Curse of Knowledge di UI/UX Design

Adam Mukharil Bachtiar
UNIKOM Codelabs
Published in
4 min readDec 13, 2017

Semakin sedikit tahu (tentang orang lain) maka semakin baik untuk keselamatanmu”. Klausa ini seringkali kita dengar ketika menonton film action. Ternyata klausa ini tidak berlaku di dalam domain UI/UX Design. Kenapa bisa begitu? Dulu ketika saya pertama kali berkenalan dengan dunia UI/UX Design, pengetahuan saya akan hal ini tentunya masih sangat minim. Akibat keminiman tersebut maka saya tidak bisa sok tahu dalam membuat desain dari aplikasi yang dibangun. Masih kental diingatan ketika CodeLabs membuat aplikasi Earth Savior di tahun 2012, tim CodeLabs seringkali melakukan desain ulang terhadap desain aplikasi yang dibuat berdasarkan keluhan yang disampaikan oleh adaptor user kita. Ada yang bilang informasinya terlalu banyak dalam satu halaman, ada yang bilang experiencenya tidak sesuai dengan kondisi ketika usernya bersepeda atau berjalan dan lain-lain. Kami begitu semangat dalam melakukan perbaikan dari hasil masukan para pengguna awal apps kami. Dari sana kami tahu bahwa belum tentu standar desain UI/UX yang dikeluarkan oleh perusahaan ternama pun tentu dirasakan “enak” oleh para pengguna kami.

Seiring perjalanan CodeLabs ke depannya, pengetahuan kami tentang bidang UI/UX makin bertambah (Percayalah, kami masih jauh dari kata menguasai). Dengan mudah kami mendesain aplikasi kami dengan hanya menggunakan insting desain kami yang tumbuh bersama pengalaman kami selama membangun aplikasi sebelum-sebelumnya. Proses desain UI/UX yang biasanya memakan waktu cukup lama (karena berharap desain kami sesuai feedback user) menjadi cepat. Kami sangat yakin dengan ide dan solusi UI/UX yang kami buat. Bahkan kami sangat beriman dengan kepercayaan kami bahwa CodeLabs sudah mampu mendesain UI/UX tanpa harus “bolak-balik” ke User (bahkan tidak ada niatan saya mempelajari teori UI/UX dari buku maupun ahlinya). Sampai suatu saat kami digampar oleh suatu kompetisi yang bernama “Technofest 2016” yang diadakan oleh UMN. Pada kesempatan kali itu, kami (saya, Evan Gilang Ramadhan, Azka Aiman, dan Imam) sangat percaya diri dengan solusi yang kami bawa dan yakin akan menang. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, solusi kami kalah.

Pada saat kalah di TechnoFest 2016

Setiap kami selesai berkompetisi apapun hasilnya maka kami akan melakukan evaluasi. Dari hasil evaluasi didapat dua faktor yang kami jadikan pelajaran (baca: kesombongan dan pembenaran dari kesalahan kami) untuk kompetisi berikutnya, yaitu:

  1. Kekalahan kami disebabkan karena kompetisi yang diikuti berjenis kompetisi yang kami belum ikuti sebelumnya (Kebetulan memang baru pertama kali kami mengikuti kompetisi desain UI/UX).
  2. Jurinya tidak memiliki selera yang sama dengan kita jadi jangan terlalu dipikirkan (padahal salah satu jurinya sudah sering menjadi juri tahunan di gelaran kompetisi mahasiswa di bidang TIK).

Intinya kami masih dengan congkak menyatakan bahwa kekalahan kami diakibatkan orang lain dan faktor eksternal. Beberapa bulan dari kompetisi tersebut kami mendapatkan jawaban yang sesungguhnya.

Ada seorang alumni UNIKOM yang dulu bergabung di CodeLabs dan beruntungnya dia bekerja di domain desain UI/UX. Saya berinisitif meminta pertolongan ke Aldy Ginanjar untuk menjelaskan kepada kami tentang riset desain UI/UX. Materi yang dibawakan adalah Persona dan Usability Testing (dibagi menjadi dua pertemuan). Di sanalah kami terbuka mata bahwa ada yang salah dengan proses kami melakukan desain UI/UX.

User memiliki cara pandang yang sangat mungkin berbeda jauh dengan pengalaman atau pengetahuan yang kami punyai, sebagai contoh cara kami memandang posisi proses login bisa saja berbeda dengan apa yang user inginkan. Kami selalu berpikir bahwa standar desain UI/UX dari aplikasi yang sudah terkenal dan mature pasti akan cocok dengan aplikasi yang kami bangun. Kami sering melakukan proses ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi) tanpa mau “berkotor-kotoran” bersama dengan user kami seperti yang kami lakukan dahulu ketika pengetahuan kami masih sangat minim. Padahal, user ternyata seringkali hanya bertanya hal-hal ini di aplikasi yang kita bangun (diilhami dari buku UX for Beginners dan pengalaman kami setelah sadar dengan kutukan pengetahuan kami dan user perspective):

  1. Apa ini?
  2. Apa yang ditawarkan untuk kami?
  3. Apa yang harus saya lakukan untuk bisa menggunakannya?

Dan hal-hal lain yang ternyata sangat sederhana (berbeda terbalik dari apa yang selama ini kami imani) tapi alangkah baiknya apabila kita bisa membangun aplikasi lalu user langsung mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tanpa kita menjelaskannya.

“Apabila kita masih menjelaskan apa yang kita buat berarti desain kita (UI/UX) belum cukup baik”

Dari kejadian tersebut, beberapa kurun waktu yang lalu kami dengan serius mempelajari teori-teori tentang desain UI/UX dari beberapa buku yang disarankan oleh para ahli kemudian kami juga mengikuti beberapa diskusi terkait desain UI/UX. Kami memperbaiki sedikit demi sedikit proses desain yang biasa kami lakukan. Berkotor-kotoran dengan user sekalipun walaupun terkadang feedback user bagi pengetahuan kami tidak masuk akal pun kami jadikan landasan mendesain. User perspective yang selama ini kami musuhi karena memperlambat proses pembangunan aplikasi menjadi hal yang tidak akan kami lupakan lagi. Memang terkadang untuk belajar sesuatu bisa dari pengalaman yang pahit. Mudah-mudahan suatu saat kami bisa merasakan apa yang user rasakan dengan lebih baik lagi bahkan bisa menjadikan masalah user kami sebagai masalah kami. Dan itulah kata yang sedang kami kejar sekarang dalam setiap proses desain UI/UX aplikasi kami, “Emphaty”.

Juara 2 di TechnoFest 2017 (Setelah menyadari kutukan dari kesombongan kita)

Disclaimer: Kami sadar bahwa takaran penilaian pada tulisan ini hanya didasarkan pada kompetisi sehingga mungkin saja tidak layak dijadikan acuan atau inspirasi bagi yang lain. Selamat membaca.

--

--

Adam Mukharil Bachtiar
UNIKOM Codelabs

Director of Technology and Information System, CEO of CodeLabs and Lecturer at Informatics Engineering UNIKOM