Vertical Farming: Bertani itu ke Atas, Bukan ke Samping

Cara mencegah penyempitan lahan pertanian akibat ledakan populasi

Geraldy Kianta
Citrakara Mandala
6 min readSep 14, 2020

--

Vertical farming adalah metode pertanian yang futuristik (Sumber: www.dsmranddtaxcredits.co.uk)

Pada tahun 2045, jumlah penduduk Indonesia diprediksi oleh Badan Pusat Statistika (BPS) akan bertambah menjadi sebanyak 319 juta jiwa. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk saat ini yang adalah 267 juta jiwa, hal ini berarti dalam kurun waktu 25 tahun mendatang akan terjadi peningkatan sebesar 52 juta jiwa (CNN Indonesia, 2020). Angka yang cukup besar, bukan? Bisa kita bayangkan sendiri berbagai problematika yang harus ditangani negara nantinya berkaitan dengan lonjakan jumlah penduduk ini.

Salah satu permasalahan yang disinyalir banyak pihak akan memerlukan perhatian lebih ke depannya adalah mengenai pemenuhan kebutuhan pangan dari hasil produksi sektor pertanian. Secara nalar, hal ini jelas saja. Jumlah penduduk meningkat artinya jumlah perut yang perlu dikenyangkan pun bertambah pula. Akan tetapi, permasalahan pangan ini sesungguhnya tidak sesederhana penggambaran tersebut. Mengapa demikian?

Beriringan dengan pertumbuhan penduduk, selain dari kebutuhan pangan, kepentingan akan pembangunan infrastruktur pun juga tak bisa diabaikan. Hal ini terutama berkaitan dengan pembangunan area tempat tinggal seperti perumahan serta berbagai fasilitas umum penunjang kehidupan lainnya. Dalam pelaksanaan segala pembangunan tersebut, hal yang terutama diperlukan adalah lahan.

Di sinilah kemudian dilematis pemenuhan kebutuhan pangan melalui pertanian muncul. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum di Indonesia bahwa area pertanian sering menjadi korban alih fungsi lahan demi pembangunan infrastruktur. Sebagai contoh, pada tahun 2018 sendiri, Indonesia kehilangan lahan baku sawah seluas 0,65 juta hektar, yaitu dari 7,75 juta hektar pada tahun 2017 menurun menjadi 7,1 juta hektar (CNN Indonesia, 2018).

Singkat kata, pertanian yang seringkali kalah ‘berebut’ lahan dengan kebutuhan pembangunan akan menghadapi masalah dimana permintaan produksi meningkat, namun kemampuan atau kapasitas produksi justru menurun.

Dengan adanya kompleksitas di atas, pertanian di Indonesia memerlukan solusi agar dapat mempertahankan kekokohan produksi, meskipun senantiasa menghadapi ancaman akan penyusutan lahan. Salah satu solusi yang tepat dalam membereskan persoalan tersebut adalah dengan menerapkan sistem vertical farming, dimana ‘pertanian tidak lagi mencari lahan ke samping, melainkan pertanian memperluas lahan ke atas’.

Bagaimana maksudnya? Selanjutnya dalam artikel ini, akan dibahas mengenai vertical farming secara lebih jauh untuk menjawab pertanyaan tersebut. Selamat membaca!

Apa yang dimaksud dengan vertical farming?

Vertical farming (dalam bahasa Indonesia berarti pertanian vertikal) merupakan bentuk teknologi pertanian yang bertujuan untuk menumbuhkan tanaman dalam lingkungan ruang tertutup yang terkontrol. Dalam sistem bertani ini, tanaman ditumbuhkan dengan ditata secara vertikal pada lapisan-lapisan yang bertingkat (Chatterjee et.al., 2020). Penyusunan secara vertikal ini menggunakan media seperti dinding ataupun dengan tanaman diletakkan pada rak susun (Rasyitagani, 2019).

Bila dibandingkan dengan pertanian tradisional, vertical farming memiliki efisiensi, kemampuan adaptasi, dan manfaat yang lebih. Selain dari memecahkan persoalan akan kebutuhan lahan ketika luasan lahan justru menyempit, vertical farming yang dilakukan di dalam ruangan tertutup melindungi tanaman dari kondisi alam seperti pergantian musim, banjir, dan kekeringan.

Vertical farming juga menghasilkan produk tanaman yang lebih berkualitas, sebab kondisi ruangan tempat dilakukannya vertical farming dapat diatur, baik itu temperatur, pencahayaan, kelembapan, dan lain sebagainya. Dengan dua keuntungan yang tersebut di atas, vertical farming kini secara global diusahakan untuk diterapkan secara luas pada kawasan yang sering terdampak kekeringan atau berada di sekitar gurun, seperti pada negara-negara Timur Tengah dan Afrika (Chatterjee et.al., 2020).

Dari segi ekonomi dan sosial sendiri, vertical farming juga memiliki sejumlah keuntungan. Tanaman pangan yang dapat ditumbuhkan di gedung-gedung perkotaan membuat jarak dengan konsumen sudah tidak lagi jauh. Biaya yang tidak perlu dari distribusi melalui transportasi pun dapat dipotong, dimana hal ini pun juga selanjutnya menurunkan harga pasar itu sendiri.

Kejahteraan masyarakat terkait kebutuhan pangan juga dapat ditingkatkan berkat tingkat produksi yang tinggi dari vertical farming. Keberadaan vertical farming juga disinyalir akan memajukan pertumbuhan ekonomi-sosial masyarakat melalui pembukaan jenis lapangan kerja baru serta kenyamanan sosial akibat suasana perkotaan yang seakan menjadi lebih hijau (Kalantari et.al., 2017).

