum dan sanksi yang diterapkan apabila terjadi penyimpangan. Sektor usaha industri kiranya juga menaruh perhatiannya kelestarian, seperti dengan mengalokasikan/memanfaatkan CSR bagi usaha pembudidayaan dan pelestarian.

Selain itu, kerusakan dan perubahan iklim kiranya perlu dikendalikan melalui kegiatan-kegiatan manusia pendukung, seperti mengurangi kegiatan yang menghasilkan emisi karbon. Hal itu dapat diwujudnyatakan sesederhana dari komponen terkecil masyarakat, yaitu individu dengan memanfaatkan kendaraan yang ramah lingkungan dan menggunakan kendaraan umum jika hendak bepergian. Beruntung, kini terdapat wadah Climate Change Conference bagi dunia untuk merumuskan permasalahan terkait dengan perubahan iklim. Upaya perumusan tersebut akan menghasilkan perjanjian dan komitmen dunia dimana akan berlanjut melalui pengimplementasian kebijakan pada masing-masing negara.

Tentu masih banyak upaya dan solusi yang dapat diidentifikasi untuk penanganan permasalahan yang berimbas pada kelestarian lingkungan perairan. Banyak cara dan strategi yang dapat diwujudkan masing-masing pihak dengan perannya masing-masing dalam mencapai perairan yang berkelanjutan.

Pada intinya, peran seluruh stakeholder terkait sangat diperlukan untuk menjamin keberlanjutan usaha menuju ekosistem perairan yang sustainable seperti yang telah dicita-citakan melalui SDGs. Pemerintah, masyarakat, sektor usaha, lembaga swadaya, hingga akademisi kiranya memiliki perhatian dan atensi lebih mengenai isu dan problematika tersebut. Komitmen yang utuh dan bulat perlu terus dijaga dan diperkuat guna menjamin keberlanjutan pelaksanaan. Maka dari itu inisiatif dan kesadaran, kolaborasi, koordinasi, dan langkah nyata dari seluruh pihak menjadi kunci dalam mencapai usaha keberlanjutan ekosistem perairan.

Kesimpulan

Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu sebuah dokumen yang akan menjadi sebuah acuan dalam kerangka pembangunan dan perundingan negara-negara dunia. Konsep SDGs diperlukan sebagai kerangka pembangunan baru yang mengakomodasi semua perubahan yang terjadi pasca 2015 MDGs.

The SDGs poin 14 bertujuan untuk menegelola secara berkelanjutan dan melindungi ekosistem laut dari pencemaran aut, khususnya dari aktivitas darat termasuk puing-puing laut dan polusi nutrisi. Meningkatkan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya berbasis laut melalui hukum internasional juga akan membantu mengurangi beberapa tantangan yang dihadapi lautan kita.

Sayembara Artikel

Artikel ini mendapatkan kategori terbaik dalam Sayembara Artikel yang diselenggarakan HMGP Citrakara Mandala UGM dalam rangkaian acara Regional Development in Action (Redevition) HMGP 2022.

Referensi

¹ Neumann, B., Ott, K., & Kenchington, R. (2017). Strong sustainability in coastal areas: a conceptual interpretation of SDG 14. Sustainability science, 12(6), 1019–1035.

² Sturesson, A., Weitz, N., & Persson, Ã. (2018). SDG 14: Life Below Water. A Review of Research Needs. Technical annex to the Formas report Forskning. Agenda, 2030.

³ Virto, L. R. (2018). A preliminary assessment of the indicators for Sustainable Development Goal (SDG) 14 “Conserve and sustainably use the oceans, seas and marine resources for sustainable development”. Marine Policy, 98, 47–57.

⁴ Marconi, M. (2019, June 05). Protecting Oceans. UBS sustainability and Impact. Diakses dari tautan.

⁵ Girgis, C. L. dan Moseley, W. What Are Ecosystem Processes, and Why Do They Matter on the Ranch?. Noble Research institute: regenerative Agriculture. Diakses dari tautan.

⁶ Decho, A. W. dan Gutierrez, T. (2017). Microbial Extracellular Polymeric Substances (EPSs) in Ocean Systems. Front Microbiol. 2017; 8: 922. doi: 10.3389/fmicb.2017.00922.

⁷ 4Ocean. (2021, April 12). 6 Harmful Overfishing Practices and Types of gear. Diakses dari tautan.

⁸ Laville, S. (2019, November 6). Dumped fishing gear is biggest plastic polluter in ocean, finds report. Diakses dari tautan.

⁹ Alcala, A.C. and E.D. Gomez. (1987). Dynamiting coral reefs for fish: a resource destructive fishing method. Human Impacts on Coral Reefs: Facts and Recommendations p.51–60. In B. Salvat (ed.)

¹⁰ Baxter, A. (2009, October 1). New Report Finds More Than 80% of World’s Fisheries In Danger From Overfishing. Diakses dari tautan.

¹¹ EUCC. (2019). Management and monitoring of underwater noise in European Seas. Overview of main European-funded projects and other relevant initiatives 2nd Communication Report.

¹² IUCN. (2021). Marine Plastic Pollution. Diakses dari tautan.

¹³ National Geographic. (2022). Microplastic. Diakses dari tautan.

¹⁴ EarthHow. (2022). How Does Eutrophication Work? Causes, Process and Examples. Diakses dari tautan.

¹⁵ Ocean Today NOAA. (2021). Happening Now: Dead Zone in the Gulf 2021. Diakses dari tautan.

¹⁶ Ocean Conference. (2017). Factsheets: People and Ocean. Diakses dari tautan.

¹⁷ Ge, Yu dan Jun-Yan, Zhang. (2011). Analysis of the Impact On Ecosystem and Environment of Marine Reclamation: A Case Study in Jiaozhou Bay. Energy Procedia 5 (2011), 105–111.

¹⁸ Myers, S.L., Chang, A., Watskin, D., dan Fu, Claire. (2022). How China Targets the Global Fish Supply. Diakses dari tautan.

¹⁹ Laylin, T. (2010). More Signs Of Dubai’s Foul Ecology At Jumeirah Islands. Diakses dari tautan.

²⁰ NASA. (2017). What is Earth’s Energy Budget? Five Questions with a Guy Who Knows. Diakses dari tautan.

²¹ WMO. (2022). Eight Warmest Years on Record Witness Upsurge in Climate Change Impact. Diakses dari tautan.

²² WMO. (2022). State of Global Climate 2021. World Meteorological Organization -no.1290 pp. 39. Diakses dari tautan.

--

--