Mengenal 5 Istilah Penting dalam Dunia Digital, Apa Saja?

Arini Dina Yasmin
codexstories | CODEX Telkom
5 min readNov 11, 2020
Photo by insuranceblog.accenture.com

Di era digital seperti sekarang, semakin banyak manusia yang memanfaatkan internet di kehidupan mereka. Menurut laporan We Are Social tahun 2020, penetrasi pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 64% atau sekitar 175 juta orang. Angka ini diprediksi akan terus meningkat seiring perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di berbagai belahan dunia yang juga begitu cepat bergerak.

Nah, di artikel ini kita akan back to basic untuk lebih mengenal istilah-istilah di dunia digital, agar kita memiliki fondasi kuat dalam menjalaninya. Apa saja ya?

Digital Natives dan Digital Immigrants

Photo by itgsonline.com

Istilah ini lahir pada tahun 2001, lewat gagasan seorang konsultan pendidikan bernama Marc Prensky. Dalam tulisannya yang berjudul Digital Natives, Digital Immigrants, Prensky mengatakan bahwa akar masalah pendidikan di Amerika Serikat adalah karena mengabaikan perubahan pola pikir dan cara memproses informasi pada siswa yang lahir di dekade terakhir abad 20, karena adanya perkembangan teknologi. Sedangkan, para guru masih menggunakan metode lama untuk mengajar. Hal ini membuat siswa kesulitan untuk bisa stand out karena metode pengajaran yang digunakan sudah “ketinggalan zaman”.

Prensky menjuluki anak-anak yang tumbuh bersama dengan teknologi baru tersebut sebagai Digital Natives atau “Pribumi Digital”. Hal ini karena mereka semua merupakan Native Speaker dari bahasa digital dan menghabiskan banyak waktu untuk menggunakan komputer, video game, dan internet. Sementara, “Digital Immigrants” adalah orang yang tidak lahir pada dunia digital, tetapi mengadopsi banyak atau sebagian besar aspek teknologi baru tersebut.

“Di era sekarang, menjadi seorang Digital Natives kian jadi tuntutan. Yang paling mudah beradaptasi dengan perubahan akan mampu bertahan.”

Digital Disruption

Photo by wilnov.com

Oxford College of Marketing mendefinisikan “Digital Disruption” atau Disrupsi Digital sebagai transformasi yang disebabkan oleh perkembangan model bisnis dan teknologi digital. Hal ini memaksa adanya perubahan yang memengaruhi produk dan layanan yang dibuat.

Ternyata, istilah “Disrupsi” sendiri berasal dari buku “The Innovator’s Dilemma” yang ditulis pada tahun 1997 oleh Clayton M. Christensen, dan “The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order” karya Francis Fukuyama yang terbit tahun 1999. Christensen sendiri melihat Disrupsi sebagai peluang inovasi yang menguntungkan, sedangkan Fukuyama memaknainya sebagai gangguan terhadap tata sosial. Namun, keduanya menulis pada konteks zaman yang sama saat kemajuan teknologi informasi telah memengaruhi pola hubungan dan komunikasi antar manusia.

Contoh nyata Disrupsi Digital adalah ketika Kodak menyatakan bangkrut pada tahun 2012. Penyebabnya adalah karena pelopor dunia fotografi tersebut tidak mampu melawan perkembangan arus digital.

“Dalam dunia bisnis, adanya Disrupsi Digital membuat kita harus selalu up to date dengan kondisi terkini dan terus berinovasi agar tidak ketinggalan zaman dan pelanggan.”

Digital Literacy

Photo by digitallearning.eletsonline.com

Menurut Common Sense Media, “Digital Literacy” atau Literasi Digital merupakan bagian dari literasi media, yang meliputi kemampuan seseorang dalam mencari, mengidentifikasi, mengevaluasi, hingga menggunakan informasi yang mereka dapat. Tanpa sadar, kemampuan ini sebenarnya sudah kita gunakan sehari-hari ketika mengakses internet, smartphone, dan beragam sumber informasi digital lainnya.