Ragam bentuk vertical farming

Dalam praktiknya, ada beragam bentuk inovasi dari vertical farming. Sebagai suatu teknik bertani yang dilabeli futuristik dan digadang-gadang akan segera mendominasi kebutuhan dunia pertanian, banyak pihak pun pada akhirnya saling berkompetisi mengembangkan sistem vertical farming yang paling unggul.

Sebagai contoh, ada bentuk inovasi yang melibatkan pembangunan gedung tinggi yang dikhususkan bagi vertical farming seperti Plantscaper ciptaan perusahaan Plantagon dari Swedia hingga Skyfarm rancangan Rogers Strik Harbour dari Inggris. Ada pula vertical farming ala IKEA dimana pelaksanaannya langsung dilakukan di dapur rumah tangga (Vyas, 2018).

Skyfarm (Sumber: www.dezeen.com)

Apapun itu bentuk pengembangannya, pada dasarnya segala inovasi tersebut berakar dari 3 tipe vertical farming seperti tersebut di bawah ini (Chatterjee et.al., 2020):

1. Hidroponik

Dalam teknik hidroponik, media pertumbuhan tanaman tidak menggunakan tanah, namun dengan memakai larutan yang kaya akan nutrisi dan hara. Larutan secara berkala diperiksa dan disirkulasi untuk memastikan komposisi kimia dan hara yang ada terjaga.

Hidroponik (Sumber: progressivegrocer.com)

2. Aeroponik

Inovasi yang satu ini diciptakan oleh NASA pada tahun 1990-an sebagai salah satu upaya persiapan ekspedisi luar angkasa. Aeroponik dideskripsikan sebagai menanam tanaman di udara dengan sedikit air dan tanpa tanah. Dibandingkan dengan teknik hidroponik itu sendiri, aeroponik menghemat penggunaan air sebesar 90%.

Aeroponik (Sumber: www.simple.com)

3. Aquaponik

Sistem aquaponik menggabungkan budidaya ikan dengan pertanian dalam satu ekosistem, dimana kedua pihak saling mendukung. Kotoran ikan yang kaya akan nutrisi menjadi pupuk bagi tanaman, sedangkan tanaman berfungsi untuk menjernihkan air.

Aquaponik (Sumber: youmatter.world)

Vertical farming di Indonesia saat ini

Sudah banyak kota-kota besar di berbagai negara seperti China, Korea Selatan, Jepang, Kanada, Italia, Singapura, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Belanda yang mulai menerapkan vertical farming (Kalantari et.al., 2017). Kala teknik bertani ini sudah menjadi hal yang global, bagaimana dengan nasibnya di Indonesia sendiri?

Vertical farming oleh telinga para petani Indonesia lebih dikenal dengan nama indoor farming. Ada pula masyarakat yang menyamakannya sebagai urban farming, meskipun urban farming sendiri adalah konsep yang lebih luas cakupan bahasannya. Secara umum, masyarakat dan petani Indonesia sadar akan eksistensi dari vertical farming, tetapi belum banyak bermunculan tindak lanjut pemanfaatan.

Masyarakat Indonesia memang cenderung masih sulit untuk diajak beralih mencoba hal baru, apalagi bila manfaatnya sendiri belum terlihat secara nyata. Hal yang demikianlah yang terjadi pada vertical farming di Indonesia (Rasyitagani, 2019). Kebanyakan vertical farming juga masih dipandang sebagai hobi belaka, terutama bagi mereka yang memang sudah punya cukup ilmu dan uang untuk mewujudkannya.

Memang masih jauh sebelum vertical farming bisa ‘mewabah’ di Indonesia dan membantu menuntaskan masalah lahan pertanian yang mulai kalah bertarung dengan pembangunan. Oleh karena itu, mari kita edukasi lebih dulu masyarakat dan petani Indonesia agar mereka dapat melihat keuntungan dan kemajuan bertani yang dijanjikan oleh vertical farming.

Suka dengan artikel ini? Coba baca juga:

Jangan lupa tinggalkan claps (tepukan) dan bagikan bacaan ini ke orang-orang tercinta! Semoga senantiasa berbahagia!

Referensi

Chatterjee, A., Debnath, S., & Pal, H. (2020). Implication of Urban Agriculture and Vertical Farming for Future Sustainability. IntechOpen.

CNN Indonesia. (2018). BPS Sebut Luas Lahan Pertanian Kian Menurun. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181025153705-92-341433/bps-sebut-luas-lahan-pertanian-kian-menurun

CNN Indonesia. (2020). BPS Prediksi Penduduk Indonesia Capai 319 Juta Jiwa pada 2045. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200214162302-532-474730/bps-prediksi-penduduk-indonesia-capai-319-juta-jiwa-pada-2045

Kalantari, F., Tahir, O.M., Joni, R.A., & Fatemi, E. (2017). Opportunities and Challenges in Sustainability of Vertical Farming: A Review. Journal of Landscape Ecology. 11(1).

Rasyitagani, T. (2019). Vertical Farming: Solusi Bercocoktanam di Lahan Sempit Perkotaan. https://agrodite.com/vertical-farming/

Vyas, K. (2018). 13 Vertical Farming Innovations That Could Revolutionize Agriculture. https://interestingengineering.com/13-vertical-farming-innovations-that-could-revolutionize-agriculture

--

--