Scrum atau Waterfall?

Adam Mukharil Bachtiar
UNIKOM Codelabs
Published in
2 min readDec 11, 2017

Pertanyaan ini selalu menghantui saya ketika akan memulai sebuah pengembangan apps bersama teman-teman saya di CodeLabs. Rasanya pembaca artikel ini minimal sedikit tahu tentang apa itu scrum dan waterfall. Perdebatan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di benak saya akan tetapi di kalangan Software Developer yang sudah handal sekalipun.

Waterfall dengan rasa “Linear Process” memang dirasa masih cocok untuk perangkat lunak yang secara kebutuhannya sudah jelas dan hampir statis. Terutama dengan jumlah tim yang tidak begitu banyak dan anggota tim yang memiliki kemampuan sangat spesifik seringkali menjadi godaan tersendiri untuk saya menggunakannya ketika mengembangkan apps.

Pendekatan Waterfall (Roger S. Pressman)

Begitu pun Scrum yang ke-Agile-annya menjadi “love at the first sight” saya ketika pertama kali mengenalnya. Scrum yang begitu lincah dan sangat menghargai Software Developer dalam setiap Scrum Value-nya. Terutama mengingat proses riset tetap dihargai dan punya porsi tersendiri di dalam rangkaian prosesnya. Seringkali saya mendaratkan pilihan saya dengan pendekatan ini ketika membangun apps bersama teman-teman saya.

Kenapa pemilihan dua hal tersebut masih menghantui saya kalau saya seringkali menggunakan Scrum sebagai pilihan hati saya? Jawabannya adalah kondisi tim saya sendiri dan kebutuhan kompetisi software. Sebagai informasi CodeLabs merupakan sebuah Software Lab yang mayoritas pengembang di dalamnya adalah mahasiswa. Perbedaan jadwal kosong yang dimiliki masing-masing personel dan jumlah tugas kuliah yang masuk setiap minggunya secara langsung mempengaruhi proses pengembangan apps di CodeLabs. Selain itu tenggat waktu kompetisi yang tiba-tiba terkadang mengaburkan value dari Scrum itu sendiri. Tentunya ketika menggunakan Scrum sebagai pendekatan yang dipilih seringkali kita melanggar value yang ada di dalamnya (bahkan seringkali menjadi Scrum rasa waterfall) hanya untuk memenuhi tenggat waktu yang ada. Apakah ini sebuah dosa atau tidak?

Beruntungnya, saya menemukan sedikit pencerahan ketika membaca buku “Get Agile! Scrum dor UX, design & development” (https://www.goodreads.com/book/show/16057111-get-agile). Entah pemikiran ini akan bisa diterima atau tidak oleh pengembang yang lain atau tidak, tapi akan saya coba sampaikan apa yang ada di buku tersebut. Terkadang ketika memilih waterfall sebagai solusi pendekatan pengembangan apps, kita masih bisa menggunakan beberapa value maupun ide yang ada di Agile Methods, seperti contohnya:

  1. Scrum board yang meningkatkan visibilitas progres.
  2. Bekerja sama di waktu yang sama dan di ruangan yang sama.
  3. Identifikasi dan eliminasi hal-hal yang dianggap tidak perlu seperti hilangkan dokumentasi yang tidak perlu.
  4. Memulai hari dengan meeting atau obrolan via telepon.

Value maupun ide ini sudah terbukti untuk memberikan pertolongan ketika dengan sangat terpaksa menggunakan waterfall sebagai pendekatan walaupun sekali lagi saya lebih suka menggunakan pendekatan scrum sebagai solusi yang dipilih. Hal ini memberikan sedikit jawaban bagi keraguan saya untuk memilih apakah Scrum atau waterfall.

Lebih baik sedikit tapi tidak sama sekali -anonymous

Disclaimer: Saya termasuk baru di dalam dunia scrum (2 tahun yang lalu mulai belajar apa itu scrum) sehingga apapun yang akan saya bagikan di sini lebih kepada pendapat pribadi dan beberapa potongan hasil parafrase literatur yang ada. The trully choice is yours.

--

--

Adam Mukharil Bachtiar
UNIKOM Codelabs

Director of Technology and Information System, CEO of CodeLabs and Lecturer at Informatics Engineering UNIKOM