Hanya saja, bukan berarti semua orang otomatis memiliki kemampuan Literasi Digital yang baik. Di Indonesia, berdasarkan hasil riset nasional yang dilakukan oleh Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) pada tahun 2019, diperoleh data bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia baru menggunakan media digital sebatas untuk mencari informasi. Selain itu, mereka juga masih sangat minim keterampilan produksi informasi yang melibatkan keterampilan berpikir kritis.

“Banjir informasi dan kebebasan berekspresi perlu diimbangi dengan kemampuan Literasi Digital. Bijaklah dalam menggunakan internet, karena jejak digital tak bisa dihapuskan.”

Digital Transformation

Photo by information-age.com

Penulis buku “Leading Digital: Turning Technology into Business Transformation”, George Westerman, mendefinisikan Transformasi Digital sebagai cara suatu organisasi dalam menggunakan teknologi, orang, dan proses untuk secara fundamental mengubah performa bisnisnya.

Perusahaan berlomba-lomba melakukan perubahan ini seiring dengan era Revolusi Industri 4.0, yang mengintegrasikan teknologi cyber dan otomatisasi, sehingga bisa menjawab permasalahan efektifitas dan efisiensi proses produksi. Menurut Forbes, era ini ditandai dengan lahirnya beberapa teknologi baru yang mendorong perubahan dari industri konvensional menuju industri digital, seperti: Internet of Things (IoT), Big Data, Artificial Intelligence, Machine Learning, dan Interconnected Supply Chain.

Nah, ternyata ada berbagai keuntungan yang bisa didapat perusahaan ketika melakukan Transformasi Digital. Berdasarkan hasil survei Telkomtelstra, ada lima faktor yang menyebabkan pemimpin perusahaan melakukan perubahan tersebut, yaitu:

  • Lebih menghemat biaya produksi.
  • Operasional yang lebih efisien.
  • Bisa mengembangkan ide-ide inovatif untuk menghasilkan produk dan jasa baru.
  • Mengembangkan pasar baru.
  • Meraih segmen pasar baru.

Digital Mindset

Photo by peoplematters.in

Vivienne Benke menjelaskan “Digital Mindset” sebagai sekumpulan pengetahuan dan pengalaman yang terbentuk karena hidup dalam masyarakat digital. Hal ini pun dikenali dan digunakan oleh seseorang untuk bisa menjadi sukses di lingkungan digital. Sebaliknya, seseorang tanpa Digital Mindset akan merasa tidak nyaman dengan teknologi digital dan ketidakpastian yang ada, serta tidak fleksibel dalam mengadopsi teknologi digital. Nah, kamu termasuk yang mana nih?

Memiliki Digital Mindset menurut saya bukan hanya kewajiban bagi orang-orang yang bekerja di dunia teknologi digital. Mereka yang bergelut dengan aspek kehidupan lain, seperti kesehatan dan pemerintahan, juga perlu memiliki digital mindset agar bisa melihat suatu permasalahan dan proses yang lama dengan kacamata baru. Dengan begitu, mereka bisa mencari permasalahan yang dapat diselesaikan serta menemukan langkah perbaikan yang bisa dilakukan.

Dalam menjawab tantangan transformasi digital, pola pikir digital inilah yang menjadi kunci dalam melakukan perubahan.

“Karakteristik seseorang dengan Digital Mindset adalah memiliki pola pikir untuk berkembang, menerapkan agile, mampu menghadapi ketidakpastian, suka melakukan eksplorasi, kolaboratif, dan merangkul keragaman.” — PeopleMatters.in

Nah, penting bagi kita untuk memiliki pola pikir digital dan memahami istilah-istilah yang berkaitan dengan dunia digital, karena penggunaan teknologi yang makin tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Namun, jangan lupa beri jeda untuk dapat berinteraksi dan komunikasi dengan orang lain secara langsung juga ya.

Enjoy the moment of life both reality and virtual, guys!

--

--